Sunday, October 11, 2009

Berdayakan Ekonomi Masyarakat Lokal


http://www.koran-jakarta.com/ver02/detail-news.php?idkat=54&&id=3589

Mahrizal
Kamis, 19 Maret 2009 03:35 WIB
Posting by : ary
Source: Koran Jakarta

Jika ada segelintir anak muda yang peduli akan masyarakat sekitarnya, Mahrizal, 27 tahun, adalah salah satunya. Di usianya yang masih belia dia telah menjadi wirausahawan yang berhasil menciptakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat Pidie, Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Dengan bermodalkan tekad, semangat, dan sedikit dana ia membuka perkebunan cokelat di hutan seluas 280 hektare di Pidie.

Jika ada segelintir anak muda yang peduli akan masyarakat sekitarnya, Mahrizal, 27 tahun, adalah salah satunya. Di usianya yang masih belia dia telah menjadi wirausahawan yang berhasil menciptakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat Pidie, Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Dengan bermodalkan tekad, semangat, dan sedikit dana ia membuka perkebunan cokelat di hutan seluas 280 hektare di Pidie.
Beberapa waktu lalu, wilayah itu tertimpa banyak persoalan, mulai dari konflik antara Gerakan Aceh Merdeka dan TNI, hingga bencana tsunami yang meluluhlantakkan sebagian besar daerah di NAD. Akibatnya, perekonomian dan lingkungan di sana terabaikan. Masyarakat pun tidak memiliki pekerjaan tetap akibat keterbatasaan akses informasi, pendidikan, dan beragam faktor lainnya. “Jadi, mereka dari pagi sampai malam nongkrong di warung kopi,” kata pria yang biasa disapa Rizal itu di Jakarta, Rabu (18/3).
Kondisi itu akhirnya memicu Rizal untuk memberdayakan ekonomi masyarakat lokal yang mengutamakan aspek lingkungan sejak dua tahun lalu. Ia pun mengajak masyarakat lokal menanam tanaman kakao (penghasil cokelat) di hutan hujan yang berada di sekitar Pidie. Menurut Rizal, umumnya warga Pidie tidak memiliki keterampilan khusus selain bertani. Bersama teman-temannya yang tergabung dalam Yayasan Tunas Bangsa, ia memberikan pelatihan bercocok tanam kakao kepada warga. Seiring perjalanan waktu, minat masyarakat untuk menanam salah satu komoditas bernilai ekonomi tinggi itu pun semakin meningkat.
Hasilnya cukup menggembirakan. Sebagai contoh, di desa Hagu, Kecamatan Pante Raja, Kabupaten Pidie Jaya, NAD, terdapat 62 kepala keluarga (KK) yang bercocok tanam kakao. Ini belum ditambah 300 KK di Kecamatan Bandar Baru, Kecamatan Pidie Jaya, yang meliputi tiga desa, yakni Desa Paru Keuude, Sarah Panyang, dan Alue Langgien.
Bukan cuma peningkatan area tanam, pendapatan para petani pun terdongkrak gara-gara upaya yang digagas Rizal itu. Bahkan rata-rata pendapatan para petani di sana melebihi upah minimum regional yang berkisar satu juta rupiah. “Kalau panen, setiap kepala keluarga bisa mendapatkan 33 juta rupiah per hektarenya,” jelas suami dari Rohani itu. Kalau dihitung-hitung, hasil perkebunan kakao yang digarap para petani bisa mencapai sekitar 7,7 miliar rupiah per tahun.
Seiring meningkatnya pendapatan, kualitas hidup masyarakat pun semakin tinggi. Para petani, kata Rizal, selain mampu mencukupi kebutuhan pokok sehari-hari juga mampu membiayai pendidikan anak-anak mereka. Usaha Rizal memberdayakan masyarakat lokal itu tak pelak mendapat apresiasi dari British Council, lembaga kebudayaan dan pendidikan dari Inggris. Alumnus Universitas Nasional, Jakarta, itu mendapatkan penghargaan Climate Enterpreneur Champion yang diumumkan di London, Inggris, pada akhir Februari 2009. “Saya tidak menyangka mendapat penghargaan ini karena saya tidak merasa mendaftarkan diri,” kata sulung dari empat bersaudara ini sambil tersenyum.
Bagi Rizal, penghargaan itu melecut dirinya untuk memberikan nilai lebih kepada masyarakat. Ia berharap, suatu saat nanti petani di Pidie tidak hanya menanam tanaman cokelat dan menghasilkan biji cokelat, tapi juga bisa menghasilkan produk jadi berupa batang cokelat.
“Prestasi” Rizal bukan hanya meningkatkan perekonomian warga lokal, tapi juga meningkatkan kesadaran warga dalam melestarikan hutan hujan di kawasan sekitarnya. Lantaran demikian, penikmat film drama itu pun digandeng oleh salah satu lembaga swadaya masyarakat berskala internasional untuk menjalankan program yang bisa menciptakan ketahanan pangan bagi masyarakat lokal.
Home Garden, demikian tajuk programnya, merupakan program pemanfaatan lahan pekarangan warga yang ditanami berbagai macam sayuran dan buah-buahan. “Supaya warga bisa mandiri dengan memanfaatkan lahan di rumahnya,” tandas pria yang berhasil memperoleh beasiswa Fullbright dan pekan depan akan pergi ke AS untuk melanjutkan pendidikan di University of Arkansas, AS, itu menutup pembicaraan. vic/L-2

