http://www.republika.co.id/koran/14/40620/Mahrizal_Menghidupkan_Coklat_Aceh
Koran » Berita Utama
Minggu, 29 Maret 2009 pukul 23:07:00
SOSOK
Besar dari coklat dan kemudian membesarkan orang lain lewat coklat. Itulah Mahrizal. Pria berumur 28 tahun (20 Oktober 1981) itu lahir dari keluarga petani coklat di Desa Paru, Kabupaten Pidie, Aceh.
Dari hasil tanaman coklat, ayahnya, M Ismail, sanggup menyekolahkan Mahrizal dan tiga adiknya. Termasuk membiayai S2 Mahrizal di International Islamic University di Malaysia.
Sayangnya, nasib petani coklat seperti keluarga Mahrizal tidak diikuti oleh banyak petani lainnya. Setelah konflik Aceh reda, pada tahun 2005 angka pengangguran meningkat. Ladang coklat yang dulu banyak digarap telah lama ditinggalkan. Saat kondisi Aceh masih genting sebagian besar penduduk Pidi terpaksa mengungsi meninggalkan ladang coklat mereka.
Pasca-perdamaian Aceh satu-satunya mata pencarian yang mungkin dan cepat adalah menjadi penjual kayu. Demi memberi makan keluarga, mereka menebang habis pohon di ladang coklat yang tidak terawat.
Mahrizal prihatin. Dalam batinnya ia berpikir pasti ada sesuatu yang bisa dilakukan untuk memperbaiki nasib mereka. ''Sebenarnya mereka memiliki lahan, cuma tidak terurus,'' kata Mahrizal.
Menanam kembali
Dari modal lahan, Mahrizal berpikir untuk membentuk sebuah komunitas yang pada akhirnya sanggup menggerakkan kembali roda ekonomi melalui tanaman coklat. Bersama Yayasan Tunas Bangsa, sebuah organisasi nirlaba yang dipimpinnya, Mahrizal memulai program menanami kembali ladang coklat.
Program pertama dimulai tahun 2006. Sekitar 300 orang petani diajaknya untuk menggarap lahan seluas 280 hektar. Mereka adalah petani dari Desa Parugede, Sarahpanyang, dan Alue, di Kecamatan Bandar Baru, Kabupaten Pidie Jaya. Selama delapan bulan mereka diikutkan dalam program. ''Mulai dari pembibitan, pelatihan, sampai membuat pupuk organik,'' kata Mahrizal.
Sebelumnya pemerintah setempat pernah pula memberikan program yang sama untuk para petani. Bedanya, kata Mahrizal, tidak pernah ada pengawasan dari pemerintah. Akibatnya, banyak petani yang justru menjual pupuk atau bibit yang diberikan pemerintah. Ladang pun tetap terbengkalai.
Petani serius
Dalam programnya Mahrizal berprinsip bahwa hanya petani yang serius ingin berubah yang akan dibantunya. ''Kalau kami mengecek ke lapangan dan tidak menemukan pagar di ladang atau tidak ada lubang galian, maka kami tidak memberi bibit coklat ke mereka,'' paparnya.
Sistem pengawasan Mahrizal terbukti efektif. Terlebih, menanam ladang coklat bukan hanya merehabilitasi lahannya. Tanaman coklat membutuhkan tanaman pelindung. Tanaman itu sekaligus berfungsi sebagai penahan erosi dan penyerap karbondioksida.
Dalam satu hektare ladang coklat membutuhkan sekitar 200 pohon pelindung. Daun dari pohon pelindung lalu dapat dijadikan pakan kambing. Sementara kotoran kambing bermanfaat sebagai pupuk.
Ketika siklus tersebut berjalan petani sanggup menjual 1,5 sampai dua ton coklat dari satu hektar ladang. Setiap kilogram coklat laku seharga Rp 22 ribu. Artinya 1,5 ton coklat menghasilkan pendapatan sebesar Rp 33 juta. ''Kalau dibagi 12 bulan, jumlahnya lebih besar dari UMR DKI Jakarta yang mencapai Rp 1 juta per bulan,'' terang Mahrizal.
Jumlah itu tergolong cukup bagi petani di sana. ''Mereka sekarang ada yang mulai beli motor dan memperbaiki rumahnya,'' jelasnya.
Buah usaha
Usaha Mahrizal berbuah manis. Anggota desa yang sebelumnya kesulitan kerja sanggup meraup total pendapatan hingga 700 ribu dolar per tahun sekaligus melindungi hutan yang sebelumnya menjadi korban jarahan.
Kepala desa tetangga bahkan menyambangi Mahrizal meminta supaya desanya disertakan dalam programnya. Bagi Mahrizal itulah bukti keberhasilannya. ''Kalau mereka sukses, saya merasa sukses,'' sambungnya.
Akhir tahun lalu Mahrizal menjadi peserta pelatihan manajerial dan kepemimpinan dalam bidang perubahan iklim yang diselenggarakan British Council di Bogor.
Tanpa disangka di awal bulan ini British Council menghubungi Mahrizal dan memberi kabar baik. Mahrizal terpilih sebagai juara dalam kategori pewirausaha sosial di bidang perubahan iklim atau champion entrepreneur for environment.
Kemenangan itu mengejutkan Mahrizal. Pasalnya, niat awal dia untuk menjadi peserta pelatihan sebatas demi memperoleh ilmu baru dan berbagi pengalaman dengan peserta dari negara lain. ''Dari 300 pendaftar memang cuma 10 yang lolos seleksi pelatihan dari Indonesia,'' ucapnya.
Mahrizal terhitung menyisihkan peserta dari Australia, Filipina, Singapura, Malaysia, Korea, Taiwan, Vietnam, hingga Inggris.
Saat ditanya apakah ia menerima penjelasan dari British Council soal alasan kemenangannya, Mahrizal menjawab bahwa program coklatnya dinilai memberi dampak tidak hanya pada perbaikan lingkungan tapi juga pada segi ekonomi.
Berlanjut
Program rehabilitasi ladang coklat Mahrizal kini berlanjut bagi 62 kepala keluarga di Desa Hagu, Kecamatan Panteraja, Kabupaten Pidie Jaya, di atas tanah seluas 36,5 hektare. Kali ini Mahrizal mendapat bantuan mesin dari Dinas Pertanian serta pupuk organik dari sebuah LSM.
Mimpinya memperbaiki nasib lewat coklat belum berakhir. Bila kini petani sebatas menjual biji coklat kering, Mahrizal ingin mengembangkan coklat tersebut. ''Maunya bisa dijual sudah dalam bentuk coklat batang yang siap dinikmati, yang bernilai tambah,'' jelasnya.
Semakin banyak penduduk yang bisa terlibat, makin banyak pula pekerjaan yang bisa tercipta. Dan, ini sangat menggembirakannya. ''Saya makin senang jika makin banyak petani yang terlibat,'' katanya.
Mulai Senin pekan lalu, Mahrizal harus mewujudkan angannya akan coklat Aceh dari negeri Paman Sam. Ia bertolak ke Arkansas, karena mendapatkan beasiswa Fullbright untuk jurusan internasional agribisnis.
Rasa resah meninggalkan Aceh tentu menghadangnya. ''Tapi di sana saya bisa belajar lebih banyak lagi tentang coklat, ilmu yang mungkin bisa saya terapkan nanti di Aceh,'' tandasnya. ind
(-)
No comments:
Post a Comment