Wednesday, December 22, 2010
A journey to COP16 in Cancun, Mexico
The United Nations Climate Change Annual Summit (referred to as COP 16) is now over. All parties, observers, and media have gone home and returned to their normal activities. But the processes and stories of COP 16 are still relevant and still need to be told.
Many people had high expectations for the event; after the failures of COP 15, the pressure for delegations to deliver was even more intense. The expectations of others, particularly those of the youth constituency was even higher; many young people, including myself, took a long journey to pressure our leaders, urging them to take legal binding action
Selected by the British Council, I embraced the opportunity to join 16 with other climate champions from around the world. Our team reflected the global reach of the British Council: European, African, Indian, South Asian, Chinese, and East Asian representatives all banded together to show that intercultural relations and education are essential ingredients of any climate change debate.
I was nominated for two reasons. First, my journey emitted less carbon because I started the trip from Arkansas in the USA. Second, because I initiated a sustainable cocoa plantation project that has reduced carbon dioxide emissions, created jobs and improved the well being of local farmers. By accepting this offer, I faced the challenge to engage in the youth movement against climate change.
Since arriving in Cancun, Mexico, I have participated in numerous events from early morning to midnight. First, Conference of Youth (COY) - is a conference that is facilitated by young people from all over the world to voice their concerns on climate change. Second, Side events - essentially these are workshops or panel discussions that look at many issues related to environmental change such as forestry, technology, etc. Third, World Climate Summit – the WCS is the business and finance conference which seeks to accelerate solutions to climate change.
All these events offered me the chance to deepen my understanding of how climate change is being tackled on the ground, at various levels of governance’s actions.
Seeking to get closer to the action, I also participated in a meeting with the Indonesian delegation. This allowed me to see how national delegations position themselves in relation to the bigger picture, form coalitions and find ways to ensure that their national interests are taken into account.
By contrast, I was lucky enough to have informal discussions with Nicholas Stern (an economist from London Schools of Economic), the UK ambassador to Mexico and the Minister for the Environment of Wales. These activities, above all else, shaped my perceptions about the UN process, my understanding of its importance to tackling climate change and Indonesia’s environmental future policy.
Equally important, these experiences have inspired me to engage more young people in my project, to work passionately on environmental issue, and share this knowledge to more people including youth and children.
Ban Ki-Moon, Secretary-General of United Nation, said in a statements at the High Level Segment of COP 16 and CMP 6 “We are here for one reason: to protect people and the planet from uncontrolled climate change…the longer we delay, the more we have to pay – economically, environmentally, and in human lives”.
These sentiments echo the perceptions of millions of people who are frustrated with the protracted nature of the climate change negotiations. Ban Ki-moon is not alone in urging world leaders to take real action.
We understand that a legal binding agreement is still not a certainty. But the earth cannot wait any longer for empty promises. Regardless of the results of COP16, actions speak louder than words.
That action has to start with ourselves, our family, and our community. I believe that micro-actions, such as turning off the lights, using energy efficient light bulbs or public transport will make a big difference. We need everyone to ‘pitch in’ so that our governments see that reducing, reusing and recycling is not simply the behavior of green individuals, but a wider societal movement toward a sustainable future.
Act now before it’s too late.
Thursday, December 9, 2010
Malam special bersama Menteri Lingkungan Hidup Wales dan Duta Besar Inggris untuk Mexico
British Council global kembali membuat kejutan untuk para climate championnya. Belum habis cerita tentang pertemuan dengan seorang ekonomis yang sangat berpengaruh, Nicolas Stern, British Council kembali mempertemukan pemuda dan pemudi yang tergabung dalam Climate Champion dengan Menteri Lingkungan Hidup, Pembangunan yang berkelanjutan, dan perumahan Wales Jane Davidson, dan Duta Besar Inggris untuk Mexico Judith McGregor.
Pertemuan itu berlangsung disebuah acara yang adakan oleh kedutaan Inggris dengan menghadirkan para bisnismen dari Inggris dan dari berbagai negara. Acara ini bertujuan mengajak para pembisnis untuk ambil bagian dalam pencegahan perubahan iklim dengan konsep green solution.
Walaupun sudah dijadwalkan untuk bertemu dengan Jane Davidson dan Judith McGregor, para climate champions tidak sengaja berbicara langsung dengan Duta Besar Inggris untuk Mexico Judith McGregor sebelum acara dimulai. Setelah Climate Champions memperkenalkan diri dan asal negara, McGregor terlihat sangat gembira dengan keberadaan generasi muda di acara UNFCCC. Beliau kemudian mengajak semua climate champions berdiri di depan panggung.
Setelah membuka acara, McGregor mengatakan bahwa para Climate Champions British Council yang datang dari berbagai negara ada ditengah acara ini dan mengikuti acara UNFCCC. Beliau kemudian mengajak para climate champions untuk naik ke panggung dan memperkenalkan diri. Beliau sangat berkesan dengan keberadaan para climate champion dan mengatakan bahwa pemuda juga mempunyai peran penting dalam mengatasi masalah perubahan iklim.
Sama halnya dengan McGregor, Menteri Lingkungan Hidup, Pembangunan yang berkelanjutan, dan perumahan Wales, Jane Davidson, dalam pidatonya juga memberi respon yang sangat positif mengenai peran dan keberadaan pemuda dalam konfenrensi perubahan iklim. Secara specifik, Davidson mengatakan "Youth are the leader of tomorrow. They know what they want for their future life, therefore they should be given the opportunity to involve in UNFCCC conference" (Pemuda adalah pimpinan masa depan. Mereka tau apa yang mereka mau untuk masa depan, oleh karena itu mereka harus diberikan kesempatan untuk terlibat di konferensi perubahan iklim). Davidson juga berpesan kepada para pemuda supaya jangan berhenti dengan apa yang telah dikerjakan dan terus bekerja dan berkarya yang lebih baik di masa yang akan datang.
Setelah acara selesai, Climate Champions mempunyai kesempatan untuk berbicara secara langsung satu persatu dengan kedua orang tersebut. Climate Champions memaparkan secara singkat konsep tentang proyek-proyek yang sedang dikerjakan. Umumnya, kedua orang tersebut mendengar dengan sangat teliti dan juga memberi komentar yang konstruktif.
Dengan terus berkarya, kita bisa membuat perubahan.
Monday, December 6, 2010
Climate Champions and Nicolas Stern
British Council global kembali memberikan kesempatan kepada Climate Champions-nya untuk bertemu dan berdiskusi dengan para ilmuan terkenal dunia. Kali ini, British Council mempertemukan lima climate champions-nya dengan Nicolas Stern di sela-sela acara COP16 di Cancun, Mexico.
Nicolas Stern adalah seorang profesor ekonomis yang menulis tentang perubahan iklim, ekonomi pembangunan dan growth. Dalam satu laporan reviewnya tentang ekonomi perubahan iklim, Stern mendiskripsikan perubahan iklim sebagai sebuah eksternalitas ekonomi dari kegagalan market.
Seperti dikutip wikipedia, Stern menulis "Climate change is a result of the greatest market failure the world has seen. The evidence on the seriousness of the risks from inaction or delayed action is now overwhelming..The problem of climate change involves a fundamental failure of markets: those who damage others by emitting greenhouse gases generally do not pay.."
Nick Stern mendengarkan presentasi proyek-proyek yang dikerjakan oleh climate champion dan kemudian memberi tanggapan dan masukan untuk pengembangan kedepan. Pertama, Agastha dari India mempresentasikan proyek penjagaan hutan lindung dengan melibatkan masyarakat sekitar. Kedua, Mahrizal paru dari Indonesia mempresentasikan proyek pencegahan penebangan kayu liar dan peningkatan pendapatan bagi petani dan masyarakat melalui penanaman kakao. Phuong Pham Linh dari Vietnam menjelaskan tentang daur ulang baterai. Ketiga Maria Vuorelma dari Findalandia mempresentasikan tentang kampanye perubahan iklim dan peningkatan kapasitas masyarakat. Keempat, Rory Moody dari Skotlandia menjelaskan proyek pendidikan, dan terakhir Wilson Ang dari Singapura mempresentasikan proyek eco-preneurship atau kewirausahaan lingkungan.
Selain memberi komentar dan masukan untuk setiap proyek yang dilakukan oleh climate champions, Stern juga memberikan akses untuk memperluas jaringan dan kontak person agar proyek-proyek yang ada bisa di implementasikan. Dia juga mendorong agar lebih banyak kaum muda bergerak dan berbuat sesuatu untuk mengatasi perubahan iklim.
Secara pribadi, pertemuan ini memberikan semangat baru agar bisa berbuat lebih banyak kedepan dengan melibatkan lebih banyak kaum muda, masyarakat adat, petani, dan berbagai kelompok masyarakat.
Mahrizal - dari Moon Palace, Cancun, Mexico.
Sunday, December 5, 2010
Forest Day - Memperingati hari hutan-
Hutan merupakan salah satu faktor penting dalam mencegah perubahan iklim. Menurut para ilmuan, hutan dapat menyerap karbon diaksida yang dilepaskan oleh kegiatan manusia. Oleh karena itu, keberlangsungan hutan merupakan faktor kunci untuk menurunkan gas rumah kaca. Untuk memperingati hari hutan, CIFOR (Center for International Forestry Research) mengadakan pertemuan akbar yang dibuka oleh Presiden Mexico Filipe Calderon. Menurut informasi yang diterima dari panitia, acara yang bertema Forest Day – Time to Act – ini dihadiri oleh 1,800 orang dari berbagai organisasi di seluruh dunia.
Dalam Pidatonya, Presiden Mexico menggarisbawahi dua point penting untuk menjaga keberlangsungan hutan. Pertama peningkatan ekonomi pembangunan, dengan membantu melindungi sumber ekonomi dan pendapatan masyarakat adat dan masyarakat yang bergantung hidupnya dengan hutan. Banyak masyarakat adat terlibat dalam penebangan kayu liar agar bisa menyambung hidup. Makanya, untuk mengatasi hal tersebut, kemiskinan harus diberantas bagi masyarakat tersebut. Presiden memberikan contoh masyarakat adat Mexico yang melakukan pembersihan lahan untuk menanam jagung. Pada penanaman pertama, hasil yang di dapat sangat bagus, namun untuk tahun-tahun selanjutnya hasil panen terus menurun. Oleh karena itu, “kita memerlukan management di tingkat bawah, terutama ditingkat bawah agar bisa menghasilkan lebih bagus.” Presiden melihat kemiskinan merupakan salah satu penghadang untuk mencegah perubahan iklim. Bagi Mexico “Today fight poverty, another day fight for climate change” (Hari ini kita berantas kemiskinan, esok kita melawan perubahan iklim).
Untuk point ke dua, Presiden mengungkapkan pentingnya peningkatan sumber daya yang dialokasikan dibidang kehutanan. Mexico mengalokasikan sekitar 500 juta dollar Amerika untuk hutan dibeberapa tahun yang lalu, dan jumlah dana yang dialokasikan dibidang ini terus meningkat mencapai 620 juta dollar Amerika. Presiden mengungkapkan bahwa ia juga ingin meningkatkat jumlah kawasan hutan lindung. Diakhir pidatonya, Presiden mangajak semua pihak untuk memberi tekanan kepada para pihak yang berdialog di COP16 terutama dibidang mekanisme REDD+ dan mengatakan bahwa sekarang adalah waktunya untuk bertindak (Now time to act).
Dilaporkan langsung dari Cancun Center, Cancun, Mexico.
Saturday, December 4, 2010
Pertemuan dengan Sir Richard Branson, Pemilik Virgin Group
Bagi sebagian orang, apapun akan dilakukan agar bisa bertemu dengan idolanya. Seperti halnya keinginan untuk melihat langsung penyanyi terkenal dunia, banyak orang sanggup terbang ke Singapura untuk menghadiri konser secara langsung walaupun harus membayar seribuan dollar.
4 December 2010 merupakan hari yang akan selalu saya ingat dalam hidup saya. Saya bisa menghadiri World Climate Summit di Cancun Mexico secara gratis dengan hanya ber volunteer sebagai panitia yang bertanggung jawab mendaftarkan peserta summit. Menurut pihak penyelenggara, biaya pendaftaran acara ini mencapai USD 1,000. Saya dan climate champions dari berbagai negara dapat menghadiri acara berkat usaha yang difasilitasi oleh British Council. Hanya dengan "membantu" biaya pendaftaran bisa dihapuskan.
Banyak orang-orang penting dan berpengaruh menghadiri acara tersebut. Saya secara kebetulan dapat berbicara dan berfoto bersama dengan salah satu pembicara berpengaruh di acara World Climate Summit. Dia adalah Sir Richard Branson, pemilik group Virgin. Secara tidak sengaja dia mendatangi ruangan dimana British Council mengadakan event untuk meminum teh. Saya menyapa dia dan mengatakan "ada yang bisa saya bantu?" dia menjawab "tidak apa-apa, dan terima kasih atas tawarannya". Kemudian Saya memperkenalkan diri sebagai climate champion British Council dari Indonesia dan saya juga menceritakan bahwa British Council membawa sekitar 16 orang dari berbagai negara untuk berpartisipasi di COP16. Dia terlihat gembira karena banyak pemuda bisa ikut acara tersebut. Dia mengatakan selamat dan meminta anak muda agar berbuat lebih banyak untuk mencegah perubahan iklim.
Saya merasa sangat beruntung bisa bertemu dengan Sir Richard Branson, seorang yang memulai usahanya sejak dia masih sangat muda, tanpa harus membayar satu sen pun. Semoga pertemuan ini bisa menginspirasi saya untuk memulai usaha yang sukses dan dapat menginspirasi anak muda lainnya.
Di laporkan langsung dari World Climate Summit, Cancun, Mexico.
World Climate Summit -Business, Climate and Philanthropy- bersama Sir Richard Branson dan Ted Turner
Hari ini, 4 Desember 2010, bagi banyak pihak merupakan hari yang dinanti-nanti untuk mendengar langsung pernyataan dan ceramah dari orang-orang yang berpengaruh di dunia dibidang perubahan iklim. World Climate Summit mengundang ilmuan, bisnismen, bos media ke sebuah pertemuan akbar di Cancun Mexico. Meraka adalah Ted Turner pimpinan UN Foundation, Sir Richard Branson Pimpinan Virgin Group, Emilio Azcarraga pimpinan Grupo Televisa, dan Lord Nicolas Stern ilmuan dari London School of Economic.