Dua Pemuda Indonesia Raih Penghargaan Wirausahawan di Inggris

http://www.antaranews.com/berita/1237385182/dua-pemuda-indonesia-raih-penghargaan-wirausahawan-di-inggris

Rabu, 18 Maret 2009 21:06 WIB | Ekonomi & Bisnis | | Dibaca 1438 kali
Jakarta (ANTARA News) - Dua pemuda Indonesia yaitu Oscar Lawalata (32) dan Mahrizal Paru (34) mendapat penghargaan dan memenangkan Indternational Young Creative Entrepreneur Award (IYCE) 2009 di Inggris.

"Dua pemuda Indonesia yaitu Oscar dan Mahrizal berhasil memenangkan IYCE Award 2009 yang diselenggarakan oleh British Council," kata Team Leader Learning and Creativity British Council, Yudhi Soerjoatmodjo, di Jakarta, Rabu.

Pihaknya menyelenggarakan IYCE untuk menjaring entrepreneur muda berbakat di bidang sosial, lingkungan hidup, dan industri kreatif tingkat dunia.

Sejak 2006, British Council telah mengidentifikasi, memfasilitasi, dan membangun jaringan bagi para wirausahawan.

Oscar Lawalata (32), salah satu contohnya. Ia meraih penghargaan IYCE Fashion Award 2009 di London, Inggris. Pria kelahiran Riau itu mengalahkan saingannya dari Brazil, India, Polandia, Srilanka, Saudi Arabia, Thailand, Tunisia, dan Vietnam.

Berkat dia, Indonesia menjadi satu-satunya negara yang memenangkan penghargaan tersebut sebanyak empat kali sejak 2005.

Oscar mempekerjakan 20 orang dan memiliki omzet Rp100 juta per bulan. Ia memukau juri di Inggris berkat kerjasamanya dengan sekitar 100 orang pembatik, penenun, dan pengrajin perhiasan tradisional di Sulawesi Selatan, Bali, NTT, dan Jawa sejak 10 tahun terakhir.

"Semula apa yang saya lakukan hanyalah tuntutan untuk memenuhi misi dan cita-cita pribadi saya," katanya.

Namun, ternyata yang dilakukannya lebih dari sekadar mewujudkan impian karena terbukti mampu mengangkat kain tradisional ke tingkat internasional dengan melibatnya banyak orang dalam prosesnya.

Sementara itu, Mahrizal Paru sukses memenangkan Champion Asian Young Leaders Climate Forum. Pria kelahiran Aceh itu membangun komunitas perkebunan cokelat di Pidi, Aceh. Usaha itu menghasilkan 700 ribu dolar AS per tahun bagi 182 anggota desa yang kesulitan mencari kerja selama konflik.

Upayanya sekaligus melindungi 280 ha hutan hujan yang sebelumnya menjadi sasaran para penjarah.

