"Apalah arti sebuah nama". Itulah sebuah ungkapan yang sering kita dengar. Bagi sebagian orang, nama bukanlah hal yang begitu penting untuk dipertimbangkan, asal bisa sebut, disahuti, dan akhirnya melekat menjadi nama resmi pada akte kelahiran. Ada juga orang yang memanggil nama anaknya "hananan" yang berarti "tidak ada nama".
Selain itu, bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, pemberian satu nama untuk anak adalah hal lumrah, misalnya Soekarno, Soeharto, Sudirman, dan banyak lagi, termasuk saya sendiri. Nama orang tua biasanya tidak dicantumkan pada KTP, SIM, maupun paspor.
Namun, bagi masyarakat Amerika, satu nama adalah hal yang sangat tidak biasa. Sistem komputerisasi di negara ini tidak mengenal satu nama. Setiap pengisian formulir baik online maupun diatas kertas, selalu mewajibkan pengisian nama depan dan nama terakhir atau nama keluarga. Saya sendiri tidak tau harus mengisi apa untuk nama depan atau belakang untuk pertama kali pengisian formulir.
Pada saat permohonan visa misalnya, bagi yang mempunyai satu nama dan sesuai dengan di paspor, nama pertama harus diisi dengan "FNU" (First Name Unidentify/ Nama pertama tidak diketahui). Terasa sangat tidak nyaman jika dipanggil FNU, namun sesuai peraturan, nama depan dan nama keluarga wajib di isi.
Demikian halnya di institusi resmi seperti universitas, bank, kantor polisi dan kantor pencatatan sipil (revenue office) untuk pembuatan KTP. Pemilik satu nama juga harus bersiap-siap untuk menjelaskan nama depan dan nama keluarga. Di universitas dan bank, nama depan dan nama keluarga kadang dicantumkan sama, misalnya Soeharto Soeharto.
Pembuatan KTP misalnya, bagi yang mempunyai dua nama atau lebih, pembuatan KTP di Amerika sangat mudah, hanaya memerlukan waktu lima - sepuluh menit setelah menyerahkan dokumen seperti paspor dan visa kepada pihak kantor pencatatan sipil (revenue office). Tidak ada rekomendasi dan tanda tangan ketua RT/RW diperlukan seperti di Indonesia yang biasanya juga memerlukan waktu lebih dari seminggu.
Keistimewaan untuk mendapat KTP dalam lime menit tidak didapat dinikmati oleh pemilik satu nama. Pihak pencatatan sipil harus mendapat persetujuan dari Homeland Security agar bisa mengeluarkan KTP. Proses ini bisa memakan waktu lebih dari sebulan. Saya sendiri harus mendatangi kantor pencatatan sipil lebih dari enam kali. Setelah dibantu oleh pihak imigrasi kampus, proses pembuatan KTP akhirnya bisa diselesaikan dan tanpa ada tambahan dana selain yang tertera di resit pembayaran.
Banyak orang juga bertanya bagaimana bisa membedakan dua orang yang memiliki nama yang sama. Di Indonesia, masyarakat pasti mengetahui dan bisa membedakan pemilik nama yang sama di satu desa. Tidak hanya membedakan, nenek dan kakek pun mereka mengetahui.
Akhirnya, saya berharap pengalaman ini cukup hanya saya sendiri yang merasakan. Ketika anak saya lahir, kami memberikannya tiga nama dengan harapan agar pembuatan KTP bisa dibuat dalam lima menit jika suatu hari dia datang ke Amerika. Bagi yang ingin memberikan satu nama untuk anak, harap dapat mempertimbangkan kembali. Kita tidak pernah tau kemana gerak kaki melangkah. Tidak tau juga kita akan terdampar dinegara yang mewajibkan nama depan dan nama keluarga.
Semoga bermanfaat.
Sunday, December 18, 2011
Penyakit Kakao
Kakao adalah salah satu tanaman yang sangat rentan terhadap hama dan penyakit. Berbagai macam hama dan penyakit telah di identifikasi sebagai penyebab menurunnya produksi. Lass (2001) mencatat hama dan penyakit dapat menyebabkan menurunnya produksi kakao dunia sebanyak 20.80 ke 29.40 persen. Beberapa negara seperti Ghana, Nigeria, Sierra Leone, Togo, Trinidad and Tobago, Cameroon Barat, dan Pulau Windward di anggap sebagai Negara yang mempunyai tingkat kerugian tersebesar.