Mereka semua setuju bahwa perubahan iklim harus dihentikan. Dalam sebuah sesi khusus bertema "Business, Climate and Philanthropy" Sir Richard Branson mengatakan "Solving the climate change problem is the fun challenge of our lifetimes" (Penyelesaian masalah perubahan iklim merupakan tantangan yang menyenangkan dalam kehidupan kita). ini merupakan tantangan bagi semua pihak untuk bersama-sama mencegah perubahan iklim.
Ted Turner menggambarkan bahwa dunia memang perlu bumi harus segera diselamatkan dari masalah lingkungan agar kepunahan tidak pernah terjadi. "kita semua harus menghadapi masalah-masalah lingkungan hidup seperti perubahan iklim, polusi,penangkapan ikan yang tidak terkontrol, dan kepunahan. Semua itu harus kita selamatkan atau kita akan kehilangan semuanya" Demikian dikatakan Turner. Diakhir pembicaraannya, Turner mengajak semua orang yang ada diruangan untuk bertindak dan juga mengajak pemerintahnya membuat kebijakan mencegah perubahan iklim. "Everybody in this room has stepped up. Now we have to get our governments to step up".
Demikian laporan singkat ini dilaporkan langsung dari World Climate Summit di Hotel Rit-Carlton Cancun Mexico.
Friday, December 3, 2010
Mahal
itu lah ungkapan yang bisa di ungkapkan mengenai harga barang dan makanan di COP16 di Cancun Mexico. Dibanding dengan harga makanan di luar, harga-harga dimana acara penghelatan akbar tentang perubahan ini di gelar bisa mencapi tiga sampai empat kali lipat. British Council dalam welcome package nya juga menyarankan kepada climate championnya agar selama konferensi perubahan iklim (terutama dari pagi sampai sore hari) dapat membeli makanan di area conferensi di gelar.
tentunya, dengan anggaran yang pas-pasan, climate champions harus benar-benar dapat mensiasati makanan yang dikonsumsi dengan budget yang tersedia. Bisa di bayangkan betapa mahalnya harga-harga disinis, misalnya nasi putih setangah porsi orang indonesia di jual 50 pesos (USD 5), salad sayuran 90 pesos (USD 9), Pizza satu slice 65 pesos (USD 6.5, ayam dan daging 120-150 pesos (12-15 USD). Sama halnya dengan buffet di Mancun Messe, penjual membandrol harga USD 25, sementara di Moon Palace - tempat pertemuan tingkat tinggi digelar- harga buffet mencapai USD 40.
pada 2 December 2010, saya memesan nasi sayur dengan harga 70 pesos (USD 7), rasanya sangat asin. Mungkin yang masaknya buru-buru atau memang suka rasa yang sangat asin. Rasanya seperti, maaf,mau muntah dengan nasi sayur. Setelah mengalami kejadian ini, sebelum datang ke tempat konferensi, saya membeli roti di toko penjual makanan dan kelontong untuk dimakan disela-sela acara. Walaupun tidak cukup - karena bukan nasi- paling tidak cukup untuk jadi penahan sampai menemukan makanan yang lain.
Namun demikian, banyak makanan kecil gratis seperti roti dan kue kering juga disediakan oleh penyelenggara side events. Namun, tidak semua penyelenggara menyediakannya. untuk mendapatkan makanan tersebut umumnya harus melalui antri yang agak panjang. Bagi yang berminat bisa langsung antri.
Nantikan cerita lain selanjutnya.
Mahrizal
Dari Cancun Messe, Mexico
tentunya, dengan anggaran yang pas-pasan, climate champions harus benar-benar dapat mensiasati makanan yang dikonsumsi dengan budget yang tersedia. Bisa di bayangkan betapa mahalnya harga-harga disinis, misalnya nasi putih setangah porsi orang indonesia di jual 50 pesos (USD 5), salad sayuran 90 pesos (USD 9), Pizza satu slice 65 pesos (USD 6.5, ayam dan daging 120-150 pesos (12-15 USD). Sama halnya dengan buffet di Mancun Messe, penjual membandrol harga USD 25, sementara di Moon Palace - tempat pertemuan tingkat tinggi digelar- harga buffet mencapai USD 40.
pada 2 December 2010, saya memesan nasi sayur dengan harga 70 pesos (USD 7), rasanya sangat asin. Mungkin yang masaknya buru-buru atau memang suka rasa yang sangat asin. Rasanya seperti, maaf,mau muntah dengan nasi sayur. Setelah mengalami kejadian ini, sebelum datang ke tempat konferensi, saya membeli roti di toko penjual makanan dan kelontong untuk dimakan disela-sela acara. Walaupun tidak cukup - karena bukan nasi- paling tidak cukup untuk jadi penahan sampai menemukan makanan yang lain.
Namun demikian, banyak makanan kecil gratis seperti roti dan kue kering juga disediakan oleh penyelenggara side events. Namun, tidak semua penyelenggara menyediakannya. untuk mendapatkan makanan tersebut umumnya harus melalui antri yang agak panjang. Bagi yang berminat bisa langsung antri.
Nantikan cerita lain selanjutnya.
Mahrizal
Dari Cancun Messe, Mexico
Thursday, December 2, 2010
Hari pertama COP16 bersama climate champions British Council
Setelah di briefing intensif minggu malam mengenai ekpektasi dan apa yang akan dilakukan oleh para climate champions selama COP di Cancun Mexico. Climate champions begitu bersemangat memulai hari pertama untuk acara COP16. Semua terlihat begitu rapi dengan pakaiannya, ada yang berjas dan berdasi, ada juga yang memakai baju kemeja biasa. Demikian juga dengan climate champion perempuan, mereka semua berpakaian rapi.
Dengan menggunakan taksi ke tempat pemberhentian bis, para climate champions berangkat ke Cancun Messe (sebuah tempat dimana acara side event and booth diadakan) dengan penuh keyakinan bahwa ada sesuatu yang akan di capai di COP16 ini. Setiba ditempat tujuan, sebagian climate champion menuju tempat briefing YOUNGO (Kelompok pemuda yang dari berbagai Negara yang tergabung di beberapa NGO pemuda) dan sebagian lagi menunggu untuk teleconference dengan pihak pemerintahan Inggris.
Kesibukan para climate champions mulai terlihat setelah selesai briefing, ada yang melakukan pendekatan ke delegasi masing-masing, jaga booth British Council, menghadiri acara side events, dan sekedar mengenal tempat acara COP16.
Saya sendiri berusaha mengenal tempat acara berlangsung, mengunjungi booth (Stand) pameran, dan menghadiri side event tentang issue REDD+. Walaupun dihari pertama banyak climate champion bingung tentang keadaan dan suasana COP16, setidaknya hal cukup mengenalkan suasana baru ini ke para climate champions.
Malam pertama di COP16, Pemerintah Mexico mengundang semua delegasi, intergovernmental organizations, observers, dan media ke acara makan malam. Setidaknya 4.000-5.000 orang menhadiri acara tersebut. Menu yang disediakan sungguh menggugah selera, ada seafood segar, daging, salad, dan berbagai jenis minuman non-alkohol dan alcohol yang bisa diminum sesuka hati.
Dengan menggunakan taksi ke tempat pemberhentian bis, para climate champions berangkat ke Cancun Messe (sebuah tempat dimana acara side event and booth diadakan) dengan penuh keyakinan bahwa ada sesuatu yang akan di capai di COP16 ini. Setiba ditempat tujuan, sebagian climate champion menuju tempat briefing YOUNGO (Kelompok pemuda yang dari berbagai Negara yang tergabung di beberapa NGO pemuda) dan sebagian lagi menunggu untuk teleconference dengan pihak pemerintahan Inggris.
Kesibukan para climate champions mulai terlihat setelah selesai briefing, ada yang melakukan pendekatan ke delegasi masing-masing, jaga booth British Council, menghadiri acara side events, dan sekedar mengenal tempat acara COP16.
Saya sendiri berusaha mengenal tempat acara berlangsung, mengunjungi booth (Stand) pameran, dan menghadiri side event tentang issue REDD+. Walaupun dihari pertama banyak climate champion bingung tentang keadaan dan suasana COP16, setidaknya hal cukup mengenalkan suasana baru ini ke para climate champions.
Malam pertama di COP16, Pemerintah Mexico mengundang semua delegasi, intergovernmental organizations, observers, dan media ke acara makan malam. Setidaknya 4.000-5.000 orang menhadiri acara tersebut. Menu yang disediakan sungguh menggugah selera, ada seafood segar, daging, salad, dan berbagai jenis minuman non-alkohol dan alcohol yang bisa diminum sesuka hati.
Wednesday, December 1, 2010
Climate Champions di Confence of Youth (COY)
Hari Pertama di Cancun Mexico
Climate champion British Council, hari Sabtu 28 November 2010, mengambil bagian dalam Conference of Youth (COY) yang diadakan disebuah universitas di Cancun. Berbagai kelompok pemuda dari berbagai negara berkumpul di universitas ini untuk mendiskusikan aksi, masukan, dan pernyataan sikap untuk COP16.
Para climate champions mengikuti beberapa beberapa kelompok kerja dan diskusi parallel yang sesuai dengan bidangnya. Walaupun baru bergabung dalam kegiatan tersebut, climate champions juga aktif berpartisipasi dan memberikan opini tentang masalah yang sedang di bahas. Umumnya, mereka sangat kritis dengan apa yang sedang dibicarakan.
Dalam kelompok diskusi Carbon market dan Mechanism Carbon trading, pemateri menyampaikan bagaimana process carbon market dibentuk dan berapa biaya yang harus dikeluarkan. Dalam diskusi tersebut, pemateri juga menjelaskan perbedaan harga karbon per ton berdasarkan institusi yang memfasilitasi pasar karbon.
Pada saat sesi makan siang, penyelenggara tidak menyediakan piring dan gelas dengan alasan untuk mengurangi sampah yang berakibat buruk bagi lingkungan. Bagi peserta yang membawa peralatan makan dapat langsung menikmati makan siang, namun bagi yang tidak membawanya harus menempatkan uang sejumlah $50 pesos (USD 5) kepada panitia sebagai jaminan untuk mengembalikan piring dan gelas yang telah dipakai. Uang $50 pesos akan dikembalikan, pastinya setelah piring dan gelas plastic tersebut di cuci bersih. Pendekatan ini dapat diaplikasikan di acara lain. Namun perlu menginformasikan lebih awal tentang tidak diberikan piring. Semoga ini menjadi inspirasi bagi yang lain untuk mengurangi sampah.
Terlepas dari ketiadaan piring dan kekecewaan karena harus menunggu piring yang telah dicuci, acara makan siang ini diwarnai dengan pertunjukan tentang sikap untuk penurunan jumlah emisi global. Bagi Climate Champions, makan siang ini merupakan ajang untuk berkenalan dengan para pemuda dari organisasi lain.
Climate Champion British Council di COP16, Cancun, Mexico
British Council percaya bahwa pemuda/pemudi bisa menciptakan perubahan. Lembaga yang berbasis di Inggris ini mengirimkan 15 duta perubahan iklim atau climate champions ke COP (Conference of Parties) 16 di Cancun Mexico. Climate champions tersebut berasal dari berbagai belahan dunia yang berbeda dan diutus dengan tujuan mempromosikan penggunaan hubungan budaya untuk menemukan solusi perubahan iklim.
Para Climate champions umumnya memiliki proyek komunitas yang mampu menciptakan perubahan. Kaum muda ini mewakili bidangnya masing-masing seperti pendidikan, media, NGO, pemerintah, dan lingkungan. Di COP16 Climate champions di harapkan dapat berpartisipasi di side event program, kegiatan kepemudaan, pendekatan ke delegasi negaranya masing-masing dengan membawa pengalaman yang dimiliki selama menjalankan proyek-proyek komunitas. Selain itu, mereka juga bertindak atas nama kelompok masyarakan dinegaranya masing-masing, Negara, dan juga british council.
Mereka adalah Jon Alexander dari Inggris, Wilson Ang dari Singapura, Daniela Aravena dari Chile, Narisela Blanco dari Venezuela, Tania Yaoska Guillen Bolanos dari Nicaragua, Mariana Diaz dari Argentina, Camilo Andres Jimenez Giraldo dari Colombia, Angella Katatumba dari Uganda, Nolana E. Lynch dari Trinidad dan Tobago, Phuong Pham Linh dari Vietnam, Jiny Mainaly dari Nepal, Constanza Stephanie Gomez Mont dari Mexico, Rory Moody dari Scotland, Mahrizal Paru dari Indonesia, Pedro Gandolfo Soares dari Brazil, Hasan Abdullah Towhid dari Bangladesh, Maria Vuorelma dari Findalandia, dan Yinghang dari Cina.
Perjalanan ke konvensi perubahan iklim Cancun, Mexico
Catatan harian to Cancun, Mexico.
Saya, Mahrizal Paru, memulai perjalanan ke konvensi perubahan iklim Cancun, Mexico dari Arkansas, Amerika Serikat. Salah satu alasan saya di pilih oleh British Council untuk mengikuti acara ini adalah karena perjalanan saya mengeluarkan karbon yang rendah dibandingkan dengan perjalanan dari Indonesia. Syarat yang lain adalah adanya implementasi kerja yang berdampak langsung untuk mengurangi perubahan iklim. Dalam hal ini, proyek yang saya kerjakan adalah penglibatan masyarakat, khususnya petani dalam hal penanaman kakao dan canopy.
Saya berangkat menggunakan pesawat US Airways dari Northwest Arkansas, Arkansas transit di Charlotte, North Carolina, dan Cancun, Mexico. Bandar udara international Cancun nampak begitu ramai dengan wajah penumpang dari berbagai negara. Saya seakan berada di tengah keberagaman penduduk dunia. Ketika menghadap petugas imigrasi, mereka membuka halaman pertama untuk memastikan pemegang passport tersebut benar orangnya, kemudian memastikan visa. Saya memang sangat beruntung tidak perlu memohon visa Mexico karena saya masih mempunyai visa Amerika Serikat. Pemerintah Mexico memberikan pengecualian bagi pemegang visa Amerika untuk masuk ke Mexico tanda harus ada visa Mexico. Saya kembali mempunyai masalah dengan nama, masalahnya adalah karena saya memiliki satu nama di passport yang tentu tidak jelas nama pertama dan terakhir. Petugas imigrasi bingung ingin memasukkan data nama terakhir saya. Mereka tanya tentang FNU (First name unidentified), apakah itu nama pertama saya. Saya bilang itu artinya nama pertama tidak diketahui, dan mereka pun Nampak seperti bingung. Saya suruh mereka untuk meletakan dua kali nama yang tertera di passport “Mahrizal Mahrizal”. Saya meminta hanya 12 hari periode tinggal, namun saya diberikan 180 hari. Ini sungguh luar biasa.