"Keluarga saya bisa membiayai pendidikan saya. Tetapi saya ingin melihat generasi yang lebih muda bisa mendapatkan hasil yang sama dari kakao dan sama beruntungnya dengan saya," katanya.(*)

COPYRIGHT © 2009

Two Indonesian youth receive awards

http://www.rri.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=570:two-indonesian-youth-receive-awards&catid=82:voi-news&Itemid=199

Thursday, 19 March 2009 18:45

Two Indonesian youth, Oscar Lawalata and Mahrizal Paru got an appreciation and won the International Young Creative Entrepreneur Award (IYCE) 2009 in Britain. The British Council presented this IYCE Appreciation in the framework of having a network of talented young entrepreneurs in the field of social, environment, and creative industry. That was proposed by the head of the team of "Learning and Creativity British Council", Yudhi Surjoatmojo in Jakarta recently. Since 2006, British Council has identified, facilitated and developing the networking for the entrepreneurs. Oscar Lawalata who got the award can attract the attention of the Britain juries for his cooperation with around 100 art workers of batik, weaving, and traditional jewels in South Sulawesi, Bali, East Nusa Tenggara, and also Java for around 10 years.


(yati)

Mahrizal: Menghidupkan Coklat Aceh

http://www.republika.co.id/koran/14/40620/Mahrizal_Menghidupkan_Coklat_Aceh

Koran » Berita Utama
Minggu, 29 Maret 2009 pukul 23:07:00

SOSOK


Besar dari coklat dan kemudian membesarkan orang lain lewat coklat. Itulah Mahrizal. Pria berumur 28 tahun (20 Oktober 1981) itu lahir dari keluarga petani coklat di Desa Paru, Kabupaten Pidie, Aceh.

Dari hasil tanaman coklat, ayahnya, M Ismail, sanggup menyekolahkan Mahrizal dan tiga adiknya. Termasuk membiayai S2 Mahrizal di International Islamic University di Malaysia.

Sayangnya, nasib petani coklat seperti keluarga Mahrizal tidak diikuti oleh banyak petani lainnya. Setelah konflik Aceh reda, pada tahun 2005 angka pengangguran meningkat. Ladang coklat yang dulu banyak digarap telah lama ditinggalkan. Saat kondisi Aceh masih genting sebagian besar penduduk Pidi terpaksa mengungsi meninggalkan ladang coklat mereka.

Pasca-perdamaian Aceh satu-satunya mata pencarian yang mungkin dan cepat adalah menjadi penjual kayu. Demi memberi makan keluarga, mereka menebang habis pohon di ladang coklat yang tidak terawat.

Mahrizal prihatin. Dalam batinnya ia berpikir pasti ada sesuatu yang bisa dilakukan untuk memperbaiki nasib mereka. ''Sebenarnya mereka memiliki lahan, cuma tidak terurus,'' kata Mahrizal.

Menanam kembali
Dari modal lahan, Mahrizal berpikir untuk membentuk sebuah komunitas yang pada akhirnya sanggup menggerakkan kembali roda ekonomi melalui tanaman coklat. Bersama Yayasan Tunas Bangsa, sebuah organisasi nirlaba yang dipimpinnya, Mahrizal memulai program menanami kembali ladang coklat.

Program pertama dimulai tahun 2006. Sekitar 300 orang petani diajaknya untuk menggarap lahan seluas 280 hektar. Mereka adalah petani dari Desa Parugede, Sarahpanyang, dan Alue, di Kecamatan Bandar Baru, Kabupaten Pidie Jaya. Selama delapan bulan mereka diikutkan dalam program. ''Mulai dari pembibitan, pelatihan, sampai membuat pupuk organik,'' kata Mahrizal.

Sebelumnya pemerintah setempat pernah pula memberikan program yang sama untuk para petani. Bedanya, kata Mahrizal, tidak pernah ada pengawasan dari pemerintah. Akibatnya, banyak petani yang justru menjual pupuk atau bibit yang diberikan pemerintah. Ladang pun tetap terbengkalai.

Petani serius
Dalam programnya Mahrizal berprinsip bahwa hanya petani yang serius ingin berubah yang akan dibantunya. ''Kalau kami mengecek ke lapangan dan tidak menemukan pagar di ladang atau tidak ada lubang galian, maka kami tidak memberi bibit coklat ke mereka,'' paparnya.

Sistem pengawasan Mahrizal terbukti efektif. Terlebih, menanam ladang coklat bukan hanya merehabilitasi lahannya. Tanaman coklat membutuhkan tanaman pelindung. Tanaman itu sekaligus berfungsi sebagai penahan erosi dan penyerap karbondioksida.