Jumlah hama dan penyakit yang menyerang tanaman kakao bisa mencapai puluhan jenis. Namun sebagian penyakit memiliki dampak yang sangat besar pada tanaman kakao dan juga dapat mengurangi produksi yang signifikan, misalnya, hama penggerek buah kakao, kepik penghisap buah kakao, Helopeltis antonii, penyakit busuk buah, sedangkan Vascular streakdieback-membuat pohon kakao terlalu lemah untuk memproduksi, dan Ceretocystis layubahkan mungkin membunuh pohon (Lass, 2001).
Beberapa penyakit dapat dikendalikan dan dihilangkan melalui pendekatan tradisional, penyemprotan fungisida , pengurangan naungan, dan meningkatkan sistem drainase. Namun, beberapa penyakit tertentu masih sulit untuk dikontrol, meskipun petani harus menebang pohon kakao yang terinfeksi. Namun demikian, penyakit masih bertahan dan sulit untuk benar-benar menghilangkan (Lass, 2001a).
Berikut adalah besarnya persentase kehilangan produksi kakao akiban hama & penyakit.
Mirids or capsids Up to 75%
Shield bugs 5 - 18%
Scale insects and mealy bugs 25-30%d due to Capsid and Mealy bugs effect
Cocoa moth (Cocoa pod borer) 17%
Vertebrates (Elephants, 11% in Ghana; a11-15% in Nigeria.a2 1-10%
wild cattle, deer, pigs, monkeys, São Tomé; 20% in Dominican Republic;
bats, squirrels, rodents, 20% in Fiji; under coconut in Malaysia 70-90%;
civet cats, some marsupials, World average 5-10%
woodpeckers, and parrots
Black pod 10% globally, 30%, 30-60.9% in Nigeria
Witches’ broom Up to 50 percent. uncontrolled condition 70%
30% - 40% of global production
Cocoa swollen-shoot virus 42% within 2 years;i, 50-60% by third year
Jumlah hama dan penyakit yang menyerang tanaman kakao bisa mencapai puluhan jenis. Namun sebagian penyakit memiliki dampak yang sangat besar pada tanaman kakao dan juga dapat mengurangi produksi yang signifikan, misalnya, hama penggerek buah kakao, kepik penghisap buah kakao, Helopeltis antonii, penyakit busuk buah, sedangkan Vascular streakdieback-membuat pohon kakao terlalu lemah untuk memproduksi, dan Ceretocystis layubahkan mungkin membunuh pohon (Lass, 2001).
Beberapa penyakit dapat dikendalikan dan dihilangkan melalui pendekatan tradisional, penyemprotan fungisida , pengurangan naungan, dan meningkatkan sistem drainase. Namun, beberapa penyakit tertentu masih sulit untuk dikontrol, meskipun petani harus menebang pohon kakao yang terinfeksi. Namun demikian, penyakit masih bertahan dan sulit untuk benar-benar menghilangkan (Lass, 2001a).
Berikut adalah besarnya persentase kehilangan produksi kakao akiban hama & penyakit.
Mirids or capsids Up to 75%
Shield bugs 5 - 18%
Scale insects and mealy bugs 25-30%d due to Capsid and Mealy bugs effect
Cocoa moth (Cocoa pod borer) 17%
Vertebrates (Elephants, 11% in Ghana; a11-15% in Nigeria.a2 1-10%
wild cattle, deer, pigs, monkeys, São Tomé; 20% in Dominican Republic;
bats, squirrels, rodents, 20% in Fiji; under coconut in Malaysia 70-90%;
civet cats, some marsupials, World average 5-10%
woodpeckers, and parrots
Black pod 10% globally, 30%, 30-60.9% in Nigeria
Witches’ broom Up to 50 percent. uncontrolled condition 70%
30% - 40% of global production
Cocoa swollen-shoot virus 42% within 2 years;i, 50-60% by third year
Saturday, July 23, 2011
Perjalanan ke World Cocoa Conference di Utrecht Belanda
Perjalanan ini berawal dari sebuah persentasi di kelas Agricultural and Rural Development University of Arkansas tentang perkembangan kakao masyarakat di Aceh. Persentasi itu sendiri menghabiskan waktu sekitar 40 menit di tambah dengan sesi jawab. Professor yang mengajar dikelas tersebut memang memberikan jasa konsultan untuk World Cocoa Foundation (WCF) untuk proyek kakao di Africa, khususnya Ghana dan Pantai Gading.