Saya di jemput oleh staff British Council Mexico, Ana, orang nya sangat baik dan sangat bersahabat. Dia mengajarkan saya dasar-dasar bahasa Spanyol, walaupun akhirnya sebagian besar saya lupa apa yang diajarkannya. British Council juga menyediakan akomosasi yang bagus dan jauh dari kebisingan. Beberapa Climate champion British Council dari beberapa Negara telah tiba lebih awal. Kali ini British Council membawa sekitar 17 climate champions mewakili beberapa kawasan regional dunia seperti asia tenggara, latin amerika, asia selatan, eropa dan beberapa region lainnya.
Makan malam pertama kami disebuah rumah makan tepi panti penuh dengan kemeriahan. Kami saling berkenalan satu sama lainnya dan menceritakan apa yang kami kerjakan. Kami juga dihibur oleh para pengamen berjas putih dan berdasi. Sekarang kami bisa mendengarkan langsung lagu-lagu Mexico yang biasa kita lihat di layar televisi.
Ikuti perjalanan saya ke Konferensi PBB tentang perubahan iklim di Cancun, Mexico. Semoga banyak manfaat yang akan didapatkan dan dibawa pulang ke Indonesia.
Saya, Mahrizal Paru, memulai perjalanan ke konvensi perubahan iklim Cancun, Mexico dari Arkansas, Amerika Serikat. Salah satu alasan saya di pilih oleh British Council untuk mengikuti acara ini adalah karena perjalanan saya mengeluarkan karbon yang rendah dibandingkan dengan perjalanan dari Indonesia. Syarat yang lain adalah adanya implementasi kerja yang berdampak langsung untuk mengurangi perubahan iklim. Dalam hal ini, proyek yang saya kerjakan adalah penglibatan masyarakat, khususnya petani dalam hal penanaman kakao dan canopy.
Saya berangkat menggunakan pesawat US Airways dari Northwest Arkansas, Arkansas transit di Charlotte, North Carolina, dan Cancun, Mexico. Bandar udara international Cancun nampak begitu ramai dengan wajah penumpang dari berbagai negara. Saya seakan berada di tengah keberagaman penduduk dunia. Ketika menghadap petugas imigrasi, mereka membuka halaman pertama untuk memastikan pemegang passport tersebut benar orangnya, kemudian memastikan visa. Saya memang sangat beruntung tidak perlu memohon visa Mexico karena saya masih mempunyai visa Amerika Serikat. Pemerintah Mexico memberikan pengecualian bagi pemegang visa Amerika untuk masuk ke Mexico tanda harus ada visa Mexico. Saya kembali mempunyai masalah dengan nama, masalahnya adalah karena saya memiliki satu nama di passport yang tentu tidak jelas nama pertama dan terakhir. Petugas imigrasi bingung ingin memasukkan data nama terakhir saya. Mereka tanya tentang FNU (First name unidentified), apakah itu nama pertama saya. Saya bilang itu artinya nama pertama tidak diketahui, dan mereka pun Nampak seperti bingung. Saya suruh mereka untuk meletakan dua kali nama yang tertera di passport “Mahrizal Mahrizal”. Saya meminta hanya 12 hari periode tinggal, namun saya diberikan 180 hari. Ini sungguh luar biasa.
Saya di jemput oleh staff British Council Mexico, Ana, orang nya sangat baik dan sangat bersahabat. Dia mengajarkan saya dasar-dasar bahasa Spanyol, walaupun akhirnya sebagian besar saya lupa apa yang diajarkannya. British Council juga menyediakan akomosasi yang bagus dan jauh dari kebisingan. Beberapa Climate champion British Council dari beberapa Negara telah tiba lebih awal. Kali ini British Council membawa sekitar 17 climate champions mewakili beberapa kawasan regional dunia seperti asia tenggara, latin amerika, asia selatan, eropa dan beberapa region lainnya.
Makan malam pertama kami disebuah rumah makan tepi panti penuh dengan kemeriahan. Kami saling berkenalan satu sama lainnya dan menceritakan apa yang kami kerjakan. Kami juga dihibur oleh para pengamen berjas putih dan berdasi. Sekarang kami bisa mendengarkan langsung lagu-lagu Mexico yang biasa kita lihat di layar televisi.
Ikuti perjalanan saya ke Konferensi PBB tentang perubahan iklim di Cancun, Mexico. Semoga banyak manfaat yang akan didapatkan dan dibawa pulang ke Indonesia.
Saturday, October 16, 2010
Kansas dan Colorado
Walaupun sudah 6 hari kami dalam perjalanan, semangat untuk mencapai destinasi terakhir tetap tinggi. Sebelum memulai perjalanan, kami bersarapan pagi di kamar hotel dengan menu yang tersisa.
Setelah melakukan pengecekan kenderaan, kami meninggalkan Hotel 6 dan mengarahkan tujuan arah kenderaan ke Kota Boulder, Colorado. Perjalanan hari itu juga memakan waktu lebih 10 jam, yang pasti termasuk berhenti di rest area.
Seperti dalam perjalanan sehari sebelumnya, kami masih harus melalui luasnya lahan pertanian yang luas. Daerah Kansas bisa dibilang sangat datar dan penuh dengan daerah pertanian. Bisa dibayangkan, 8 jam perjalanan hanya menyaksikan lahan jagung, gandum, dan kacang kedelai. Sungguh luas lahan pertanian di daerah ini. Umumnya para petani memiliki lahan beratus hektar per orang. Tentunya mereka menggunakan teknology yang moderen untuk menanam, memupuk dan memanen, seperti traktor dan pesawat kecil untuk menyomprot hama.
Kalau seandainya lahan seluas ini ada di Indonesia, mungkin pendapatan masyarakat sangat tinggi.
Kagum dengan situasi geografis daerah ini, namun bosan juga datang karena tidak ada pemandangan baru selain lahan pertanian. Yang mengemudi harus extra hati-hati karena bisa tertidur. Daerah ini juga unik, kecepatan kenderaan di bolehkan mencapai 85 mile per jam.
Yang sangat menarik bagi saya adalah ketika hendak mengisi bahan bakar, kami tidak menjumpai SPBU. Akhirnya kami mengikuti rambu lalu lintas yang menunjuk arah SPBU. Rambu tersebut merujuk ke salah satu SPBU kecil yang berjarak sekitar 5 KM dari jalan tol. Nasib baik pada waktu itu tidak memihak pada kami, SPBU tutup. Namun yang sangat menarik bagi saya adalah melihat arsitektur bangunan dan SPBU yang seperti bangunan yang ada di film koboy.
Sesaat sebelum tiba dikota Denver, kami melawati daerah pengunungan yang begitu mempesona. Sebagian besar bukit dan gunung didaerah ini diselimitu salju. Dikaki bukit, banyak ternak yang merumput dengan tenang. Demikian juga dengan rumah penduduk, mereka terletak rapi mengikuti alur dan kemiringan bukit.
Malam itu kami menginap di apartment seorang mahasiswa yang sedang belajar di Coloro. Mereka pun berbagi cerita tentang daerah tersebut, cuaca, dan masyarakat sekitar.
Diawal pagi, kami menuju ke rumah seorang mahasiswa yang belajar di Colorado School of mine. Karena hari itu hari raya idul adha, kami melaksanakan solat ied di sebuah mesjid di daerah Golden, Colorado. Jemaah pada hari itu di dominasi oleh para pelajar dari timur tengah, khusus nya Saudi Arabia.
Karena tidak ingin membuang waktu, selesai sembahyang, khutbah dan silaturahmi kami memutuskan untuk mengunjungi danau yang sudah menjadi es, kota Denver, dan beberapa object wisata lainnya. Malamnya, kami dijamu oleh seorang warga Indonesia dari Medan di acara ulang tahun anak nya. Lagu Batakpun terdengar cukup semarak malam itu.
Esoknya kami memutuskan bermain ski di Eldora Mountain Resort. Harga tiket masuk dan peralatan bermain ski sekitar $65. Biarpun mahal, saya memutuskan untuk bermain. Namun, bayaran semahal itu tidak setimpal dengan pengalaman ber ski. Saya banyak terjatuh ketika bermain. Saya pun menganggapnya sebagai sebuah pengalaman yang tidak mungkin saya dapatkan di Indonesia.
Saya berharap suatu saat dapat kembali ikut dalam Road Trip mengunjungi daerah lain yang belum saya kunjungi.
Perjalanan pulang melewati jalur yang sama, kami pun menginap di hotel yang sama di Wichita. Karena rombongan kami berasal dari dua daerah berbeda, kami berpisah di Wichita.
Setelah 10 hari dalam perjalan, saya sangat merindukan Fayetteville, kota dimana saya tinggal. Yang lebih dirindukan adalah tempat tidur yang sudah 10 hari ditinggalkan.
The end.
Sunday, October 10, 2010
Texas - Oklahoma - Kansas
Sudah sangat lama rasanya saya tidak menulis di blog ini. Cerita tentang perjalanan ke lima negara bagian di Amerika serikat sepertinya tidak pernah tuntas. Malam ini saya berniat untuk menuliskan pengalaman tersebut sampai selesai. Paling tidak, hampir-hampir selesai.
Tulisan perjalanan tersebut masih berlanjut. Hari itu, Kami melakukan perjalanan melewati Dallas, Oklahoma, dan bermalam di Wichita, Kansas. Perjalanan tersebut menempuh waktu lebih dari 13 jam. Sungguh merupakan suatu perjalanan yang panjang.
Kami singgah ditempat seorang warga Aceh yang menetap di Texas. Sungguh seperti pulang kampung, kami dihidangkan udang masak asam,ayam, dan sayur. Sunggu luar biasa masakan tersebut. Walaupun sempat kesasar karena salah memasukkan alamat sewaktu men-setup GPS, makan siang di Dallas membuat kami lupa pernah tersesat dikota itu. Tuan rumah juga menghidangkan kopi kepada kami, tentu nya sambil menikmati obrolan ringan.
Kami meninggalkan kota Dallas sekitar jam 2:30 sore, dan meluncur terus ke wilayah Oklahoma dan mengemudi lebih dari 6 jam. Kami berhenti di daerah yang dekat dengan perbatasan antara Oklahoma dan Kansas. Pilihan kami kali ini ini jatuh di daerah perbelanjaan yang ada Wal-mart. Santapan makan malam penuh dengan lauk dan sayur yang khusus di bawa dari Texas. Tempat makannya pun sangat unik, pilihannya jatuh dilahan parkir Wal-mart dan ditemani oleh cuaca yang sangat dingin. Bisa dibayangkan, nasi yang panas diletakkan diatas piring langsung dingin. Malam itu, makan malam kami seperti memakan es. Memang sungguh perjalanan yang sangat menarik.
Setelah makan dan membereskan semua sampah, kami lanjutkan perjalanan ke Wichita. ke sebuah hotel yang telah di booking online. Walaupun hampir tersesat, akhirnya kami tiba di Hotel 6 sekitar pukul 11:30 malam.
Nasib baik pun memihak kepada kami waktu itu, seorang penjaga hotel yang berasal dari Pakistan memberikan cash back sebagai pengganti sarapan pagi. Maklum, esoknya hari raya Idul Adha. Sebagai pengganti traktiran sesama muslim katanya.
Friday, April 30, 2010
Mengeksplorasi Amerika: Arkansas – Oklahoma – Texas – Kansas - Colorado Part V I
Texas A&M University dan Bush Museum di College Station Texas.
Tanpa disadari, perjalanan kami kali ini banyak mengunjungi museum-museum yang ada di Texas. Sekembali dari kunjungan ke Museum NASA di Houston, kami kembali lagi ke College Station dan bermalam di kota kecil ini. Keesokan harinya kami mengunjungi Texas A&M University dan Bush museum yang juga masih berada didalam.
Menurut catatan wikipedia, Texas A&M University yang merupakan sebuah universitas ke tujuh terbesar di Amerika dengan jumlah mahasiswa sekitar 48.000 orang didirikan pada tahun 1976. Universitas ini juga selalu masuk dalam kategori 100 the best university in the world. Dari segi lahan, luas Universitas ini mencapai 21 KM persegi
banyak gedung-gedung perkuliahan dan administrasi tertata sangat rapi diareal yang luas tersebut. Sebagian diantaranya adalah gedung-gedung baru yang sedang dibangun. Kalau ingin mengililingi kampus dengan hanya berjalan kaki, rasanya tiga hari tidak akan cukup. Kampus ini merupakan kampus termegah dan terbesar yang pernah saya kunjungi di Amerika.
Dalam perjalanan ini, kami menyempatkan diri mampir di Meseum Bush. Bagi para pendatang dari luar dikenakan biaya masuk sebesar dari $10, namun bagi para mahasiswa dari luar Texas A&M dikenakan biaya masuk sebesar $5. Tetapi, bagi mahasiswa setempat bisa masuk kapan saja tanpa dikenakan biaya satu sen pun.
Memasuki museum ini, seakan kita kembali kemasa kepresidenan Bush senior. Disitu dipamerkan bagaimana Bush kecil, remaja, dewasa, dan masa dia menjabat sebagai president dan sesudah menjadi presiden berperan sesuai masanya. Banyak juga benda-benda peninggalan presiden Bush dipamerkan dimuseum ini seperti meja oval tempat Presiden Bush bekerja, kebun dan pabrik anggur, mobil, dan beberapa jenis kenderaan kepresidenan.
Disamping itu, banyak juga foto-foto peristiwa besar dunia juga di pajang dimuseum ini, seperti perang Irak-Iran, perang Kuwait, Perang di negara Balkan, reunifikasi Jerman, dan juga peristiwa besar lainnya. Mengunjungi museum ini seakan kita menyaksikan sendiri kejadian-kejadian besar dunia. Kadang saya sendiri bermimpi tentang Indonesia yang punya banyak museum dan tentunya menarik untuk di kunjungi. Mudah-mudahan mimpi itu akan ada dimasa depan.
Setelah selesai menikmati perjalanan hidup President Bush, selanjutkan kami menuju sebuah restaurant atau Steak House di kota tersebut. Bentuknya restaurant ini sangat unik, dinding dan pintu masuk didekorasi dengan gaya arsitek Texas. Yang paling menarik di restaurant ini adalah ukuran steak nya yang sangat besar. Kalau tidak salah Ukuran paling kecil adalah 12 oz (hampir 8 ounce) dan yang sedang 18 oz (sekitar satu kg setengah). Bagi para pemula dengan steak, tentu akan sangat berat menghabiskan seberat tersebut. Mungkin karena hal tersebut, tidak berlebihan jika orang menyebutnya Everything is bigger in Texas. Selamat berkunjung ke College Station, Texas.