Dalam satu hektare ladang coklat membutuhkan sekitar 200 pohon pelindung. Daun dari pohon pelindung lalu dapat dijadikan pakan kambing. Sementara kotoran kambing bermanfaat sebagai pupuk.

Ketika siklus tersebut berjalan petani sanggup menjual 1,5 sampai dua ton coklat dari satu hektar ladang. Setiap kilogram coklat laku seharga Rp 22 ribu. Artinya 1,5 ton coklat menghasilkan pendapatan sebesar Rp 33 juta. ''Kalau dibagi 12 bulan, jumlahnya lebih besar dari UMR DKI Jakarta yang mencapai Rp 1 juta per bulan,'' terang Mahrizal.

Jumlah itu tergolong cukup bagi petani di sana. ''Mereka sekarang ada yang mulai beli motor dan memperbaiki rumahnya,'' jelasnya.

Buah usaha
Usaha Mahrizal berbuah manis. Anggota desa yang sebelumnya kesulitan kerja sanggup meraup total pendapatan hingga 700 ribu dolar per tahun sekaligus melindungi hutan yang sebelumnya menjadi korban jarahan.

Kepala desa tetangga bahkan menyambangi Mahrizal meminta supaya desanya disertakan dalam programnya. Bagi Mahrizal itulah bukti keberhasilannya. ''Kalau mereka sukses, saya merasa sukses,'' sambungnya.

Akhir tahun lalu Mahrizal menjadi peserta pelatihan manajerial dan kepemimpinan dalam bidang perubahan iklim yang diselenggarakan British Council di Bogor.

Tanpa disangka di awal bulan ini British Council menghubungi Mahrizal dan memberi kabar baik. Mahrizal terpilih sebagai juara dalam kategori pewirausaha sosial di bidang perubahan iklim atau champion entrepreneur for environment.

Kemenangan itu mengejutkan Mahrizal. Pasalnya, niat awal dia untuk menjadi peserta pelatihan sebatas demi memperoleh ilmu baru dan berbagi pengalaman dengan peserta dari negara lain. ''Dari 300 pendaftar memang cuma 10 yang lolos seleksi pelatihan dari Indonesia,'' ucapnya.

Mahrizal terhitung menyisihkan peserta dari Australia, Filipina, Singapura, Malaysia, Korea, Taiwan, Vietnam, hingga Inggris.

Saat ditanya apakah ia menerima penjelasan dari British Council soal alasan kemenangannya, Mahrizal menjawab bahwa program coklatnya dinilai memberi dampak tidak hanya pada perbaikan lingkungan tapi juga pada segi ekonomi.

Berlanjut
Program rehabilitasi ladang coklat Mahrizal kini berlanjut bagi 62 kepala keluarga di Desa Hagu, Kecamatan Panteraja, Kabupaten Pidie Jaya, di atas tanah seluas 36,5 hektare. Kali ini Mahrizal mendapat bantuan mesin dari Dinas Pertanian serta pupuk organik dari sebuah LSM.

Mimpinya memperbaiki nasib lewat coklat belum berakhir. Bila kini petani sebatas menjual biji coklat kering, Mahrizal ingin mengembangkan coklat tersebut. ''Maunya bisa dijual sudah dalam bentuk coklat batang yang siap dinikmati, yang bernilai tambah,'' jelasnya.

Semakin banyak penduduk yang bisa terlibat, makin banyak pula pekerjaan yang bisa tercipta. Dan, ini sangat menggembirakannya. ''Saya makin senang jika makin banyak petani yang terlibat,'' katanya.

Mulai Senin pekan lalu, Mahrizal harus mewujudkan angannya akan coklat Aceh dari negeri Paman Sam. Ia bertolak ke Arkansas, karena mendapatkan beasiswa Fullbright untuk jurusan internasional agribisnis.

