Sunday, September 27, 2009
Mahrizal dan Kakao Organik dari Pidie
http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/04/13/03025682/mahrizal.dan.kakao.organik.dari.pidie
Senin, 13 April 2009 | 03:02 WIB
Oleh Dwi As Setianingsih
Prihatin melihat warga yang hanya duduk-duduk di warung kopi pascakonflik Aceh membuat Mahrizal tertantang menciptakan sumber kehidupan baru untuk mereka. Anak petani kakao asal Pidie Jaya, Aceh, ini lalu memperkenalkan kakao organik dan mengajak warga kembali menggarap tanah mereka.
Hidup di tengah kultur petani kakao membuat Mahrizal kecil paham seluk-beluk budidaya kakao. Ayahnya, M Ismail, adalah petani kakao yang sejak puluhan tahun silam bekerja merawat kakao untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan menyekolahkan anak-anaknya.
Berkat kakao, Ismail berhasil menyekolahkan Rizal, panggilannya, dan adik-adiknya sampai perguruan tinggi. Rizal bahkan mengenyam program S-2 di International Islamic University di Malaysia.
”Saya ingat betul, sewaktu kecil, saat panen tiba, saya pergi ke kebun untuk mengumpulkan buah (kakao) yang jatuh dari pohon. Hasilnya saya jual,” kenang Rizal dalam acara peluncuran Community Entrepreneur yang diselenggarakan British Council.
Agustus 2008, Rizal mengikuti Project Management and Leadership for Climate Change yang diselenggarakan British Council di Inggris. Acara itu diikuti 35 peserta pilihan dari 12 negara.
Berada di kebun kakao memang telah menjadi separuh hidup Rizal, selain bersekolah. Dari sinilah dia belajar bagaimana mengelola kakao dengan segala tetek bengeknya.
Uang hasil kerja kecil-kecilan itu dimanfaatkan Rizal untuk jajan atau memenuhi kebutuhan sekolah. Keuletan dan kerja keras sang ayah rupanya menular kepada dirinya.
Di wilayah Pidie Jaya, umumnya warga memiliki lahan yang ditanami kakao, luasnya bervariasi. Namun, konflik Aceh yang berkepanjangan mengakibatkan lahan kakao terbengkalai tak digarap.
Para petani kakao memilih menghabiskan waktu dengan ”nongkrong” di warung kopi yang bertebaran di wilayah itu. Konflik telah menggiring mereka pada rasa putus asa dan ketidakberdayaan untuk tetap berusaha dan bekerja.
Ditambah bencana tsunami yang menerjang bumi Serambi Mekkah pada akhir 2004, lengkap sudah penderitaan panjang masyarakat Aceh. Para petani yang tak punya mata pencarian karena lahannya diterjang tsunami pun semakin banyak.
Jalan pintas
Ketika perdamaian datang tahun 2005, para petani yang telanjur kehilangan mata pencarian umumnya mencari jalan pintas untuk memenuhi kebutuhan hidup. Mereka pergi ke hutan dan memotong kayu secara sembarangan. Urusan perut, sekali lagi, selalu bisa membuat orang berbuat nekat.
Prihatin sekaligus cemas pada nasib warga dan hutan yang terancam pembalakan liar, Rizal yang kala itu telah lulus dari Fakultas Ekonomi, Universitas Nasional Jakarta, tergerak untuk mencoba memberi alternatif kepada masyarakat.
Berkaca pada sang ayah yang sukses menjadi petani kakao, ditambah pengalamannya yang sejak kecil hidup di tengah kultur kakao, mendorong Rizal berupaya mengajak para petani kembali ke kebun mereka, menanam kakao organik.
”Saya memilih kakao organik dengan pertimbangan budidaya kakao organik tidak membutuhkan biaya besar,” ujar Rizal.
Pupuk untuk tanaman kakao itu diperoleh dari kotoran kambing yang dipelihara para petani. Sementara sumber makanan untuk kambing didapatkan dari pohon gamal (gliricidia sepium) yang berfungsi sebagai tanaman pelindung atau peneduh bagi tanaman kakao.
”Pertimbangan tuntutan gaya hidup sehat makin memantapkan saya untuk mengajak warga menanam kakao organik,” ujar Rizal menambahkan.
Dia yakin, dengan tekad dan kerja keras, sukses Ismail, sang ayah, bisa turut dikecap para petani dan anak-anak mereka. Ia berkaca pada dirinya.
Bekas tsunami
Pada tahap awal, sekitar tahun 2006, bersama Yayasan Tunas Bangsa yang didirikannya, Rizal mengajak 300 petani untuk menggarap lahan seluas 280 hektar di Desa Parugede, Desa Sarahpanyang, dan Desa Alue di Kecamatan Bandar Baru, Kabupaten Pidie Jaya.
Lokasi ini termasuk areal bekas tsunami dan lahan-lahan yang berada di pinggir gunung. Mereka diajarinya berbagai hal, mulai pembibitan sampai membuat pupuk organik.
Program yang ditawarkan Rizal dan Yayasan Tunas Bangsa itu diakui Rizal bukan hal baru. Pemerintah setempat juga melakukan upaya serupa. Namun, yang membedakan kegiatan Rizal dengan apa yang dilakukan pemerintah setempat adalah dia memberlakukan metode pengawasan yang ketat.
”Kami tak akan memberikan bibit bila mereka tidak serius,” katanya.
Pengawasan dan keseriusan inilah yang menjadi kunci keberhasilannya. Ditambah kesabaran dan keteguhan niat untuk mengajak petani kakao menuju masa depan yang lebih baik, usaha dan kerja keras Rizal mendampingi para petani pun membuahkan hasil.
Pada tahap pertama, satu hektar lahan rata-rata bisa menghasilkan 1,5-2 ton. Dengan harga Rp 20.000-Rp 25.000 per kilogram kakao, pendapatan petani bisa mencapai sekitar Rp 30 juta. Jumlah yang amat memadai untuk memenuhi kebutuhan hidup di Aceh.
”Yang dijual petani adalah biji kakao kering dengan kadar air 5-7 persen. Pembelinya para pedagang pengumpul keliling. Merekalah yang menjualnya kepada pedagang besar kemudian mengekspornya ke luar negeri,” ujar Rizal menjelaskan.
Dengan penghasilan yang lebih dari cukup itu, kehidupan petani kakao di Pidie Jaya membaik. ”Hobi mereka nongkrong di warung kopi sudah makin berkurang karena sibuk di kebun,” katanya sambil tertawa.
Seiring dengan kesuksesan program yang dia jalankan, banyak desa yang ingin turut dalam program rehabilitasi dan budidaya kakao organik. Kini, program yang dilakukan Rizal kembali merangkul 62 keluarga di Desa Hagu, Kecamatan Panteraja, Kabupaten Pidie Jaya, di atas tanah seluas 36,5 hektar.
Impian Rizal untuk ”memberi” masa depan yang lebih baik bagi keluarga petani kakao seperti dirinya bisa dikatakan tercapai. Namun, Rizal tak mau berhenti bermimpi.
”Saya masih memimpikan adanya pabrik cokelat di Pidie Jaya agar para petani bisa mencetak cokelat mereka sendiri, mengemas, dan memasarkannya seperti cokelat-cokelat yang ada di pasaran,” kata Rizal.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Go organik...
ReplyDelete