Tuesday, April 27, 2010
Mengeksplorasi Amerika: Arkansas – Oklahoma – Texas – Kansas - Colorado Part V
Houston: kota luar angkasa.
Berangkat dari Kota San Antonio, kali ini kami menuju sebuah kota kecil bernama College Station dengan jarak tempuh sekitar empat jam. Dikota inilah Texas A&M University berada. Tujuan kami berkunjung ke kota ini adalah untuk bersilaturahmi dengan beberapa mahasiswa Indonesia khususnya mahasiswa dari Aceh. Kami sangat beruntung dijamu dengan masakan khas Aceh di rumah Bang Irham dengan masakan khas Aceh, apalagi lengkap dengan kepala ikan. Rasanya seperti pulang kampung.
Kami bermalam di kota kecil ini dan kemudian melanjutkan perjalanan ke Houston, Texas esok hari nya.
Houston adalah sebuah kota terbesar diwilayah Texas dan kota ke empat terbesar di Amerika serikat. Kota ini mempunyai sebuah bandara besar yang melayani berbagai tujuan domestik dan international, disamping memiliki banyak gedung-gedung tinggi dengan arsitektur yang unik dan museum Endeavor NASA. Perjalanan kami hari itu dari College Station menuju museum NASA dengan jarak tempuh sekitar 2 jam 15 menit.
Kami tiba di Endeavor sekitar jam 2 sore, dan langsung menuju ke museum NASA tersebut. Kami membeli tiket online, karena jauh lebih murah dengan membeli di counter tiket. Jika anda berniat mengunjungi museum NASA, harap dapat membeli tiket online. Lumayan bisa menghemat, walaupun hanya beberapa dollars.
Dimuseum ini dipamerkan semua peralatan luar angkasa NASA, mulai dari pesawat ulang alik sampai roket pengantar manusia ke bulan. Ukuran pesawat dan roket memang sangat besar. Saya sendiri tidak pernah membayangkan sebesar tersebut ukuran roket untuk ke luar angkasa. Kami mendapat penjelasan yang sangat detail bagaimana roket tersebut bekerja.
Untuk roket Saturn, panjang nya sekitar 150 meter dan terbagi ke dalam empat bagian roket, yang setiap bagian akan lepas setelah mencapai jarak jelajah tertentu. Berkunjung ke museum NASA seperti mempunyai pengalaman mengexplorasi sendiri luar angkasa.
Selanjutnya kami di ajak berkunjung di rung kontrol stasiun luar angkasa. Di gedung ini kami diperlihatkan bagaimana para staf NASA mengawasi perjalananan pesawat ke angkasa. Disamping itu, banyak alat-alat yang digunakan oleh para astronot juga dipamerkan disini, seperti jam dan baju luar angkasa. Ketika berada dalam ruangan tersebut, seakan punya pengalaman tersediri memberikan arahan kepada para astronot. Perjalanan dilanjutkan mengelilingi komplek museum tersebut, seperti mengunjungi makam para astronot yang meninggal saat menjalankan tugas. Untuk menghormati mereka, pihak museum nenanam satu batang pohon untuk setiap orang yang meninggal.
Bagi pecinta koleksi NASA, ditempat ini juga banyak dijual berbagai sourvenir lengkap dengan tulisan ”NASA”. Harganya tidak terlalu mahal dan juga terlalu murah. Sebagai oleh-oleh, mgk bisa dibelikan beberapa gantungan kunci dan magnet untuk di tempel di kulkas. Apabila anda sudah menjejakkan kaki di kota Houston, sangat direkomendasikan berkunjung ke museum NASA.
Monday, March 1, 2010
Mengeksplorasi Amerika: Arkansas – Oklahoma – Texas – Kansas - Colorado Part IV
Part IV: San Antonio: Kota tua yang unik dan penuh catatan sejarah.
Tak pernah terbayangkan sebelumnya, saya akan menginjakkan kaki dikota tua yang penuh sejarah, San Antonio Texas. Kota ini terkenal dengan beberapa objek wisata air, gedung-gedung kuno, museum, dan juga catatan hitam putihnya sejarah tentang perebutan kota ini dibawah beberapa kekuasaan besar dunia.
Jika anda berkunjung ke San Antonio, rasanya tidak lengkap kalau anda belum mengunjungi riverside walk, the Alamo, the tower of the Americas, the Alamo bowl, sea world, dan Six Flags Fiesta Texas. Masing-masing dari tempat ini menawarkan hal yang sangat menarik dan tentunya berbeda satu dengan yang lainnya. Mengunjungi ke Kota ini seakan membuat kita terpana dan kagum akan keindahan, kerapian, dan tata letak yang unik. Semuanya begitu rapi diatur oleh pemerintah local San Antonio.
Mungkin kita tidak habis seharian mengunjungi object wisata yang saya sebutkan di atas. Namun, mengunjungi beberapa dari mereka sudah cukup memadai. Riverside walk dan the Alamo biasanya menjadi pilihan utama bagi para turis. Kalau kita melihat secara teliti, River walk tidak ubahnya seperti sebuah trotoar ditepi sungai kecil yang menghubungkan sisi tebing sungai. Kadang juga menghubungkan tebing sebelah kanan dan sebelah kiri. Letaknya perish di tengah kota San Antonio.
Menariknya lagi, disetiap sisi sungai terdapat ratusan restaurants kecil yang menawarkan berbagai cita rasa masakan, mulai dari masakan khas ala Texas sampai masakan Mexico dan Amerika latin. Masakan yang ditawarkan disini umunya sangat terjangkau untuk ukuran kantong seorang mahasiswa. Hari itu kami memesan omelet egg dan kopi, harganya kurang dari $10.
Disamping itu, terdapat juga hotel mewah seperti Hilton, dan jaringan café international seperti Hard Rock café dan Starbuck yang siap untuk menjamu anda dengan makananan khas atau sekedar hidangan kopi panas. Riverside walk juga ini tidak mengenakan tiket masuk bagi siapa pun atau dengan kata lain gratis. Mungkin factor ini yang juga menjadi bagian penting untuk menarik wisatawan.
Riverside walk juga menawarkan jasa beberapa atraksi menarik seperti traveling melintasi alur sungai San Antonio. Dengan berbekal $10, anda dapat menyusuri alur sungai dengan penjelasan yang detail dari kapten boat. Jika anda ingin menyusuri tepi sungai dengan berjalan kaki, $10 dapat digunakan untuk memberli souvenir-souvenir yang unik. Hari itu kami memilih berjalan kaki, melewati satu persatu restaurant yang ada.
Kami juga berkunjung ke sebuah theater drama yang berada ditepi sungai. Tempat duduknya bertingkat dan dilapasi dengan rumput yang hijau. Teather ini persis seperti tempat pertunjukan pada masa Romawi dan Yunani kuno. Menariknya lagi, banyak bebek yang bermain di sungai ini tanpa ragu akan di tangkap dan membuat sungai ini terlihat lebih natural.
Riverside walk telah manarik jutaan wisatawan dari dalam dan luar negeri untuk mengunjunginya. Biarpun berada ditengah kota, sungai ini tidak menjadi tempat pembuangan sampah dan air limbah seperti sungai-sungai di Jakarta dan Aceh. Semua restaurants yang ada menghadap ke sungai ini.
Mungkin karena semua restaurants dan toko-toko menghadap ke sungai, jadinya menjaga sungai agar terlihat bersih menjadi tanggung bersama. Kita juga bisa melihat bangunan-bangunan tua yang ada di Indonesia, hampir semuanya menghadap ke sungai. Hal ini memberikan peran berarti untuk menjaga kebersihan sungai. Tentu banyak yang berharap, sungai-sungai yang ada di kota bisa jadikan tempat yang tepat untuk menarik wisatawan.
Kami juga pernah mendikusikan hal yang sama dengan masalah-masalah sungai di Aceh. Berandai-andai tentang sungai Aceh yang bisa dikembangkan menjadi tempat wisata yang menarik. B’Azka dan Suci, yang merupakan penduduk kota Banda Aceh, tau betul seluk beluk sungai krueng Aceh tersebut. Mereka membandingkan sungai yang berada di depan Kodam dan POM terlihat sangat indah, Namun ketika melangkah kaki ke Penayong, tepi sungai terlihat sangat kotor dan menjadi tempat untuk membuang sampah. Mungkin suatu hari, mimpi Suci dan B’Azka dan mimpi kita semua yang ingin melihat sungai menjadi indah bisa jadi kenyataan.
Berangkat dari Riverside walk, kami menuju the Alamo, benteng megah yang telah diubah menjadi museum. Benteng ini menjadi bagian penting dari sejarah Texas. Awalnya, benteng ini dibangun oleh Kerajaan Spanyol dan pernah digunakan oleh misionaris Katolik roma. The Alamo pernah juga direbut oleh Mexico dan kemudian diambil alih oleh Tentara Texas.
Lagi-lagi, museum ini tidak memungut bea masuk Sehingga setiap orang bisa mendapatkan pengalaman masa lalu the Alamo tanpa harus membayar. Didalam benteng tersebut, terdapat bagian penjara dan benda-benda sejarah yang digunakan semasa perang merebut dan mempertahankan benteng. Semua tersaji dan diatur dengan rapi. Jika anda ingin mendapat penjelasan yang lebih detail, anda bisa bertanya kepada staff museum. Rimbunan pepohonan didalam benteng tersebut membuat kita lebih nyaman berada dan menghabiskan waktu untuk menggali informasi tentang the Alamo. Hampir semua benda-benda yang ada bisa di foto, kecuali ada petunjuk untuk tidak boleh mengambil gambar.
Tidak jauh dari the Alamo, anda juga bisa mengunjungi the tower of the Americas, the Alamo bowl, sea world, dan Six Flags Fiesta Texas. Anda bisa juga mengambil photo berlatar belakang gedung klasik yang masih terpelihara dengan rapi. Mungkin gedung-gedung kuno sudah jarang dijumpai dinegara kita, karena perawatan nya yang tidak memadai. Mungkin, kita juga berharap, agar bangunan kuno dinegara kira dapat kembali direnovasi dan direvilitalisasi. Wallahualam.
Next:
Houston: kota luar angkasa.
Sunday, February 21, 2010
Social Entrepreneurship, Asa Baru Masyarakat Petani
http://swa.co.id/2010/02/social-entrepreneurship-asa-baru-masyarakat-petani/
Thursday, February 4th, 2010
oleh : Joko Sugiarsono
Model social entrepreneurship bisa menjadi solusi bagi kepastian pasar dan harga komoditas pertanian. Bila digarap dengan elok, kesejahteraan masyarakat petani kebanyakan pun bisa ditingkatkan.
Menjadi petani bukan berarti tidak bisa apa-apa. Banyak tokoh sukses negeri ini berasal dari keluarga petani. Bila Anda tak pernah menyelami bagaimana kehidupan petani di negeri ini, mungkin tak mudah mengetahui sulitnya menjadi petani – apalagi petani kecil tanpa lahan.
“Pada dasarnya petani-petani kecil di Indonesia menghadapi banyak kesulitan,” kata DR. Lala M. Kolopaking, Kepala Pusat Studi Pembangunan Pedesaan IPB. “Di antara kesulitan utama mereka adalah mendapatkan biaya untuk menyelenggarakan usahanya.”
Yang disebutkan Lala rasanya tak berlebihan. Buktinya, hingga saat ini, kalangan rentenir – pemilik uang yang meminjamkan uangnya dengan bunga sangat tinggi – masih banyak beredar di tengah masyarakat. Rentenir di pedesaan tak jarang sekaligus berpraktik sebagai pengijon.
“Ya, beberapa tahun lalu kami pernah melakukan riset tentang hal ini di Jawa Timur,” ungkap DR. Ahmad Erani Yustika, Direktur Eksekutif Indef. “Kesimpulannya, rentenir dilihat dari berbagai aspek memang merugikan.” Toh, menurut Ahmad, karena adanya kelemahan dalam berbagai aspek nonekonomi, sosial, politik dan budaya – tidak hanya pada sisi masyarakat tetapi juga pemerintah – membuat tak mudah mengeliminasi rentenir dari kehidupan petani. Ia mencontohkan, karena adanya birokrasi serta illegal margin/interest yang diterapkan sebagian koperasi, tak jarang bunga yang dipatok rentenir lebih rendah dibanding bunga yang diberikan pemerintah via koperasi.
Pemerintah, lanjut Ahmad, sebetulnya tahu persoalan semacam ini. “Tapi, kemampuan pemerintah mengawal implementasi program kerja dari atas hingga bawah sangat terbatas,” katanya. Ia mencontohkan, sebenarnya Kredit Ketahanan Pangan sudah 10 tahun ada, yang diberikan untuk beberapa komoditas. “Tapi, pemerintah belum mampu memastikan apakah yang telah diberikan betul-betul sesuai dengan yang dikehendaki,” katanya mengkritik.
Peran koperasi untuk memberdayakan masyarakat petani, menurut Ahmad, masih ideal asalkan dikelola dengan baik dan tidak menerapkan praktik illegal interest/margin. Begitu pula, lembaga formal perbankan masih bisa diharapkan sebagai instrumen pendanaan bagi masyarakat petani. Namun, ia mencermati kehadiran lembaga keuangan komersial – biasanya dengan layanan microbanking-nya – belum tentu menguntungkan masyarakat petani. Ia mencontohkan ada bank yang menghimpun dana pihak ketiga dari masyarat pedesaan, tetapi yang disalurkan kembali pada mereka sangat kecil jumlahnya. “Mereka malah jadi instrumen yang menyedot keuntungan dan modal petani dari desa ke kota,” katanya dengan nada kritis.
“Idealnya, pemerintah memberi ruang gerak lebih luas bagi kehadiran social entrepreneur ataupun social enterprise (SE),” kata Ahmad menyarankan. Salah satu model yang dicontohkan, para SE ini bisa menjadi kepanjangan tangan lembaga pendanaan dengan asumsi mereka lebih tahu potensi lokal daerah masing-masing. Kebanyakan petani memang tak bisa menyediakan agunan (economic collateral). Namun dengan kehadiran SE, menurut Ahmad, memungkinkan adanya social collateral atau trust collateral. Ia meyakini SE bisa menjadi salah satu pembuka katup yang menyumbat masalah ekonomi pedesaan. “Apalagi, SE biasanya sangat ramah dengan organisasi sosial dan masyarakat bawah,” katanya.