Setelah selesai persentasi, dia menanyakan kesediaan saya mewakili dia ke Konferensi kakao dunia di Belanda. Perjalanan pun dimulai dengan menumpang pesawat Delta Air ke Boston dan kemudian dilanjutkan ke Barajas Madrid dan Amsterdam menggunakan pesawat Iberia Airlines.
Hari pertama konferensi tersebut penuh dengan kejutan. Delegasi pemerintah Aceh yang diwakili oleh Ketua Bappeda PMU MDF untuk aceh, dan delegasi dari Swiss Contact hadir di konferensi tersebut. Disamping itu, konferensi yang dihadiri oleh 260 para pihak (Produser kakao, NGOs, Coklat Industri, Perwakilan pemerintah, dan lembaga keuangan) dari seluruh dunia membahas tentang issue-issue yang berkembang saat itu, seperti produksi kakao dunia, pemasaran, rantai komoditas kakao, konsumer trend, dan sustainability (keberlanjutan).
Panitia membagi program ke beberapa diskusi panel yang umumnya disampaikan oleh para pihak yang ahli dibidang kakao. Tentunya, disetiap sesi pemateri memberikan pandangan dan penemuan baru untuk pengembangan dan perbaikan kakao kedepan.
Diakhir konferensi hari kedua, Panitia membuat test rasa coklat. Walaupun sebagian besar peserta adalah “pemain” dibidang coklat, namun untuk membedakan rasa coklat berdasarkan Negara asal memang tidak mudah. Hanya sekitar 2-3 orang yang mampu membedakan rasa coklat. Article pertemuan tersebut dapat di unduh dari website World Cocoa Foundation (WCF) http://www.worldcocoafoundation.org/who-we-are/partnership-meeting-and-events.html
Bersambung: *Penyakit kakao
Setelah selesai persentasi, dia menanyakan kesediaan saya mewakili dia ke Konferensi kakao dunia di Belanda. Perjalanan pun dimulai dengan menumpang pesawat Delta Air ke Boston dan kemudian dilanjutkan ke Barajas Madrid dan Amsterdam menggunakan pesawat Iberia Airlines.
Hari pertama konferensi tersebut penuh dengan kejutan. Delegasi pemerintah Aceh yang diwakili oleh Ketua Bappeda PMU MDF untuk aceh, dan delegasi dari Swiss Contact hadir di konferensi tersebut. Disamping itu, konferensi yang dihadiri oleh 260 para pihak (Produser kakao, NGOs, Coklat Industri, Perwakilan pemerintah, dan lembaga keuangan) dari seluruh dunia membahas tentang issue-issue yang berkembang saat itu, seperti produksi kakao dunia, pemasaran, rantai komoditas kakao, konsumer trend, dan sustainability (keberlanjutan).
Panitia membagi program ke beberapa diskusi panel yang umumnya disampaikan oleh para pihak yang ahli dibidang kakao. Tentunya, disetiap sesi pemateri memberikan pandangan dan penemuan baru untuk pengembangan dan perbaikan kakao kedepan.
Diakhir konferensi hari kedua, Panitia membuat test rasa coklat. Walaupun sebagian besar peserta adalah “pemain” dibidang coklat, namun untuk membedakan rasa coklat berdasarkan Negara asal memang tidak mudah. Hanya sekitar 2-3 orang yang mampu membedakan rasa coklat. Article pertemuan tersebut dapat di unduh dari website World Cocoa Foundation (WCF) http://www.worldcocoafoundation.org/who-we-are/partnership-meeting-and-events.html
Bersambung: *Penyakit kakao
Monday, July 11, 2011
Wajarkah harga kakao diterima petani?