Rasa resah meninggalkan Aceh tentu menghadangnya. ''Tapi di sana saya bisa belajar lebih banyak lagi tentang coklat, ilmu yang mungkin bisa saya terapkan nanti di Aceh,'' tandasnya. ind
(-)

Yang Muda yang Memakmurkan

http://jurnalnasional.com/?media=KR&cari=mahrizal&rbrk=&id=86163&detail=Halaman%20Muka

Halaman Muka jakarta | Minggu, 22 Mar 2009
by : Sjifa Amori

Meski kenikmatan kopi Aceh tiada duanya, keberadaan kedai kopi di daerah tersebut menggelisahkan Mahrizal Paru. Bagi wirausahawan muda asal Aceh itu, banyaknya kedai kopi di tempatnya identik dengan kemalasan. "Seharian mereka bicara soal menanam kakao di kedai kopi tanpa pernah turun ke kebun," kata Mahrizal saat ditemui di acara talkshow British Council "Community Entrepreneur: Business and Social Innovation", Kamis (19/3).

Keprihatinan Mahrizal tumbuh sepulangnya ia kuliah dari Malaysia. Ia tak tahan melihat nasib rakyat Aceh, khususnya di daerah Pidie, yang menebangi kayu hutan atau mengharapkan bantuan terus menerus sejak merebaknya konflik Aceh disusul tsunami. Mahrizal sendiri dilahirkan dalam keluarga petani kokoa. Dengan keuletan, ayahnya mampu menyekolahkan Mahrizal dan saudara-saudaranya hingga ke jenjang universitas. Bahkan ke luar negeri. Lalu, kenapa masyarakat Aceh lainnya tak bisa bernasib sama sepertinya.

Kenyataan ini mendorong peraih Champion Asian Young Leader Climate Forum ini untuk merintis penggunaan lahan kosong yang tidak produktif . Selain menyediakan bibit kakao dan pupuk gratis, Mahrizal juga memberikan pelatihan dan berbagi pengetahuan dengan petani untuk meningkatkan kualitas kakao. Hasilnya, tiap hektar yang ditanami bisa dipanen 1,2 ton kakao seharga Rp24 juta. Sejak itu, kata Mahrizal, kedai kopi tak terlalu ramai lagi karena warga bekerja giat di kebun.

Yang istimewa dari gaya kewirausahaan para orang muda ini adalah karena wirausaha menjadi pilihan hidup, bukannya sekadar tuntutan untuk keberlangsungan hidup. Apa yang mereka gerakkan berbasis pada pertimbangan kesejahteraan masyarakat luas. Mereka inilah yang lalu disebut wirausahawan berbasis komunitas. Pelopor ekonomi baru di bidang industri kreatif, lingkungan hidup, dan kemasyarakatan, yang saat ini sudah menyumbang Rp250 triliun pada Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia.

Sejak 2006, British Council mengidentifikasi, memfasilitasi, dan membangun jaringan bagi lebih dari 400 wirausahawan muda Indonesia yang menciptakan kemakmuran sembari menyelesaikan masalah sosial lainnya. Berdasarkan data Depdiknas, terhitung Agustus 2008, ada 961 ribu penganggur terdidik di Indonesia. Pada 2008, Indonesia menduduki urutan teratas sebagai negara Asia dengan jumlah pengangguran tertinggi. Keadaan ini mencerminkan beberapa permasalahan sosial lainnya, termasuk terbatasnya perguruan tinggi berkualitas yang mampu mencetak anak didik sesuai kebutuhan pasar.

Normalnya, jarak antara lulus wisuda dengan mulai bekerja adalah kurang dari satu tahun. Jika lebih, maka seorang penganggur terdidik umumnya mulai dihinggapi keputusasaan sehingga merasa rendah diri dan tidak percaya diri. Untungnya di Indonesia, banyak sekali pemuda potensial yang menurut John Pepin, ahli social entrepeneur dari Inggris, menciptakan nilai tambah pada komunitas mereka dengan menghasilkan solusi finansial dan sosial.

"Sangatlah penting untuk berbagi antara wirausahawan berbagai komunitas dan mempelajari bagaimana wirausaha berbasis komunitas mereka dapat memperkuat inovasi dan kreativitas," kata Pepin.

Yang disampaikan Pepin diperjelas dengan apa yang dipraktikkan Sakti Parantean. Entrepreneur ini meninggalkan karirnya di bidang keuangan (sebagai karyawan) dan mendirikan Fictionary Media Technology (FMT) yang saat ini omzetnya mencapai Rp380 juta per bulan. Tak berhenti di situ, Sakti mengalihkan pekerjaan bagi pembuat film di luar Jakarta, membangun jejaring kerja, sekaligus menyetarakan kemahiran mereka dengan standar internasional.

