Thursday, May 30, 2013

Sulawesi Tenggara: Pembangunan dan Permasalahannya

26 November 2012 adalah hari pertama saya menginjakkan kaki di wilayah Indonesia Timur, khususnya Sulawesi. Perjalanan tersebut bagi saya sungguh mendebarkan karena saya akan tinggal di Kendari, Sulawesi Tenggara (Sultra) paling tidak untuk dua tahun ke depan. Saya diterima bekerja disebuah lembaga penelitian dan pembangunan internasional yang bergerak di bidang pertanian, perkebunan, kehutanan, dan lingkungan. Kesan pertama yang muncul ketika mendarat di Kendari adalah cuaca yang sangat Panas. Menurut beberapa rekan yang telah bermukim di Kendari, cuacanya memang lebih panas dari beberapa daerah lain di Indonesia. Cuaca tentunya bukan masalah yang besar, perlahan tentu bisa beradaptasi dengan dengan keadaaan tersebut. Hari ini saya telah berada di Sulawesi Tenggara selama lebih dari 6 bulan. Berbagai pengalaman saya dapatkan dari kunjungan ke desa-desa dan bertemu masyarakat lokal dan pendatang. Sisi lain dari Sulawesi adalah Makanannya yang beragam dan selalu menggugah selera. Tulisan ini adalah sebuah bentuk ringkasan pengalaman selama 6 bulan. Di Sulawesi Tenggara, antrian panjang di SPBU khusus untuk Solar adalah hal lazim yang bisa kita jumpai setiap hari. Ratusan kenderaan yang umumnya truk antri sampai ratusan meter. Ketika Solar datang yang dibawa oleh mobil tangki, mereka dengan sabar menunggu giliran, kadang ada juga yang suka memotong antrian. Karena sudah banyak yang antri, satu tangki solar bisa habis hanya dalam beberapa jam. Inilah salah satu kondisi daerah yang selalu kekurangan BBM. Selain BBM, infrastruktur seperti jalan dan jembatan juga menjadi masalah tersendiri di Sultra. Perjalanan ke Asinua di Konawe, Konawe Selatan dan Kolaka utara sungguh meyayat hati. Di Asinua misalnya, banyak penduduk masih belum bisa menikmati jalan yang sudah di lapisi aspal, bahkan jalan berlubang dan berlumpur selalu bisa kita jumpai dengan mudah. Lain halnya di Konawe utara, jalan disana sudah pernah diaspal, namun jalan berlubang seluas kubangan kerbau terbentang dari awal perbatasan sampai kota Kabupaten. Banyak orang menyalahkan truk tambang sebagai penyebab jalan berlubang, disamping kualitas nya yang sangat buruk. Di Konawe Selatan, jalan lebih dari 30 KM yang berdebu, berbatu dan bercampur tanah liat adalah pemandangan sehari-hari. Padahal, daerah ini di huni oleh lebih dari 10.000 penduduk. Jalan oh jalan. Listrik Masuk Desa (LMD) adalah impian semua orang, namun bagi masyarakat di beberapa kecamatan seperti Asinua, Latoma, Tawanga di Kolaka, LMD adalah mimpi yang tidak pernah tersampaikan. Rumah penduduk hanya diterangi oleh lampu teplok yang bisa berisiko timbulnya kebakaran. Namun, listrik dari tenaga surya juga dapat dijumpai di beberapa rumah yang hanya menyala untuk beberapa jam. Sudah pasti, kehidupan masyarakat setelah matahari terbenam juga ikut terbenam oleh tidak adanya sumber penerangan dari negara. Sekolah, ini yang menarik untuk dibahas. Di Asinua masih ada sekolah yang berukuran 6 x 3 meter dengan bahan kayu dan atap rumbia. Bahkan, dinding sekolah pun tidak sepenuhnya tertutupi. Miris melihat kondisi sekolah ini. Namun inilah hasil pembangunan di Sultra. 65 tahun lebih indonesia merdeka, kondisi jalan berlubang dan tidak beraspal adalah pemandangan yang selalu disuguhkan kepada masyarakat. Listrik masuk desa (LMD) hanya sebuah mimpi yang selalu menjadi mimpi di malam selanjutnya. Sekolah dengan kondisi miris. Itulah beberapa potret desa di Sultra. Haruskah negara melepas begitu saja tanggung jawabnya?