"Padum yum coklat nyoe (Berapa harga biji kakao ini)" Demikian tanya seorang petani kakao kepada penjual di Pasar kakao Paru. Lalu penjual pun memegang biji kakao untuk mengetahui kadar kering dan kadar kandungan air. "Nyan Rp.14,000 karena menteng basah, yang nyoe Rp. 18,000 karena ka tho (Yang ini Rp, 14,000 karena masih basah, yang ini Rp. 18,000 karena sudah kering". Inilah sedikit gambaran transaksi biji kakao di pasar. Si penjual tentu ingin menjual dengan harga yang mahal, sebaliknya pedagang ingin membeli dengan harga yang murah agar keuntungannya lebih besar.
Ada beberapa alasan yang diberikan pedagang agar bisa mendapat harga yang relatif murah ketika membeli biji kakao dari petani. Pertama, harga kakao sedang turun dari Medan (Patokan harga pedagang di Aceh sebelumnya). Kedua, kadar air masih tinggi dan pedagang perlu menjemurnya lagi. Dan Ketiga, kualitas kakao yang rendah karena serangan hama dan penyakit. Di beberapa daerah, khususnya di Aceh, pedagang kakao tidak hanya menunggu di tempat pengumpul, tapi juga keliling kampung untuk membeli kakao. Di Aceh terkenal dengan istilah "Mugee Coklat" untuk para pembeli kakao keliling. Pembeli ini menggunakan kenderaan roda dua dan dilengkapi dengan tempat penampung yang terbuat dari rotan yang diletakkan disebelah kiri dan kanan motor. Kelebihan "Mugee" adalah dapat menembus perkampungan-perkampungan yang masih terisolir dengan jalanan yang penuh lumpur.
Cocoa supply chain (rantai penjualan kakao)di Indonesia sangat panjang. Disetiap mata rantai tersebut, pedagang mengambil untung yang cukup lumayan. Menurut laporan USAID (2006) tentang mata rantai, ada 7 mata rantai yang harus dilalui untuk sampai ke pabrik pembuatan coklat dan konsumen coklat. Pertama adalah yang petani memproduksi biji kakao, kemudian pedagang lokal yang membeli biji kakao dengan kapasitas kecil seperti "mugee", kemudian dilanjutkan ke pedagang pengumpul lokal, exportir lokal, pedagang kakao multinational atau perusahaan-perusahaan besar pembeli biji kakao, perusahaan pemprosesan multinational, produsen kakao multinational, dan akhirnya pembeli coklat. Bisa di bayangkan, kalau setiap tahapan mengambil untung Rp. 1,000 per kg, yang diterima petani tentu sangat kecil. Belum lagi di tambah pajak eksport yang umumnya di bebankan ke petani.
Mari kita lihat bagaimana harga kakao dunia ditentukan. Menurut UNCTAD(n.d), sebuah lembaga dari PBB untuk perdagangan dan pembangunan, harga kakao ditentukan oleh tingkat permintaan dan penawaran. Biasanya, harga kakao turun ketika musim panen dan kemudian stagnan. UNCTAD (n.d) menambahkan, penurunan harga yang berterusan membuat petani beralih mengganti ke tanaman yang lain dan pada akhirnya kembali meningkatkan harga kakao. Disisi yang lain, konflik yang berkepanjangan dan pelarangan ekspor kakao dinegara produser kakao seperti Pantai Gading telah berakibat pada meningkatkannya harga kakao dunia sebesar 6.2 persen ke harga USD 3,393 per ton(The Guardian, 2011).
Merujuk pada data IMFstatistic (n.d) sejak tahun 1985 - 2010 untuk Pasar komoditas New York, harga kakao dunia terus meningkat dengan kenaikan rata-rata sekitar 3 persen. Kenaikan paling tinggi yang pernah terjadi pada periode tersebut adalah sebesar 63.46% dan juga pernah turun sebesar 32.28 persen. Namun, untuk lima tahun terakhir dari tahun 2005-2010, kenaikan harga kakao rata-rata 16%, tertinggi 31%, dan terendah 3%.
Dilihat dari data IMFstatistc, harga kakao dunia terus melambung tinggi. Saat ini, harga jual ditingkat petani untuk 3 hari jemur atau kadar air dibawah 8% adalah Rp.18,000 - Rp.20.000. Kalau dihitung dengan harga kakao dunia, petani menikmati kurang dari 60% dari harga kakao dunia. Sedangkan pedagang, yang tergabung dalam mata rantai penjualan kakao, menikmati sekitar 40%. Wajarkah harga yang diterima petani? Wallahualam Bissawab.