"Untuk syuting di daerah, saya mengundang kru yang berasal dari pemuda daerah yang berminat dan berprestasi. Mereka akan mendapat workshop terkait profesionalisme yang sesuai standar yang dibutuhkan pasar," kata Sakti saat diwawancarai Jurnal Nasional.

Sakti memenangkan British Council International Young Creative Entrepreneur (IYCE) Screen Award mengalahkan China, India, dan Thailand. Menurut dewan juri kala itu, "Sakti memukau karena bisnisnya memiliki dimensi sosial dan moral. Ia menggunakan film sekaligus sebagai upaya membangun infrastruktur di negerinya."

Community Entrepreneurs adalah program untuk menjawab tantangan pengangguran di Indonesia, khususnya di kalangan muda. Saat ini, 20 juta orang Indonesia berusia 14 hingga 34 tahun tidak memiliki pekerjaan. Jumlah ini sama dengan lima kali penduduk Singapura.

Bayangkan, jika dalam tiga tahun mendatang kita mampu mengilhami tiga persen saja pemuda Indonesia untuk menjadi wirausahawan berbasis komunitas. Jika seorang wirausahawan menciptakan 10 wirausahawan baru, maka tahun 2012 kita akan memiliki 15 juta pengusaha sosial dan kreatif yang akan membantu 150 juta lainnya. Jadi betul memang, masa depan perekonomian Indonesia berada di tangan pengusaha muda.

Syifa Amori

Sunday, September 27, 2009

Mahrizal dan Kakao Organik dari Pidie



http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/04/13/03025682/mahrizal.dan.kakao.organik.dari.pidie

Senin, 13 April 2009 | 03:02 WIB

Oleh Dwi As Setianingsih

Prihatin melihat warga yang hanya duduk-duduk di warung kopi pascakonflik Aceh membuat Mahrizal tertantang menciptakan sumber kehidupan baru untuk mereka. Anak petani kakao asal Pidie Jaya, Aceh, ini lalu memperkenalkan kakao organik dan mengajak warga kembali menggarap tanah mereka.

Hidup di tengah kultur petani kakao membuat Mahrizal kecil paham seluk-beluk budidaya kakao. Ayahnya, M Ismail, adalah petani kakao yang sejak puluhan tahun silam bekerja merawat kakao untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan menyekolahkan anak-anaknya.

Berkat kakao, Ismail berhasil menyekolahkan Rizal, panggilannya, dan adik-adiknya sampai perguruan tinggi. Rizal bahkan mengenyam program S-2 di International Islamic University di Malaysia.

”Saya ingat betul, sewaktu kecil, saat panen tiba, saya pergi ke kebun untuk mengumpulkan buah (kakao) yang jatuh dari pohon. Hasilnya saya jual,” kenang Rizal dalam acara peluncuran Community Entrepreneur yang diselenggarakan British Council.

Agustus 2008, Rizal mengikuti Project Management and Leadership for Climate Change yang diselenggarakan British Council di Inggris. Acara itu diikuti 35 peserta pilihan dari 12 negara.

Berada di kebun kakao memang telah menjadi separuh hidup Rizal, selain bersekolah. Dari sinilah dia belajar bagaimana mengelola kakao dengan segala tetek bengeknya.

Uang hasil kerja kecil-kecilan itu dimanfaatkan Rizal untuk jajan atau memenuhi kebutuhan sekolah. Keuletan dan kerja keras sang ayah rupanya menular kepada dirinya.

Di wilayah Pidie Jaya, umumnya warga memiliki lahan yang ditanami kakao, luasnya bervariasi. Namun, konflik Aceh yang berkepanjangan mengakibatkan lahan kakao terbengkalai tak digarap.

Para petani kakao memilih menghabiskan waktu dengan ”nongkrong” di warung kopi yang bertebaran di wilayah itu. Konflik telah menggiring mereka pada rasa putus asa dan ketidakberdayaan untuk tetap berusaha dan bekerja.

Ditambah bencana tsunami yang menerjang bumi Serambi Mekkah pada akhir 2004, lengkap sudah penderitaan panjang masyarakat Aceh. Para petani yang tak punya mata pencarian karena lahannya diterjang tsunami pun semakin banyak.