Pengamatan Ahmad tak salah. Meski masih relatif sedikit, sejauh ini kita sudah bisa menemukan beberapa SE yang mampu berperan signifikan dalam ekonomi pedesaan. Bahkan, ada yang tidak saja mampu menjaga stabilitas harga komoditas yang diproduksi para petani, melainkan mampu pula mendongkrak tingkat kesejahteraan mereka.
Contohnya, Puskud Ja-Teng Perwakilan Brebes, yang sejak 1996 menjembatani kemitraan PT Indofood Sukses Makmur dengan petani bawang merah di Brebes. Menurut Masrukhi Bachro, Ketua Puskud Ja-Teng Brebes, hubungan kemitraan ini dijalin karena Puskud melihat adanya fluktuasi harga. Dengan kemitraan, ada kontrak yang menjamin kepastian harga, sehingga petani tak akan rugi walaupun di pasar harga komoditas bawang merah sedang jatuh.
Di awal kerja sama, petani mitra dapat pasokan benih dari Indofood. Selanjutnya, setelah dianggap mampu mandiri, kemitraannya lebih bersifat transaksional. “Petani dapat kepastian pasar dan harga, koperasi dapat profit, dan perusahaan (Indofood) mendapat kepastian pasokan barang dengan kualitas standar,” ujar Masrukhi.
Masrukhi menyebutkan, Indofood tak melarang pihak Puskud bekerja sama dengan mitra lain, asalkan permintaan Indofood sesuai dengan kontrak, bisa terpenuhi. Sekarang, kebutuhan Indofood yang harus dipenuhi Puskud Ja-Teng Brebes 50-60 ton/bulan. Dari 24 KUD yang ada di Brebes, ada 8 KUD yang bekerja sama dalam kemitraan ini.
Model kemitraan mutualistis seperti itu juga dilakukan oleh Yayasan Unilever Indonesia (YUI), UGM, dan petani kedelai hitam di 7 kabupaten. Inisiatifnya dari YUI. Menurut Maya Tamimi, Manajer Program UKM YUI, setelah mengakuisisi kecap Bango, Unilever merasa perlu sumber baru untuk penyediaan kedelai hitam. “Maka, ditawarkanlah program kemitraan ini kepada para petani kedelai,” kata Maya.
Tahun 2001, kemitraan ini dimulai dalam skala relatif kecil, hanya lahan seluas 5 hektare dan 12 petani kedelai hitam. Ternyata perkembangannya signifikan. Kini, hampir 7 ribu petani mitra, dengan total luas lahan mencapai sekitar 1.000 ha, berlokasi di 7 kabupaten (Bantul, Kulon Progo, Pacitan, Ngawi, Nganjuk, Madiun dan Trenggalek). Benih yang dipakai sekarang adalah kedelai hitam Mallika, hasil penelitian UGM yang baru diluncurkan tiga tahun lalu.
Dalam kemitraan ini, para petani kedelai membentuk kelompok tani, yang kemudian memasok hasil kedelai hitamnya ke koperasi, selanjutnya dikirimkan ke Unilever. Di sini juga ada kontrak, dengan harga berapa kedelai hitam petani mitra akan dibeli. “Jadi, ada kepastian harga dan kepastian pasar,” kata Maya.
Bolehkah mereka menjual ke tempat lain? “Selama memenuhi permintaan di kontrak tak masalah. Namun sejauh ini kebutuhan Unilever lebih besar daripada yang mereka hasilkan,” ujar Maya. Ia menyebutkan kontribusi para petani mitra baru 25%, selebihnya dari pemasok lain.
Kemitraan ini, menurut Maya, tidak cuma transaksional. YUI yang bertindak selaku SE di sini, bersama UGM melakukan pembinaan terhadap petani. Tadinya, kapasitas produksi petani cuma 0,7 ton/ha kini menjadi 2,7 ton/ha. YUI juga melakukan pembinaan pascapanen pada ibu-ibu petani dan pelatihan manajemen keuangan untuk pengurus koperasi. YUI memberikan pinjaman lunak kepada petani guna membeli pupuk dan pestisida. “Setelah panen baru dikembalikan pada kami,” ungkapnya. Adapun benih hingga kini masih disokong karena masih sulit ditemukan di pasar.
Pengembangan masyarakat petani dengan model SE bukan cuma bisa ditemukan di komoditas setahun, melainkan juga di kalangan petani komoditas tahunan. Contohnya dilakukan Mahrizal, pendiri dan ketua Yayasan Tunas Bangsa (YTB), yang menggalang aktifnya kembali pertanian kakao di Aceh. Maklum, akibat konflik bersenjata di Tanah Rencong ini, banyak petani kakao yang tidak lagi bertani. Mahrizal sendiri mengaku bisa kuliah S-2 di luar negeri berkat orang tuanya yang bertani kakao.
Mahrizal tahu ada dana grant dari lembaga internasional yang bisa dimanfaatkan. Dia pun menyusun proposal pertanian kakao organik. Di tahap awal, ia membina 300 kepala keluarga petani kakao yang didukung pendanaan dari Kedubes Jepang. Kemudian tahap kedua membina 75 kepala keluarga dengan dukungan dana dari Hivos Netherland.
Bantuan yang diberikan buat petani dalam bentuk pembinaan dan bibit serta perangkat yang dibutuhkan. Meski tak ada kewajiban pengembalian, Mahrizal mengaku pengawasan ketat dilakukan petugas dan penyuluh lapangan yang tergabung dalam YTB. Setelah panen, petani kakao boleh menjualnya kepada siapa saja yang berminat. “Di Aceh, pembeli kakao sangat mudah dijumpai,” katanya.
Soal patokan harga komoditas kakao, menurut Mahrizal, biasanya petani sudah memantau sendiri siaran Info Komoditas di TVRI setiap pagi. “Tapi, saya sendiri menginginkan para petani binaan ini bisa mempunyai sertifikat fair trade, sehingga mereka bisa menikmati harga premium dari hasil pertanian organik mereka,” kata Mahrizal. “Mudah-mudahan ada pihak yang mau membantu untuk tahap ini,” sambungnya berharap.
Pengembangan masyarakat petani model SE bisa pula dikembangkan di lingkungan komoditas perikanan, seperti dicontohkan Nasrudin, pelopor budidaya lele Sangkuriang dari Desa Gadog, Megamendung, Bogor. Dia yang langsung membina masyarakat kebanyakan untuk menjadi peternak lele Sangkuriang. Sang SE ini pula yang siap memasok benih lele unggulan dan menyediakan obat ramuan organik kepada para peternak lele. Melalui Koperasi Cahaya Kita yang baru didirikan, pihaknya siap menampung dan memasarkan hasil panen para peternak lele binaannya.
Menurut Lala M. Kolopaking, Ketua PSPP-IPB, kebanyakan petani (petani kecil) memang membutuhkan mitra yang bisa mendengarkan kesulitan mereka dan membantu mencarikan jalan keluarnya. “Mitra petani ini bisa menjadi jembatan antara petani kecil dengan pihak pemerintah, perusahaan ataupun kalangan pengusaha besar lainnya,” katanya. Ia menilai, idealnya, mitra petani bisa berasal dari kalangan petani itu sendiri. “Contohnya, kalau petani sayur, idealnya mitranya juga petani yang punya bisnis sayur dan jaringan yang kuat.” Nah, SE bisa mengisi peran sebagai mitra petani tersebut. “Pemerintah sewajarnya mendorong pertumbuhan SE karena perannya yang sangat vital bagi pembangunan pedesaan,” ujar Lala mengimbau.
DR. Bayu Krisnamurthi, Wakil Menteri Pertanian RI, mengaku sepakat akan pentingnya kehadiran SE. Menurutnya, meski tidak gratisan (seperti halnya pekerja sosial), benefit terbesar dari kehadiran SE diperoleh komunitas yang dilayaninya. “Social entrepreneurship di sektor pertanian masih dibutuhkan, terutama karena melihat kondisi objektif pertanian kita,” katanya seraya menyebutkan masih adanya ketidaksetaraan dalam dunia pertanian. Menurutnya, kepedulian pemerintah sendiri terhadap petani kecil makin tinggi, contohnya pada 2009 menggelontorkan subsidi pertanian dengan nilai total mendekati Rp 40 triliun.
Dalam hal SE, menurut Bayu, sekitar tiga tahun lalu pemerintah pernah merekrut 10 ribu tenaga muda sebagai pendamping petani. Tadinya diharapkan dari tenaga yang direkrut itu ada yang bisa menjadi SE, yang pada awalnya masih disokong oleh Deptan hingga bisa mandiri. Diakuinya, program ini tak mudah dijalankan, sebab tak sedikit yang melihatnya sebagai “jembatan karier” belaka atau merasa tak punya bakat. Toh, ia menegaskan, Deptan hendak meneruskan program tenaga pendamping petani ini. “Tapi modelnya akan disempurnakan dari sebelumnya,” katanya. Ia juga mengakui sejauh ini belum banyak melakukan program komunikasi – semacam gathering – dengan kalangan SE yang sudah berkiprah di sektor pertanian. “Tapi, hal itu akan kami tingkatkan di masa mendatang,” ucapnya berjanji.
Reportase: Ahmad Yasir Saputra, Moh. Husni Mubarak, Kristiana Anissa, Siti Ruslina
Thursday, February 4th, 2010
oleh : Joko Sugiarsono
Model social entrepreneurship bisa menjadi solusi bagi kepastian pasar dan harga komoditas pertanian. Bila digarap dengan elok, kesejahteraan masyarakat petani kebanyakan pun bisa ditingkatkan.
Menjadi petani bukan berarti tidak bisa apa-apa. Banyak tokoh sukses negeri ini berasal dari keluarga petani. Bila Anda tak pernah menyelami bagaimana kehidupan petani di negeri ini, mungkin tak mudah mengetahui sulitnya menjadi petani – apalagi petani kecil tanpa lahan.
“Pada dasarnya petani-petani kecil di Indonesia menghadapi banyak kesulitan,” kata DR. Lala M. Kolopaking, Kepala Pusat Studi Pembangunan Pedesaan IPB. “Di antara kesulitan utama mereka adalah mendapatkan biaya untuk menyelenggarakan usahanya.”
Yang disebutkan Lala rasanya tak berlebihan. Buktinya, hingga saat ini, kalangan rentenir – pemilik uang yang meminjamkan uangnya dengan bunga sangat tinggi – masih banyak beredar di tengah masyarakat. Rentenir di pedesaan tak jarang sekaligus berpraktik sebagai pengijon.
“Ya, beberapa tahun lalu kami pernah melakukan riset tentang hal ini di Jawa Timur,” ungkap DR. Ahmad Erani Yustika, Direktur Eksekutif Indef. “Kesimpulannya, rentenir dilihat dari berbagai aspek memang merugikan.” Toh, menurut Ahmad, karena adanya kelemahan dalam berbagai aspek nonekonomi, sosial, politik dan budaya – tidak hanya pada sisi masyarakat tetapi juga pemerintah – membuat tak mudah mengeliminasi rentenir dari kehidupan petani. Ia mencontohkan, karena adanya birokrasi serta illegal margin/interest yang diterapkan sebagian koperasi, tak jarang bunga yang dipatok rentenir lebih rendah dibanding bunga yang diberikan pemerintah via koperasi.
Pemerintah, lanjut Ahmad, sebetulnya tahu persoalan semacam ini. “Tapi, kemampuan pemerintah mengawal implementasi program kerja dari atas hingga bawah sangat terbatas,” katanya. Ia mencontohkan, sebenarnya Kredit Ketahanan Pangan sudah 10 tahun ada, yang diberikan untuk beberapa komoditas. “Tapi, pemerintah belum mampu memastikan apakah yang telah diberikan betul-betul sesuai dengan yang dikehendaki,” katanya mengkritik.
Peran koperasi untuk memberdayakan masyarakat petani, menurut Ahmad, masih ideal asalkan dikelola dengan baik dan tidak menerapkan praktik illegal interest/margin. Begitu pula, lembaga formal perbankan masih bisa diharapkan sebagai instrumen pendanaan bagi masyarakat petani. Namun, ia mencermati kehadiran lembaga keuangan komersial – biasanya dengan layanan microbanking-nya – belum tentu menguntungkan masyarakat petani. Ia mencontohkan ada bank yang menghimpun dana pihak ketiga dari masyarat pedesaan, tetapi yang disalurkan kembali pada mereka sangat kecil jumlahnya. “Mereka malah jadi instrumen yang menyedot keuntungan dan modal petani dari desa ke kota,” katanya dengan nada kritis.
“Idealnya, pemerintah memberi ruang gerak lebih luas bagi kehadiran social entrepreneur ataupun social enterprise (SE),” kata Ahmad menyarankan. Salah satu model yang dicontohkan, para SE ini bisa menjadi kepanjangan tangan lembaga pendanaan dengan asumsi mereka lebih tahu potensi lokal daerah masing-masing. Kebanyakan petani memang tak bisa menyediakan agunan (economic collateral). Namun dengan kehadiran SE, menurut Ahmad, memungkinkan adanya social collateral atau trust collateral. Ia meyakini SE bisa menjadi salah satu pembuka katup yang menyumbat masalah ekonomi pedesaan. “Apalagi, SE biasanya sangat ramah dengan organisasi sosial dan masyarakat bawah,” katanya.
Pengamatan Ahmad tak salah. Meski masih relatif sedikit, sejauh ini kita sudah bisa menemukan beberapa SE yang mampu berperan signifikan dalam ekonomi pedesaan. Bahkan, ada yang tidak saja mampu menjaga stabilitas harga komoditas yang diproduksi para petani, melainkan mampu pula mendongkrak tingkat kesejahteraan mereka.
Contohnya, Puskud Ja-Teng Perwakilan Brebes, yang sejak 1996 menjembatani kemitraan PT Indofood Sukses Makmur dengan petani bawang merah di Brebes. Menurut Masrukhi Bachro, Ketua Puskud Ja-Teng Brebes, hubungan kemitraan ini dijalin karena Puskud melihat adanya fluktuasi harga. Dengan kemitraan, ada kontrak yang menjamin kepastian harga, sehingga petani tak akan rugi walaupun di pasar harga komoditas bawang merah sedang jatuh.