*Bersambung: Perjalanan ke World Cocoa Conference di Utrecht, Belanda.
** Gambar dari the President Post
Friday, July 8, 2011
Seberapa sering petani kakao mencicipi coklat? * Siapa sebenarnya yang menikmati coklat?
Seorang petani kakao bertanya kepada saya sekitar 10 tahun yang lalu “kiban rasa coklat nyan teuma?” (Bagaimana rasa coklat itu?)”. Susah untuk mendiskripsikan bagaimana rasa coklat tanpa memberi dia kesempatan untuk mencicipi. Sungguh suatu pertanyaan yang ironi. Tapi, itulah sebuah kenyataan hidup, sebagian besar petani kakao memang tidak pernah merasa bagaimana lezat nya rasa coklat. Pertanyaan tersebut masih tersimpan “indah” dalam memori saya sampai hari dan mungkin sampai esok hari.
Diakui atau tidak bagi sebagian masyarakat di negara-negara berkembang khususnya bagi petani kakao, coklat bisa dikategorikan sebagai bahan mewah. Saking mewahnya petani kakao hanya menanam, memetik, menjemur, dan menjual biji kering. Harga produk coklat dengan ukuran yang kecil seperti ice cream berkisar antara Rp. 5,000 – Rp. 20,000. Dengan harga sebesar itu, petani tentu akan lebih untuk membeli beras, telur, dan ikan asin yang bisa dimasak untuk dua hari dan dinikmati oleh seluruh anggota keluarga.
Dibalik semua itu, kakao yang diproduksi di negara-negara tropis seperti Indonesia, Pantai Gading dan Ghana umumnya di kirim ke Eropa dan Amerika. Saat ini, konsumsi kakao dunia telah meningkat secara signifikan. Menurut Association of the Chocolate, Biscuit and Confectionery Industries of the E.U. (CAOBISCO) and the International Confectionery Association (ICA) (n.d), Kakao umumnya dikonsumsi dalam bentuk kembang gula coklat, biskuit, es krim, atau dalam bentuk produk makanan yang mengandung coklat bubuk seperti minuman, kue, makanan ringan, dan lain-lain. Sepuluh Negara terbesar pengkonsumsi coklat dalam bentuk olahan adalah Amerika serikat, Jerman, Inggris, Brazil, Perancis, Jepang, Italy, Polandia, Spanyol, dan Australia.
Disamping itu, CAOBISCO dan ICA (n.d) mencatat beberapa negara pengkonsumsi coklat per kapita terbesar berdasarkan jumlah bji kakao per kg per tahun adalah sebagai berikut; Masyarakat Belgia merupakan pengkonsumsi coklat terbesar didunia dengan jumlah rata-rata 5.5 kg per kapita dan kemudian di ikuti oleh penduduk Swiss dengan tingkat konsumsi rata-rata 4.4 kg. Masyarakat dari negara seperti Irlandia, Perancis, Australia, Jerman, Norwegia, Inggris dan Denmark mengkonsumsi coklat rata-rata antara 3.39 kg to 3.88 kg per kapita. Sedangkan Amerika serikat tercatat mengkonsumsi coklat lebih moderat dibandingkan orang-orang Eropa dengan jumlah rata-rata 2.5 kg per kepala.
Dilihat dari data yang ada, perbedaan dalam mengkonsumsi coklat sungguh seperti jarak antara langit dan bumi. Jangan kan mengkonsumsi setengah kilogram coklat, petani kakao kita mencicipinya pun hampir tidak pernah. Disatu sisi, kebijakan pemerintah menetapkan pajak export kakao telah menurunkan harga jual di tingkat petani. Disisi yang lain pemerintah ingin memotivasi pengusaha untuk memproduksi coklat siap konsumsi di dalam negeri. Akankan kebijakan ini lebih menjauhkan petani kakao untuk mencicipi coklat? Apakah jarak antara pengkonsumsi coklat di Eropa akan akan lebih lebar dengan di dalam negari? Atau apakah kebijakan tersebut membuat petani kakao jauh lebih susah hidupnya? Wallahualam Bissawab.
