http://jurnalnasional.com/?media=KR&cari=mahrizal&rbrk=&id=86163&detail=Halaman%20Muka
Halaman Muka jakarta | Minggu, 22 Mar 2009
by : Sjifa Amori
Meski kenikmatan kopi Aceh tiada duanya, keberadaan kedai kopi di daerah tersebut menggelisahkan Mahrizal Paru. Bagi wirausahawan muda asal Aceh itu, banyaknya kedai kopi di tempatnya identik dengan kemalasan. "Seharian mereka bicara soal menanam kakao di kedai kopi tanpa pernah turun ke kebun," kata Mahrizal saat ditemui di acara talkshow British Council "Community Entrepreneur: Business and Social Innovation", Kamis (19/3).
Keprihatinan Mahrizal tumbuh sepulangnya ia kuliah dari Malaysia. Ia tak tahan melihat nasib rakyat Aceh, khususnya di daerah Pidie, yang menebangi kayu hutan atau mengharapkan bantuan terus menerus sejak merebaknya konflik Aceh disusul tsunami. Mahrizal sendiri dilahirkan dalam keluarga petani kokoa. Dengan keuletan, ayahnya mampu menyekolahkan Mahrizal dan saudara-saudaranya hingga ke jenjang universitas. Bahkan ke luar negeri. Lalu, kenapa masyarakat Aceh lainnya tak bisa bernasib sama sepertinya.
Kenyataan ini mendorong peraih Champion Asian Young Leader Climate Forum ini untuk merintis penggunaan lahan kosong yang tidak produktif . Selain menyediakan bibit kakao dan pupuk gratis, Mahrizal juga memberikan pelatihan dan berbagi pengetahuan dengan petani untuk meningkatkan kualitas kakao. Hasilnya, tiap hektar yang ditanami bisa dipanen 1,2 ton kakao seharga Rp24 juta. Sejak itu, kata Mahrizal, kedai kopi tak terlalu ramai lagi karena warga bekerja giat di kebun.
Yang istimewa dari gaya kewirausahaan para orang muda ini adalah karena wirausaha menjadi pilihan hidup, bukannya sekadar tuntutan untuk keberlangsungan hidup. Apa yang mereka gerakkan berbasis pada pertimbangan kesejahteraan masyarakat luas. Mereka inilah yang lalu disebut wirausahawan berbasis komunitas. Pelopor ekonomi baru di bidang industri kreatif, lingkungan hidup, dan kemasyarakatan, yang saat ini sudah menyumbang Rp250 triliun pada Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia.
Sejak 2006, British Council mengidentifikasi, memfasilitasi, dan membangun jaringan bagi lebih dari 400 wirausahawan muda Indonesia yang menciptakan kemakmuran sembari menyelesaikan masalah sosial lainnya. Berdasarkan data Depdiknas, terhitung Agustus 2008, ada 961 ribu penganggur terdidik di Indonesia. Pada 2008, Indonesia menduduki urutan teratas sebagai negara Asia dengan jumlah pengangguran tertinggi. Keadaan ini mencerminkan beberapa permasalahan sosial lainnya, termasuk terbatasnya perguruan tinggi berkualitas yang mampu mencetak anak didik sesuai kebutuhan pasar.
Normalnya, jarak antara lulus wisuda dengan mulai bekerja adalah kurang dari satu tahun. Jika lebih, maka seorang penganggur terdidik umumnya mulai dihinggapi keputusasaan sehingga merasa rendah diri dan tidak percaya diri. Untungnya di Indonesia, banyak sekali pemuda potensial yang menurut John Pepin, ahli social entrepeneur dari Inggris, menciptakan nilai tambah pada komunitas mereka dengan menghasilkan solusi finansial dan sosial.
"Sangatlah penting untuk berbagi antara wirausahawan berbagai komunitas dan mempelajari bagaimana wirausaha berbasis komunitas mereka dapat memperkuat inovasi dan kreativitas," kata Pepin.
Yang disampaikan Pepin diperjelas dengan apa yang dipraktikkan Sakti Parantean. Entrepreneur ini meninggalkan karirnya di bidang keuangan (sebagai karyawan) dan mendirikan Fictionary Media Technology (FMT) yang saat ini omzetnya mencapai Rp380 juta per bulan. Tak berhenti di situ, Sakti mengalihkan pekerjaan bagi pembuat film di luar Jakarta, membangun jejaring kerja, sekaligus menyetarakan kemahiran mereka dengan standar internasional.
"Untuk syuting di daerah, saya mengundang kru yang berasal dari pemuda daerah yang berminat dan berprestasi. Mereka akan mendapat workshop terkait profesionalisme yang sesuai standar yang dibutuhkan pasar," kata Sakti saat diwawancarai Jurnal Nasional.
Sakti memenangkan British Council International Young Creative Entrepreneur (IYCE) Screen Award mengalahkan China, India, dan Thailand. Menurut dewan juri kala itu, "Sakti memukau karena bisnisnya memiliki dimensi sosial dan moral. Ia menggunakan film sekaligus sebagai upaya membangun infrastruktur di negerinya."
Community Entrepreneurs adalah program untuk menjawab tantangan pengangguran di Indonesia, khususnya di kalangan muda. Saat ini, 20 juta orang Indonesia berusia 14 hingga 34 tahun tidak memiliki pekerjaan. Jumlah ini sama dengan lima kali penduduk Singapura.
Bayangkan, jika dalam tiga tahun mendatang kita mampu mengilhami tiga persen saja pemuda Indonesia untuk menjadi wirausahawan berbasis komunitas. Jika seorang wirausahawan menciptakan 10 wirausahawan baru, maka tahun 2012 kita akan memiliki 15 juta pengusaha sosial dan kreatif yang akan membantu 150 juta lainnya. Jadi betul memang, masa depan perekonomian Indonesia berada di tangan pengusaha muda.
Syifa Amori
No comments:
Post a Comment