Di awal kerja sama, petani mitra dapat pasokan benih dari Indofood. Selanjutnya, setelah dianggap mampu mandiri, kemitraannya lebih bersifat transaksional. “Petani dapat kepastian pasar dan harga, koperasi dapat profit, dan perusahaan (Indofood) mendapat kepastian pasokan barang dengan kualitas standar,” ujar Masrukhi.
Masrukhi menyebutkan, Indofood tak melarang pihak Puskud bekerja sama dengan mitra lain, asalkan permintaan Indofood sesuai dengan kontrak, bisa terpenuhi. Sekarang, kebutuhan Indofood yang harus dipenuhi Puskud Ja-Teng Brebes 50-60 ton/bulan. Dari 24 KUD yang ada di Brebes, ada 8 KUD yang bekerja sama dalam kemitraan ini.
Model kemitraan mutualistis seperti itu juga dilakukan oleh Yayasan Unilever Indonesia (YUI), UGM, dan petani kedelai hitam di 7 kabupaten. Inisiatifnya dari YUI. Menurut Maya Tamimi, Manajer Program UKM YUI, setelah mengakuisisi kecap Bango, Unilever merasa perlu sumber baru untuk penyediaan kedelai hitam. “Maka, ditawarkanlah program kemitraan ini kepada para petani kedelai,” kata Maya.
Tahun 2001, kemitraan ini dimulai dalam skala relatif kecil, hanya lahan seluas 5 hektare dan 12 petani kedelai hitam. Ternyata perkembangannya signifikan. Kini, hampir 7 ribu petani mitra, dengan total luas lahan mencapai sekitar 1.000 ha, berlokasi di 7 kabupaten (Bantul, Kulon Progo, Pacitan, Ngawi, Nganjuk, Madiun dan Trenggalek). Benih yang dipakai sekarang adalah kedelai hitam Mallika, hasil penelitian UGM yang baru diluncurkan tiga tahun lalu.
Dalam kemitraan ini, para petani kedelai membentuk kelompok tani, yang kemudian memasok hasil kedelai hitamnya ke koperasi, selanjutnya dikirimkan ke Unilever. Di sini juga ada kontrak, dengan harga berapa kedelai hitam petani mitra akan dibeli. “Jadi, ada kepastian harga dan kepastian pasar,” kata Maya.
Bolehkah mereka menjual ke tempat lain? “Selama memenuhi permintaan di kontrak tak masalah. Namun sejauh ini kebutuhan Unilever lebih besar daripada yang mereka hasilkan,” ujar Maya. Ia menyebutkan kontribusi para petani mitra baru 25%, selebihnya dari pemasok lain.
Kemitraan ini, menurut Maya, tidak cuma transaksional. YUI yang bertindak selaku SE di sini, bersama UGM melakukan pembinaan terhadap petani. Tadinya, kapasitas produksi petani cuma 0,7 ton/ha kini menjadi 2,7 ton/ha. YUI juga melakukan pembinaan pascapanen pada ibu-ibu petani dan pelatihan manajemen keuangan untuk pengurus koperasi. YUI memberikan pinjaman lunak kepada petani guna membeli pupuk dan pestisida. “Setelah panen baru dikembalikan pada kami,” ungkapnya. Adapun benih hingga kini masih disokong karena masih sulit ditemukan di pasar.
Pengembangan masyarakat petani dengan model SE bukan cuma bisa ditemukan di komoditas setahun, melainkan juga di kalangan petani komoditas tahunan. Contohnya dilakukan Mahrizal, pendiri dan ketua Yayasan Tunas Bangsa (YTB), yang menggalang aktifnya kembali pertanian kakao di Aceh. Maklum, akibat konflik bersenjata di Tanah Rencong ini, banyak petani kakao yang tidak lagi bertani. Mahrizal sendiri mengaku bisa kuliah S-2 di luar negeri berkat orang tuanya yang bertani kakao.
Mahrizal tahu ada dana grant dari lembaga internasional yang bisa dimanfaatkan. Dia pun menyusun proposal pertanian kakao organik. Di tahap awal, ia membina 300 kepala keluarga petani kakao yang didukung pendanaan dari Kedubes Jepang. Kemudian tahap kedua membina 75 kepala keluarga dengan dukungan dana dari Hivos Netherland.
Bantuan yang diberikan buat petani dalam bentuk pembinaan dan bibit serta perangkat yang dibutuhkan. Meski tak ada kewajiban pengembalian, Mahrizal mengaku pengawasan ketat dilakukan petugas dan penyuluh lapangan yang tergabung dalam YTB. Setelah panen, petani kakao boleh menjualnya kepada siapa saja yang berminat. “Di Aceh, pembeli kakao sangat mudah dijumpai,” katanya.
Soal patokan harga komoditas kakao, menurut Mahrizal, biasanya petani sudah memantau sendiri siaran Info Komoditas di TVRI setiap pagi. “Tapi, saya sendiri menginginkan para petani binaan ini bisa mempunyai sertifikat fair trade, sehingga mereka bisa menikmati harga premium dari hasil pertanian organik mereka,” kata Mahrizal. “Mudah-mudahan ada pihak yang mau membantu untuk tahap ini,” sambungnya berharap.
Pengembangan masyarakat petani model SE bisa pula dikembangkan di lingkungan komoditas perikanan, seperti dicontohkan Nasrudin, pelopor budidaya lele Sangkuriang dari Desa Gadog, Megamendung, Bogor. Dia yang langsung membina masyarakat kebanyakan untuk menjadi peternak lele Sangkuriang. Sang SE ini pula yang siap memasok benih lele unggulan dan menyediakan obat ramuan organik kepada para peternak lele. Melalui Koperasi Cahaya Kita yang baru didirikan, pihaknya siap menampung dan memasarkan hasil panen para peternak lele binaannya.
Menurut Lala M. Kolopaking, Ketua PSPP-IPB, kebanyakan petani (petani kecil) memang membutuhkan mitra yang bisa mendengarkan kesulitan mereka dan membantu mencarikan jalan keluarnya. “Mitra petani ini bisa menjadi jembatan antara petani kecil dengan pihak pemerintah, perusahaan ataupun kalangan pengusaha besar lainnya,” katanya. Ia menilai, idealnya, mitra petani bisa berasal dari kalangan petani itu sendiri. “Contohnya, kalau petani sayur, idealnya mitranya juga petani yang punya bisnis sayur dan jaringan yang kuat.” Nah, SE bisa mengisi peran sebagai mitra petani tersebut. “Pemerintah sewajarnya mendorong pertumbuhan SE karena perannya yang sangat vital bagi pembangunan pedesaan,” ujar Lala mengimbau.
DR. Bayu Krisnamurthi, Wakil Menteri Pertanian RI, mengaku sepakat akan pentingnya kehadiran SE. Menurutnya, meski tidak gratisan (seperti halnya pekerja sosial), benefit terbesar dari kehadiran SE diperoleh komunitas yang dilayaninya. “Social entrepreneurship di sektor pertanian masih dibutuhkan, terutama karena melihat kondisi objektif pertanian kita,” katanya seraya menyebutkan masih adanya ketidaksetaraan dalam dunia pertanian. Menurutnya, kepedulian pemerintah sendiri terhadap petani kecil makin tinggi, contohnya pada 2009 menggelontorkan subsidi pertanian dengan nilai total mendekati Rp 40 triliun.
Dalam hal SE, menurut Bayu, sekitar tiga tahun lalu pemerintah pernah merekrut 10 ribu tenaga muda sebagai pendamping petani. Tadinya diharapkan dari tenaga yang direkrut itu ada yang bisa menjadi SE, yang pada awalnya masih disokong oleh Deptan hingga bisa mandiri. Diakuinya, program ini tak mudah dijalankan, sebab tak sedikit yang melihatnya sebagai “jembatan karier” belaka atau merasa tak punya bakat. Toh, ia menegaskan, Deptan hendak meneruskan program tenaga pendamping petani ini. “Tapi modelnya akan disempurnakan dari sebelumnya,” katanya. Ia juga mengakui sejauh ini belum banyak melakukan program komunikasi – semacam gathering – dengan kalangan SE yang sudah berkiprah di sektor pertanian. “Tapi, hal itu akan kami tingkatkan di masa mendatang,” ucapnya berjanji.
Reportase: Ahmad Yasir Saputra, Moh. Husni Mubarak, Kristiana Anissa, Siti Ruslina
Mengeksplorasi Amerika: Arkansas – Oklahoma – Texas – Kansas - Colorado Part III
Part III: Texas – Everything is bigger in Texas.
Perjalanan kami lanjutkan kembali ditengah rasa lapar dan bayang-bayang daging rendang, ikan teri sambal, ungkot suree asam sunti, dan tentunya nasi putih yang masih panas. Maklum, sebagai orang Indonesia, nasi hampir tidak pernah absen dari menu makan pagi, siang, dan malam. Setelah menempuh perjalanan sekitar 30 menit dari tempat pemberhentian SPBU, kami melihat sign board bertuliskan “Welcome to Texas”. Hati sudah terasa gembira, berharap tempat rest area tidak jauh lagi. Memang betul, tak lama kemudian sebuah sign board bertuliskan “Rest Area”.
Setelah menurunkan semua keperluan, termasuk beras dan rice cooker, hal pertama yang kami cari adalah kamar kecil (rest room). Kemudian, pembagian tugas pun dimulai: Suci mencuci beras untuk masak nasi di Rest Area tersebut, saya mencari colokan listrik, Azka liat kiri kanan memastikan posisi aman alias tidak mencolok perhatian publik. Kami putuskan untuk mencari colokan listrik diluar gedung, karena khawatir nanti ditegur pihak keamanan jika ketauan masak. Kami mencari satu persatu colokan yang ada, semuanya yang diluar gedung tidak ada arus. Ketika sedang mencoba yang terakhir, tiba-tiba anjing yang agak kumal pun mendekat. Panik awalnya, namun kemudian kami coba usir pakai air botol……. Mujarab ternyata, anjingnya langsung “tancap gas”. Namun di sisi lain, usaha mencari colokan diluar gedung bangunan sia-sia, karena colokannnya tidak satupun bisa dipakai.
Kami kembali lagi ke dalam gedung dan mencari colokan yang agak tertutup. Kami sangat senang ketika melihat lampu rice cooker menyala, sehingga bayangan kelaparanpun akan segera berakhir. Otomatis, kegiatan pengamatan alias pasang mata kiri-kanan tetap berjalan, supaya tidak ada petugas yang menegur. Maklum, masak nasinya didalam ruangan. Kami menutup rice cooker dengan back-pack dan berpura-pura membaca koran agar tidak keliatan memasak. Rasa was-was selalu ada, sehingga kami ganti-ganti shift jaga. Rasanya seperti jaga malam di masa konflik Aceh dulu, hehehe. Kami juga telah menyiapkan berbagai alasan jika nanti di tanya petugas, mulai dari puasalah, sakit kalau nggak makan nasilah, emergency-lah dan lain sebagainya. Sambil menunggu, kami melihat orang-orang Amerika yang sangat sayang akan anjing. Walaupun kumal, mereka tetap mengelus dan memberikan makanan yang ada di tangan mereka. Ada ibu-ibu yang ngomong “I am so sad, no body takes care of him” dia juga menambahkan “How could the people abandon him?” . Kamipun cuma bisa mendengar saja, maklum, kita kurang terbiasa dengan anjing, apalagi contoh anjingnya sama dengan yang banyak jalan mondar mandir di dekat gerobak-gerobak sampah di pasar Peunayong.
Kembali lagi ke soal masak nasi, setelah beberapa lama airpun mendidih dan mengeluarkan bau yang harum. Bau beras Jasmine yang di export dari Thailand. Disini kalau produk pertanian, Thailand dikenal sebagai sebuah Negara pengexport utama. Produknya ada dimana-mana, mulai dari beras, buah-buahan kaleng, sampe daun pisang. Tak berapa lama, kami sudah mulai khawatir, sebab ada pengunjung yang mencium bau masak. Tapi rasanya dia menikmati dan tidak merasa terganggu dengan bau tersebut. Tak lama kemudian, diapun pergi. Kami takut kalau alarm berbunyi oleh bau beras, yang akan datang bukan hanya polisi, tapi pemadam kebakaran dan ambulance sekalian. Nasib baik alarmnya diam saja.
Tek…. Bunyi rice cooker pertanda nasi sudah masak segera membuat Three Musketeers bersemangat lagi. Kami buru-buru menyiapkan semua peralatan dan barang-barnag, dan secepat mungkin meninggalkan gedung tersebut. Kami akhirnya memilih tempat duduk yang agak jauh dari keramaian agar bisa menikmati menu makan siang yang sudah agak sore. Semua lauk-pauk dijatah oleh Event Organizer merangkap Chef alias Mrs Suci Landon, agar semuanya kebagian dan cukup selama dalam perjalanan 9 hari kedepan. Saking enaknya menu makan siang, kami menambah nasi hampir dua kali, serasa kami bak sedang berpiknik di pantai Lhoknga, dengan menu2 khas kampong halaman, amboiii nikmatnya... Kami pun jadi teringat istilah Meuramein(Istilahnya orang Aceh untuk bertamasya dan makan bersama diatas tikar). Kami bersihkan semua dan memasukkan kembali ke bagasi mobil.Rasanya tidak akan pernah ada pengalaman semenarik ini. Perjalananpun dilanjutkan kembali.
Tujuan kami selanjutnya adalah Dallas. Karena kami sudah mendapatkan informasi ada seorang teman yang rencananya akan kami kunjungi tidak ada ditempat, jadi kami memutuskan untuk sekedar mengunjungi kota tersebut. Dari jauh pemandangan kota ini sungguh mengesankan, banyak juga jembatan layang, gedung-gedung tinggi, dan museum.
Next:
San Antonio: Kota tua yang unik dan penuh catatan sejarah.
Sunday, January 31, 2010
Mengeksplorasi Amerika: Arkansas – Oklahoma – Texas – Kansas - Colorado Part II
Part II: Menjelajahi Oklahoma.
Sebelum memulai perjalanan kami, pagi itu kami melakukan pemeriksaan terakhir semua barang-barang yang akan dibawa. Kami maunya well-prepared, jadi ngak ada yang tertinggal nantinya. Semua barang kami masukkan ke bagasi mobil dan sebagian lagi seperti cemilan dan air kami letakkan di kursi belakang, agar lebih mudah diambil kalau kepingin makan.