Jalan pintas

Ketika perdamaian datang tahun 2005, para petani yang telanjur kehilangan mata pencarian umumnya mencari jalan pintas untuk memenuhi kebutuhan hidup. Mereka pergi ke hutan dan memotong kayu secara sembarangan. Urusan perut, sekali lagi, selalu bisa membuat orang berbuat nekat.

Prihatin sekaligus cemas pada nasib warga dan hutan yang terancam pembalakan liar, Rizal yang kala itu telah lulus dari Fakultas Ekonomi, Universitas Nasional Jakarta, tergerak untuk mencoba memberi alternatif kepada masyarakat.

Berkaca pada sang ayah yang sukses menjadi petani kakao, ditambah pengalamannya yang sejak kecil hidup di tengah kultur kakao, mendorong Rizal berupaya mengajak para petani kembali ke kebun mereka, menanam kakao organik.

”Saya memilih kakao organik dengan pertimbangan budidaya kakao organik tidak membutuhkan biaya besar,” ujar Rizal.

Pupuk untuk tanaman kakao itu diperoleh dari kotoran kambing yang dipelihara para petani. Sementara sumber makanan untuk kambing didapatkan dari pohon gamal (gliricidia sepium) yang berfungsi sebagai tanaman pelindung atau peneduh bagi tanaman kakao.

”Pertimbangan tuntutan gaya hidup sehat makin memantapkan saya untuk mengajak warga menanam kakao organik,” ujar Rizal menambahkan.

Dia yakin, dengan tekad dan kerja keras, sukses Ismail, sang ayah, bisa turut dikecap para petani dan anak-anak mereka. Ia berkaca pada dirinya.

Bekas tsunami

Pada tahap awal, sekitar tahun 2006, bersama Yayasan Tunas Bangsa yang didirikannya, Rizal mengajak 300 petani untuk menggarap lahan seluas 280 hektar di Desa Parugede, Desa Sarahpanyang, dan Desa Alue di Kecamatan Bandar Baru, Kabupaten Pidie Jaya.

Lokasi ini termasuk areal bekas tsunami dan lahan-lahan yang berada di pinggir gunung. Mereka diajarinya berbagai hal, mulai pembibitan sampai membuat pupuk organik.

Program yang ditawarkan Rizal dan Yayasan Tunas Bangsa itu diakui Rizal bukan hal baru. Pemerintah setempat juga melakukan upaya serupa. Namun, yang membedakan kegiatan Rizal dengan apa yang dilakukan pemerintah setempat adalah dia memberlakukan metode pengawasan yang ketat.

”Kami tak akan memberikan bibit bila mereka tidak serius,” katanya.

Pengawasan dan keseriusan inilah yang menjadi kunci keberhasilannya. Ditambah kesabaran dan keteguhan niat untuk mengajak petani kakao menuju masa depan yang lebih baik, usaha dan kerja keras Rizal mendampingi para petani pun membuahkan hasil.

Pada tahap pertama, satu hektar lahan rata-rata bisa menghasilkan 1,5-2 ton. Dengan harga Rp 20.000-Rp 25.000 per kilogram kakao, pendapatan petani bisa mencapai sekitar Rp 30 juta. Jumlah yang amat memadai untuk memenuhi kebutuhan hidup di Aceh.

”Yang dijual petani adalah biji kakao kering dengan kadar air 5-7 persen. Pembelinya para pedagang pengumpul keliling. Merekalah yang menjualnya kepada pedagang besar kemudian mengekspornya ke luar negeri,” ujar Rizal menjelaskan.

Dengan penghasilan yang lebih dari cukup itu, kehidupan petani kakao di Pidie Jaya membaik. ”Hobi mereka nongkrong di warung kopi sudah makin berkurang karena sibuk di kebun,” katanya sambil tertawa.

Seiring dengan kesuksesan program yang dia jalankan, banyak desa yang ingin turut dalam program rehabilitasi dan budidaya kakao organik. Kini, program yang dilakukan Rizal kembali merangkul 62 keluarga di Desa Hagu, Kecamatan Panteraja, Kabupaten Pidie Jaya, di atas tanah seluas 36,5 hektar.

Impian Rizal untuk ”memberi” masa depan yang lebih baik bagi keluarga petani kakao seperti dirinya bisa dikatakan tercapai. Namun, Rizal tak mau berhenti bermimpi.