Untuk perjalanan yang panjang ini, bantuan GPS mutlat diperlukan untuk mendeteksi jalan-jalan terpendek yang akan dilewati. Pagi itu, Suci perperan sebagai pengemudi utama. Sedangkan Bang Azka duduk di belakang dan saya duduk di kursi depan disamping kemudi. Saat itu, saya baru punya permit, jadi tidak bisa mengemudi tanpa didampingi oleh orang yang telah berumur lebih dari 21 tahun dan lebih dari satu tahun mempunyai SIM Amerika. Jadinya saya berperan sebagai navigator (pembantu penunjuk jalan – termasuk mengoperasikan GPS).
Tujuan awal kami adalah Dallas, karena kami ingin mengunjungi seorang warga Aceh yang tinggal di sana. Saya coba hubungi pagi itu, telponnya ngak ada yang akan. Jadinya, kami putuskan arah GPS nya ke Dallas, kalau nanti di Jalan ada berita baru, kami akan mengarahkan ke Alamatnya.
Perjalanan kami mengikuti arah Fort-Smith – Tulsa – Oklahoma City, kota pertama masih berada di Negara bagian Arkansas, sedangkan yang kedua dan ketiga berada di Negara bagian Oklhahoma. Perjalanan pagi itu memang terasa menyenangkan, terlebih tidak banyak kenderaan yang lalu lalang, mungkin hari itu adalah hari Sabtu hari dimana banyak orang libur dari bekerja. Selama dalam perjalanan, kami hanya melihat pepehonan yang sudah ditinggal oleh daun-daunnya. Pohon tersebut semunya berdiri seperti pohon kering yang sudah mati. Seperti tidak ada kehidupan yang menggairahkan, karena semua daun-daun yang berada dipohon-pohon itu telah gugur ke bumi.
Sebagai gantinya, kami nyalakan music sepanjang perjalanan dengan mengandalkan sumber dari Iphone dan radio. Tiba-tiba Suci nyelutuk “eh…. Ada CD musik tu dipinjamin Yuri (kawan suci, kawan kami juga, peranakan Indonesia - Jepang), music Indonesia lagi” Kata Yuri "pasti bosan dalam perjalanan 10 hari ngak ada musik" demikian sambung Suci. Saya mulai memasang lagu Indonesia, rupanya cukup terhibur dan juga sambil menikmati cemilan, buah, dan kopi dari Panera Bread Cafe (sebuah nama cafe tempat Suci membeli kopi).
Memasuki wilayah Oklahoma, kami udah merasakan suasana yang agak lain. Jalannya udah mulai sempit, sebagian sedang dalam proses perbaikan. Kami bercerita tentang keadaan Negara bagian ini, mungkin Negara bagian yang satu ini masih miskin, atau termiskin di Amerika. Itu cuma dari pandangan kami aja.
Makin jauh perjalanan itu, makin terlihat jelas perbedaan dengan daerah lain. Biasanya didaerah lain, State Highway/Road (Jalan Provinsi) jalannya lurus dan mempunyai 4 jalur jalan, atau paling kurang 2 jalur untuk satu arah. Jadinya kalau dua arah bisa 4-8 jalur – tidak termasuk jalur darurat. Mengemudipun terasa tidak was-was didaerah ini. Namun, di sebagian wilayah Oklahoma, persis seperti jalan Banda Aceh – Medan yang mempunyai rumah di tepi jalan dan mobil bisa bebas keluar masuk jalan raya tanpa ada petunjuk arah.
Didaerah ini, persimpangan jalan kecil biasanya tidak ada lampu lalu lintas. Terkadang, kami sempat terkaget-kaget melihat phenomena ini dan rasa takut akan tertabrak juga menghampiri. Kadang, kami jadi ketawa melihat keadaan ini yang mirip dengan jalan-jalan di Aceh. “Jangan-jangan ada sapi yang menyeberang seperti keadaan jalanan di Pidie,” begitu cetusku. Semuanya ketawa. Namun, selama dalam perjalanan, memang tidak pernah kami jumpai ada sapi yang melintas di jalan raya. Orang Amerika sudah lebih disiplin dalam hal pemeliharaan sapi, mungkin karena mereka punya ladang yang luas-luas dan juga mempunyai kesadaran yang tinggi dalam beternak sapi yang benar dengan tidak membuat musibah bagi orang lain.
Ada satu hal lain yang juga menarik. Tidak seperti didaerah-daerah lain, Di jalan yang kami lalui ini, rest area (tempat rehat) juga jarang ditemui di jalan raya. Kalau mau ke kamar kecil terpaksa harus menunggu lebih dari satu jam perjalanan sampai ke rest area berikutnya. Pernah, diantara kami (laki-laki) ada yang kebelet - sangat terdesak, mencari rest area dan station pengisian bahan bakar seperti mencari jarum dalam jerami, susah sekali. Beberapa kali kami keluar di exit untuk mencari SPBU, namun tetap juga tidak di jumpai. Dengan sangat terpaksa, cara yang sangat "tradisional" juga harus di gunakan. Lihat kiri kanan, parkir mobil di pinggir jalan. situasi aman, cari tempat berlindung dibalik pepohonan, dan langsung tancap gas. Setelah itu, rasanya lega sekali. Perjalanan pun siap dimulai lagi. Namun, tidak lebih dari 30 menit perjalanan, sudah banyak terlihat SPBU dengan kamar kecilnya yang bersih, gratis lagi. Kami berhenti utk isi bahan bakar dan setelah itu melanjutkan kembali tujuan kami. Begitulah nasib hari itu.
Terlepas dari kekurangan di infrastruktur dan aturan lalu lintas, Negara bagian ini mempunyai lahan peternakan yang luas. Banyak sapi terlihat sedang merumput di lahan peternakan. Banyak juga yang mempunyai alur khusus agar sapi-sapi bisa masuk kandang dengan mudah. Ada juga beberapa orang yang menunggang kuda mengawasi ternak mereka. Bisa di bilang, persis seperti yang ada difilm koboi. Seandainya cara beternak sapi seperti ini di terapkan di Indonesia, atau Aceh khususnya, tentu kecukupan daging akan selalu terpenuhi di Aceh. Disamping itu, tidak ada lagi orang yang menabrak sapi, karena semua sapi yang ada ditempatkan pada tempat yang sesuai (peternakan sapi).
Hari sudah menunjukkan pukul 2 siang, namun karena tidak ada rest area untuk makan siang, perjalanan kami terus di lanjutkan. Perut sudah mulai berbunyi, penahan lapar sementara adalah buah, kripik, dan air. Kami berencana masak nasi di rest area dan menikmati lauk pauk yang kami bawa. Rasanya memang tidak sabar menunggu waktu makan siang.
Part III: Texas – Everything is bigger in Texas.
Friday, January 29, 2010
Mengeksplorasi Amerika: Arkansas – Oklahoma – Texas – Kansas - Colorado Part I
Tulisan ini menceritakan pengalaman tiga sekawan; Mahrizal, Azka Rafiqi dan Suci Lestari yang ikut dalam road trip selama 10 hari ke Texas, Oklahoma, Kansas dan Colorado mulai tanggal 21 November – 30 November 2009.
Berawal dari sekedar obrolan ringan sehabis makan malam dengan suguhan sop tulang di apartment kami (Mahrizal dan Azka) tentang perjalanan ke beberapa negara bagian di Amerika. Oya…..sedikit tentang apartment, jangan membayangkan apartement yang kami tempati seperti apartment-apartment mewah yang ada di Jakarta dengan desainnya yang lux, lantainya berpuluh-puluh tingkat dan di jaga oleh puluhan security. Apartement ini hanyalah sebuah tempat tinggal yang dilengkapi dengan 2 kamar tidur, 1 ruang tamu, 1 kamar mandi dan juga dapur. Apartment ini sangat sederhana karena tidak dilengkapi dengan tempat tidur, meja makan, dan kursi tamu alias kosong melompong. Jadi semua peralatan tersebut harus dibawa dari luar. Maklum, sebagai mahasiswa kami memilih apartment yang unfurnished atau tidak dilengkapi dengan peralatan rumah tangga yang sudah tentu harga sewanya jauh lebih murah dari yang furnished. Untungnya lagi, kami banyak mendapatkan barang-barang rumah tangga dari hasil hibahan mahasiswa yang sudah menyelesaikan program study mereka. Jadi, bisa sedikit berhemat dan bisa digunakan untuk ber-ekspedisi darat.
Obrolan tersebut mengenai apa yang akan di lakukan selama thanksgiving day (Hari terima kasihnya orang Amerika). Thanksgiving day saat itu jatuh pada Kamis, dan hari Jum’at menjadi hari kejepit nasional bagi orang-orang Paman Sam. Bahkan, ada sebagian dosen yang meliburkan jadwal mengajarnya, mungkin para dosen juga rencana road trip. Jadi, kami punya waktu sekitar 10 hari untuk perjalanan nanti. Kami merencanakan untuk mengunjungi beberapa negara bagian yang belum pernah di kunjungi. Saat itu rencana masih belum matang dan masih harus bertemu beberapa kali lagi guna membahas lebih spesifik.
Pada pertemuan selanjutnya, kami membahasnya lebih serius dan detail termasuk menghitung berapa jarak dan waktu yang akan di tempuh dalam perjalanan tersebut. Untuk memudahkan perhitungan, kami menanyakan kepada Mbah google maps tentang jarak dan waktunya. Jadi, kami bisa mendapatkan gambaran yang lebih rinci. Kami juga memutuskan untuk menyewa kenderaan dan membagi beberapa tugas ke tiap-tiap individu. Saya kebagian untuk mencarikan tempat-tempat menarik di Texas, Oklahoma, Kansas dan Colorado. Azka mendapatkan tugas untuk meng-list-kan kebutuhan dalam perjalan dan mempersiapkan segala yang perlu. Suci juga mendapatkan tugas untuk menghubungi penyewa kenderaan dan menginventarisir kebutuhan makan minum.
Bagi saya tugasnya tidak terlalu berat karena semua bisa di tanyakan ke Mbah google. Saya baru kerjakan tugas ini dua hari sebelum keberangkatan. Azka juga mempersiapkan tugasnya, dia juga menanyakan ke Mbah google tentang travel list, jadi semua keperluan dalam perjalanan sudah terlistkan. Demikian juga Suci, dia membandingkan harga sewa mobil dari satu penyewa ke penyewa yang lain. Hasilnya, Budget yang terpilih sebagai mobil yang kami sewa karena beberapa kelebihan antara lain unlimited mileage (tanpa hitungan KM) dan tidak perlu mengambil asuransi jika disewa menggunakan kartu kredit Bank of America. Jika harus membeli asuransi pada saat penyewaan mobil, harga sewa plus asuransi hampir dua kali lipat. Jadi, untuk penggunaan sepuluh hari, kami hanya membayar $380 saja.
Sama halnya dengan Azka, dia membagikan hasil pencariannya berupa travel list kepada kami. Bisa dibilang, rencana road trip tersebut hampir sempurna. Kami juga memutuskan untuk membawa bekal berupa masakan karena agak susah menemukan warung makan halal selama dalam perjalanan. Tiga hari sebelum kami berangkat, kami mengumpulkan uang untuk sewa mobil dan belanja makananan selama dalam perjalanan kepada Suci.
Dua hari sebelum berangkat, kami berbelanja semua keperluan seperti air, kerupuk, cemilan, buah-buahan, piring, gelas, tisu, daging halal yang disertifikasi Mas Teddy, ikan tongkol, teri, kacang, dan rempah-rempah. Sehari sebelum berangkat, kami berkumpul di apartment 302 untuk masak-memasak. Daging tersebut semuanya di masak rendang, ikan tongkol digoreng kering dan dimasak dengan asam sunti, teri dan kacang disambal. Belum sempat semuanya masak, kami sudah mencoba untuk makan siang sekitar jam tiga sore. Saya tambah nasi 2 kali, Azka dan Suci juga demikian. Rasanya betul-betul nikmat.
Sore harinya sekitar jam 7 kami ke tempat penyewaan mobil. Kami ditawari beberapa jenis mobil yang lain walaupun kami sudah melakukan reservasi sebelumnya. Akhirnya kami memutuskan untuk mengambil mobil yang standar. Setelah Suci menandatangani kontrak sewa dan menggesek kartu kreditnya, kami pun pergi membawa mobil. Dalam perjalanan ke tempat Mbak Tuti untuk pinjam GPS, kami baru tau bahwa mobil tersebut tidak ada cruise control nya (alat untuk mengontrol gas) dan langsung si Suci menelpon pihak penyewa meminta untuk digantikan. Mbak Tuti tidak hanya memberikan GPS, tapi juga tempe bacem, keripik dan beberapa cemilan ringan. Baik juga Mbak Tuti ini, tapi keripiknya agak sedikit. Keripik nya persis seperti keripik Bireun, makanya di bilang sedikit. Sorry Mbak Tuti ya.
Setelah itu, kami kembali lagi ke pihak penyewa dan memilih mobil yang lain. Sebelum kontrak di tandatangani untuk kedua kalinya, rupanya ada kesalahan pada perhitungan sewa yang menjadi lebih mahal. Akhirnya, kami minta diganti yang standard dengan fasilitas cruise control. Kami dilayani oleh seorang wanita yang kira-kira 50 tahunan. Dia bersedia mengganti kontrak untuk ketiga kalinya. Pada saat pengambilan mobil, ada yang salah membaca mileage-nya. Katanya mobilnya sudah 250 ribu miles. Dan ibu itupun tidak bersedia mengganti kontrak ke empat kalinya mungkin terlalu capek karena telah bekerja selama 14 jam. Jadinya, kamipun mengambil mobil tersebut. Setelah mengemudi beberapa menit, saya bilang “mileages nya baru 25 ribu bukan 250 ribu, pantaslah ibu tadi marah, korupsi mileagesnya sangat banyak sampa 225 ribu.” Akhirnya kami ketawa semua. Berharap tidak ketemu lagi ibu itu ketika kami mengembalikan mobil nantinya.
Dalam perjalanan, tiba-tiba ibu tersebut menelpon si Suci, menanyakan kunci mobil sebelumnya udah dikembalikan apa belum. Tiba-tiba terdengar suara kunci bergeliming dari kantong B'Azka. Langsung aja semuanya panic, B'Azka bilang "kok bisa kunci ini masuk kantong ku?" dia ngak habis pikir, sampai kepala geleng-geleng. Kami putuskan untuk kembali ke tempat penyewaan mobil tersebut dan berharap tidak di omelin oleh ibu itu. B'Azka turun untuk mengembalikan kunci. Tiba-tiba sebentar aja udah keluar sambil elus-elus dada, "aman" katanya. Pelajaran penting bagi kami adalah ketika hendak menyewa mobil sebaiknya dilihat betul-betul segala sesuatu, sehingga tidak membuat orang lain dan diri sendiri menjadi susah.
Malam sebelum keberangkatan, masing-masing mempersiapkan keperluan pribadinya. Saya membawa beberapa helai baju, pakaian dingin, peralatan mandi, obat-obatan kalau ada yang sakit. Tidak lupa kami bawakan sleeping bag, senter, dan laptop. Semua perlengkapan telah siap, perjalanan siap dimulai.
Saturday, January 9, 2010
Ayo menulis……….!!!
Sebenarnya, saya punya keinginan untuk menulis secara rutin, paling tidak sekedar coret-coretan iseng di sebuah catatan harian. Catatan tersebut tidak pernah terealisasi sampai suatu petang saya menemukan ilham yang entah datang dari mana untuk menulis sesuatu yang mungkin tidak terlalu berbeda dengan tulisan orang lain. Ada satu kebiasaan yang sebenarnya tidak kusukai, kebiasaan seringnya menunda untuk menyelesaikan sesuatu, ya…. termasuk menulis. Saya juga sering berfikir, toh esok masih bisa dikerjakan dan hari masih panjang. Bisa di bilang, hal yang paling berat bagi saya adalah memulai sesuatu, kata orang di Arkansas “making the first move is the most difficult one.” Mungkin saja ungkapan itu ada benarnya. Kusadari memang, kebiasaan ini tidak membawa perubahan apa-apa. Keinginan untuk mengerjakan sesuatu tidak pernah kesampaian. Itulah sebuah realita dari sikap dan kebiasaan menunda.
Suatu hari temanku pernah berkata “Mulailah menulis, disini kita punya waktu luang dan tidak perlu berfikir tentang kerjaan, toh dapat beasiswa lagi.” Dia melanjutkan “Orang di Indonesia kan sibuk berkerja, banyak yang ngak punya waktu untuk menulis. Bekerjapun harus lebih lama, agar duitnya cukup untuk menutupi kebutuhan. Paling tidak bisa berkontribusi sedikit, dan itu udah lebih dari cukup” Waktu itu saya berfikir, komentar kawan itu berlebihan. kan banyak sekali orang yang sudah menulis. Buktinya, Koran dan majalah makin banyak aja. Pikiran negative saya muncul disini, menulis kan bisa nambah-nambahin kerjaan aja, jadinya waktu untuk ber chatting di dunia maya akan berkurang. Apalagi ngomong tentang Indonesia, rasanya itu terlalu besar untuk digapai.
Aneh memang…… mungkin karena saya lagi malas, apa aja yang diomongin bakal ngak kena………. Setelah beberapa lama, aku menyadari, mungkin pikiranku saat itu salah, disini saya kan seorang siswa, ya…. Yang kerjaannya belajar….belajar…. belajar dan jalan-jalan juga….. (maunya jadi seorang pelajar yang ideal yang bisa terus belajar). Mungkin responku waktu sama aja dengan ungkapan “Kenapa kamu harus kuliah, kan sudah banyak orang yang kuliah.” Mungkin itulah pikiran ternaïfku waktu itu. Paling tidak, omongan kawan tadi berbekas di hati untuk menulis sesuatu. Paling tidak belajar menulis untuk diri sendiri sebagai catatan untuk dilihat di hari tua atau bisa berbagi pengalaman kepada orang lain.
Selain itu, seorang kawan yang lain pernah meminta saya untuk menuliskan di blog nya tentang catatan pengalaman lintas budaya saya. Dia pun memberikan sejumlah list pertanyaan agar tulisannya lebih terarah dan terstruktur. Mungkin dia berfikir saya ini penulis yang sudah handal, hehehehe. Tapi sesungguhnya, permintaan dia membuat saya pening, gugup, dan bingung untuk menulis tentang pengalaman yang menarik. Pikirku, menulis catatan harian untuk satu atau dua baris saja masih susah, apalagi menulis secara terstruktur. Saya memang pernah belajar untuk menulis secara akademic di dua institusi bahasa di negeri jiran dan Paman Sam, tapi saya masih merasa masih kurang saja. Mungkin masih merasa kurang confident untuk menulis. Mungkin karena biasa berbagi pengalaman secara oral, Jadinya agak susah memulai dalam bentuk tulisan. Oya……. Menyangkut permintaan kawan tadi, masih sederet pertanyaan yang lain pun muncul di kepala saya, “Sudah sangat baguskah pengalaman saya untuk di bagi?” Tapi, tidak salahkan kalau sekedar mencoba.
Ketika ada sebuah keinginan untuk menulis, kebiasaan lama pun kembali datang, menunda,….. menunda,…… dan menunda. Rasanya jari-jemari terlalu berat untuk menekan tombol aksara yang ada pada computer. Kadang saya berfikir, aahhha sesudah pindah rumah aja bagus untuk menulis, mungkin setelah rumahnya bersih dan tertata rapi baru bisa dapat ide. Aahhh setelah habis menonton film documenter, mungkin bisa dapat inspirasi baru. Aaahhhh setelah belanja mingguan untuk keperluan dapur, mungkin setelah kebutuhan perut terpenuhi akan ada pikiran baru, eehhh tau-taunya malah tertidur. Aahhhh setelah jalan-jalan di sekitar kota, mungkin bisa membuka pandangan baru. Aahhhh, itulah kata yang saya gunakan untuk pembenaran membuat pekerjaan tertunda. Memang, kalau untuk menunda, sejuta alasan akan muncul.
Ketika kita tinggal sendiri di perantauan, memang tidak ada yang memaksa kita untuk melakukan sesuatu. Orang lain tidak mampu untuk mengubah kebiasaan kita. Kawan tidak mampu menolong ketika kita mendapat peringatan dari kampus. Orang tua hanya bisa menelpon untuk menanyakan kabar. Orang yang paling dekat sekalipun, katakan pacar atau suami atau istri, mereka hanya sanggup memberi dukungan moral. Semua orang terdekat tidak bisa membuat kita untuk berubah. Saya menyadari, hanya diri sendiri yang dapat memotivasi diri sendiri.
Saya teringat seorang kawan yang pernah sama-sama belajar program bahasa, sebut saja namanya Mawar. Dia pernah mengatakan bahwa dia punya kebiasaan yang sulit untuk di ubah dan pernah beberapa kali meminta saya untuk bisa mengubahnya. Saya langsung berbisik didalam hari “ngak mungkin saya bisa mengubah dia, diri sendiri aja masih kurang disana-sini.” Tapi sekedar kawan tidak salah rasanya jika memberi saran dan berharap akan ada perubahan yang berarti dari sosok seorang Mawar. Perubahan itu hampir tidak ada pada diri Mawar.
Banyak usaha telah di coba terutama oleh institusi bahasa, mulai dari memberikan latihan tambahan sampai diskusi intensive dengan para ahli. Mungkin, perlu waktu yang sangat lama untuk berubah bagi si Mawar. Kabar terakhir saya dengar dari kawan, dia sudah banyak berubah. Katanya semuanya jauh lebih baik. Mungkin, institusi tersebut berhasil memotivasi si Mawar atau si Mawar sendiri yang termotivasi untuk berubah ke arah yang lebih baik. Segala sesuatu akan dapat dikerjakan dengan menerapkan self-motivated dan usaha untuk lebih baik.
Kembali lagi ke persoalan menulis, malam itu saya membuka komputer dan menulis sesuatu yang tidak pernah terbayang sebelumnya yang saya ini akan menulis sesuatu atas keinginan sendiri tanpa memperhatikan struktur yang koheren dari sebuah tulisan. Mungkin itu namanya sekedar coret-coretan di Microsoft Word. Mungkin untuk tahap awal bisa diterima sebagai langkah awal (first move). Sewaktu menulis pun, rasa malas selalu datang, sampai-sampai tulisan pendek seperti ini memerlukan waktu lebih dari dua minggu sampai terpublish di blog ini. Paling tidak, saya mampu untuk menyelesaikan cerita pendek ini yang masih banyak kekurangannya. Keep motivated……!!!!
Suatu hari temanku pernah berkata “Mulailah menulis, disini kita punya waktu luang dan tidak perlu berfikir tentang kerjaan, toh dapat beasiswa lagi.” Dia melanjutkan “Orang di Indonesia kan sibuk berkerja, banyak yang ngak punya waktu untuk menulis. Bekerjapun harus lebih lama, agar duitnya cukup untuk menutupi kebutuhan. Paling tidak bisa berkontribusi sedikit, dan itu udah lebih dari cukup” Waktu itu saya berfikir, komentar kawan itu berlebihan. kan banyak sekali orang yang sudah menulis. Buktinya, Koran dan majalah makin banyak aja. Pikiran negative saya muncul disini, menulis kan bisa nambah-nambahin kerjaan aja, jadinya waktu untuk ber chatting di dunia maya akan berkurang. Apalagi ngomong tentang Indonesia, rasanya itu terlalu besar untuk digapai.
Aneh memang…… mungkin karena saya lagi malas, apa aja yang diomongin bakal ngak kena………. Setelah beberapa lama, aku menyadari, mungkin pikiranku saat itu salah, disini saya kan seorang siswa, ya…. Yang kerjaannya belajar….belajar…. belajar dan jalan-jalan juga….. (maunya jadi seorang pelajar yang ideal yang bisa terus belajar). Mungkin responku waktu sama aja dengan ungkapan “Kenapa kamu harus kuliah, kan sudah banyak orang yang kuliah.” Mungkin itulah pikiran ternaïfku waktu itu. Paling tidak, omongan kawan tadi berbekas di hati untuk menulis sesuatu. Paling tidak belajar menulis untuk diri sendiri sebagai catatan untuk dilihat di hari tua atau bisa berbagi pengalaman kepada orang lain.
Selain itu, seorang kawan yang lain pernah meminta saya untuk menuliskan di blog nya tentang catatan pengalaman lintas budaya saya. Dia pun memberikan sejumlah list pertanyaan agar tulisannya lebih terarah dan terstruktur. Mungkin dia berfikir saya ini penulis yang sudah handal, hehehehe. Tapi sesungguhnya, permintaan dia membuat saya pening, gugup, dan bingung untuk menulis tentang pengalaman yang menarik. Pikirku, menulis catatan harian untuk satu atau dua baris saja masih susah, apalagi menulis secara terstruktur. Saya memang pernah belajar untuk menulis secara akademic di dua institusi bahasa di negeri jiran dan Paman Sam, tapi saya masih merasa masih kurang saja. Mungkin masih merasa kurang confident untuk menulis. Mungkin karena biasa berbagi pengalaman secara oral, Jadinya agak susah memulai dalam bentuk tulisan. Oya……. Menyangkut permintaan kawan tadi, masih sederet pertanyaan yang lain pun muncul di kepala saya, “Sudah sangat baguskah pengalaman saya untuk di bagi?” Tapi, tidak salahkan kalau sekedar mencoba.
Ketika ada sebuah keinginan untuk menulis, kebiasaan lama pun kembali datang, menunda,….. menunda,…… dan menunda. Rasanya jari-jemari terlalu berat untuk menekan tombol aksara yang ada pada computer. Kadang saya berfikir, aahhha sesudah pindah rumah aja bagus untuk menulis, mungkin setelah rumahnya bersih dan tertata rapi baru bisa dapat ide. Aahhh setelah habis menonton film documenter, mungkin bisa dapat inspirasi baru. Aaahhhh setelah belanja mingguan untuk keperluan dapur, mungkin setelah kebutuhan perut terpenuhi akan ada pikiran baru, eehhh tau-taunya malah tertidur. Aahhhh setelah jalan-jalan di sekitar kota, mungkin bisa membuka pandangan baru. Aahhhh, itulah kata yang saya gunakan untuk pembenaran membuat pekerjaan tertunda. Memang, kalau untuk menunda, sejuta alasan akan muncul.
Ketika kita tinggal sendiri di perantauan, memang tidak ada yang memaksa kita untuk melakukan sesuatu. Orang lain tidak mampu untuk mengubah kebiasaan kita. Kawan tidak mampu menolong ketika kita mendapat peringatan dari kampus. Orang tua hanya bisa menelpon untuk menanyakan kabar. Orang yang paling dekat sekalipun, katakan pacar atau suami atau istri, mereka hanya sanggup memberi dukungan moral. Semua orang terdekat tidak bisa membuat kita untuk berubah. Saya menyadari, hanya diri sendiri yang dapat memotivasi diri sendiri.
Saya teringat seorang kawan yang pernah sama-sama belajar program bahasa, sebut saja namanya Mawar. Dia pernah mengatakan bahwa dia punya kebiasaan yang sulit untuk di ubah dan pernah beberapa kali meminta saya untuk bisa mengubahnya. Saya langsung berbisik didalam hari “ngak mungkin saya bisa mengubah dia, diri sendiri aja masih kurang disana-sini.” Tapi sekedar kawan tidak salah rasanya jika memberi saran dan berharap akan ada perubahan yang berarti dari sosok seorang Mawar. Perubahan itu hampir tidak ada pada diri Mawar.
Banyak usaha telah di coba terutama oleh institusi bahasa, mulai dari memberikan latihan tambahan sampai diskusi intensive dengan para ahli. Mungkin, perlu waktu yang sangat lama untuk berubah bagi si Mawar. Kabar terakhir saya dengar dari kawan, dia sudah banyak berubah. Katanya semuanya jauh lebih baik. Mungkin, institusi tersebut berhasil memotivasi si Mawar atau si Mawar sendiri yang termotivasi untuk berubah ke arah yang lebih baik. Segala sesuatu akan dapat dikerjakan dengan menerapkan self-motivated dan usaha untuk lebih baik.
Kembali lagi ke persoalan menulis, malam itu saya membuka komputer dan menulis sesuatu yang tidak pernah terbayang sebelumnya yang saya ini akan menulis sesuatu atas keinginan sendiri tanpa memperhatikan struktur yang koheren dari sebuah tulisan. Mungkin itu namanya sekedar coret-coretan di Microsoft Word. Mungkin untuk tahap awal bisa diterima sebagai langkah awal (first move). Sewaktu menulis pun, rasa malas selalu datang, sampai-sampai tulisan pendek seperti ini memerlukan waktu lebih dari dua minggu sampai terpublish di blog ini. Paling tidak, saya mampu untuk menyelesaikan cerita pendek ini yang masih banyak kekurangannya. Keep motivated……!!!!
Subscribe to:
Posts (Atom)