”Saya masih memimpikan adanya pabrik cokelat di Pidie Jaya agar para petani bisa mencetak cokelat mereka sendiri, mengemas, dan memasarkannya seperti cokelat-cokelat yang ada di pasaran,” kata Rizal.

Saturday, September 26, 2009

British Council Indonesia Berikan Penghargaan Wirausahawan Kreatif

Selasa, 24 Maret 2009 | 20:42 WIB
Laporan wartawan KOMPAS Cornelius Helmy Herlambang

BANDUNG, KOMPAS.com - British Council Indonesia memberikan penghargaan wirausahawan berbasis kreatifitas, lingkungan hidup, dan sosial pada enam orang muda asal Jawa Barat. Penghargaan ini juga diberikan pada lima orang muda kreatif lainnya di seluruh Indonesia.

Wirausahawan muda asal Jabar yang mendapat penghargaan adalah tiga pendiri Bandung Creative City Forum, Ridwan Kamil, Gustaff Iskandar, dan Fiki Cikara Satari. Selain itu ada Goris Mustaqim (Pendiri Asgar Muda di Garut, Jawa Barat), Karina Primadhita (Pendiri SLB Prima Bhakti Mulia di Bandung) dan Irfan Amalee (Redaktur Penerbit MIZAN di Bandung, Jawa Barat).

Selain itu, penghargaan ini juga diberikan bagi wirausahawan lainnya, yaitu Wahyu Aditya (Pendiri Sekolah Anim asi HelloMotion Jakarta), Mahrizal (Petani kakao Aceh), Oscar Lawalata (Desainer dari Jakarta), Sakti Parantean (Pendiri Fictionary Media Technology di Jakarta, dan Mita Sirait (Eco-entrepreneur di Jakarta). Penghargaan ini diluncurkan pada 18-22 Maret 2009 dalam program Community Entrepreneurs 2009.

"Kami berterimakasih dengan pengakuan ini. Akan tetapi, ada atau tidak penghargaan, tugas kalangan kreatif di Bandung tidak akan selesai," kata Gustaff Iskandar, di Bandung, Selasa (24/3).

Gustaff yang juga menjabat sebagai Direktur Common Room Network Foundation, komunitas kreatif muda di Bandung, mengatakan masih banyak hal kreatif yang harus dilakukan. Bukan hanya untuk kepentingan Kota Bandung tapi kesejahteraan dan potensi masyarakat di dalamnnya.

Saat ini, ada tiga agenda kalangan kreatif di Bandung yang harus segera diselesaikan. Hal itu adalah pemberdayaan masyarakat sipil muda, mendorong terjadi praktek produksi di berbagai hal, serta kegiatan riset dan penelitian yang terjadi dalam perkembangan suatu kota.

Keinginan menemukan sesuatu hal yang baru dan berguna bagi perkembangan kota akan selalu menjadi permasalahan tak kunjung henti, kata Gustaff.

Sementara itu, Fiki Chikara Satari, berharap pengakuan dari seluruh dunia terhadap potensi kreatif di Bandung bisa menjadi semangat bagi Kota Bandung dan Jabar untuk berkarya. Baik itu pemerintah daerah, kalangan sawasta, atau kalangan muda.

Semuanya harus berjalan bersama dan fokus pada pengembangan kota. Saat ini, maju atau tidaknya suatu kota tergantung dari kreatifitas semua pihak yang ada di dalamnya, kata Ketua Kreatif Independent Clothing Kommunity (KICK) ini.

Menurut Media Relations British Council Indonesia, Gusni Puspitasari, ini diberikan bagi wirausahawan muda yang berinovasi dalam b isnis dan sosial berbasis kreatifitas, lingkungan hidup, dan sosial.

Hal ini, menurut Gusni merupakan peran serta British Council Indonesia mendukung wirausahawan kreatif Indonesia yang sudah dilakukan sejak tahun 2006. Tujuannya, menjaring wirausahawan muda berbakat di bidang sosial, lingkungan hidup, dan industri kreatif.

Saat ini, menurut Gusni, industri kre atif di Indonesia menyumbang sekitar 25 miliar dollar AS . Di Inggris sendiri, wirausaha berbasis komunitas, mampu menyumbang hingga 50 miliar dollar AS dan menyerap 1,2 juta tenaga kerja setahun.