*Bersambung: Harga kakao dunia, perjalanan ke World Cocoa Conference di Utrecht Belanda Pada May 2010, Penyakit kakao, Pupuk dan naungan, kakao organik.
** Gambar dari www.umassmed.edu
Thursday, July 7, 2011
Produksi Kakao Dunia
Kakao umumnya diproduksi dan di jual oleh para petani dalam bentuk biji kering. Setelah buah dipetik dan dikeluarkan biji dari buah kakao, kemudian biji tersebut di fermentasi dan di jemur selama tiga hari atau sampai kering dengan kadar air kurang dari 7%. Saat ini, produksi kakao telah meningkat tajam sejak awal abad ke 20. Menurut catatan Urquhart (1955), produksi kakao dunia hanya sekitar 100,000 tons pada tahun 1900 dan kemudian meningkat dua kali lipat ke 200,000 sepuluh tahun kemudian. Pada periode 1918 sampai 1923, setiap tahunnya kakao di produksi rata-rata sekitar 395,000 ton dan kemudian meningkat 692,000 antara tahun 1934-1939. Produksi kakao dunia terus naik ke 600,000 tons pada 1945, dan kemudian menembus angka 1.9 juta ton atau naik sekitar 310 persen (Wood, 2001).
Pada periode 1970/71, 78 persen kakao dunia di produksi hanya oleh lima negara antara lain Ghana, Nigeria, Brazil, Pantai Gading dan Cameroon. Lima belas tahun kemudian, atau pada periode 1985/86, Negara utama produksi kakao sedikit berubah, saat itu Pantai Gading memimpin diurutan pertama, kemudia diikuti Brazil, Ghana, Nigeria, and Cameroon dengan produksi dari lima Negara tersebut sekitar 72 persen dari total produksi dunia (Wood, 2001).
Saat ini, Indonesia telah muncul sebagai Negara produksi kakao terbesar kedua terbesar didunia setelah Pantai Gading. Selama tahun 2000, Pantai Gading memproduksi sekitar 1.4 juta tons dan sedikit berfluktuasi sampai akhirnya turun ke 1.2 juta ton pada tahun 2009. Sebaliknya, Indonesia terus dapat meningkatkan produksi kakao dari 421,142 tons pada tahun 2000 ke 800,000 tons di tahun 2009. Dua negara tersebut masing-masing menguasai 30 dan 20 persen dari produksi kakao dunia FAO (n.d).
Data ini menunjukkan keseriusan petani dan pemerintah Indonesia dalam mengusahakan kakao. Berbagai program pemerintah telah mampu mendorong peningkatan hasil yang cukup menggembirakan. Namun demikian, pemerintah perlu terus mempromosikan bidang ini agar menjadi salah satu sektor unggulan komoditi dari Indonesia. Salah satunya adalah dengan memberikan subsidi berupa pupuk dan bantuan keungan mikro. Disamping itu, perlunya adanya transfer pengetahuan dan teknologi terbaru melalui penyuluh pertanian. Untuk itu, pemilihan penyuluh pertanian harus didasari pada kompetensi dalam penguasaan bidang kakao seperti pengetahuan tentang proses penanaman, perawatan, pengendalian hama dan penyakit, dan kemauan untuk terjun langsung ke perkebunan kakao rakyat, bukan kemauan untuk duduk dikantor dan menerima numerasi pada akhir bulan tanpa beban dan lelah.
*Bersambung: konsumsi kakao dunia, perjalanan ke World Cocoa Conference di Utrecht Belanda Pada May 2010, Harga kakao dunia, Penyakit kakao, Pupuk dan naungan, kakao organik.
Wednesday, July 6, 2011
Daerah pembudidayaan kakao
Kakao mempunyai persyaratan yang unik untuk dibudidaya. Ia hanya dapat di tumbuh di wilayah tropis dan sub-tropis atau tepatnya 20 derjat ke utara dan 20 derjat ke selatan dari garis khatulistiwa. Namun,International Cocoa Organization (ICCO) (n.d)mencatat kalau dapat dibudidayakan pada 10 derjat Utara dan 10 derjat selatan dari ekuator.
Kakao juga memerlukan curah hujan yang tinggi antara 1,500 mm and 2,000 mm per tahun. Musim kemarau dimana curah hujan kurang dari 100 mm per bulan tidak sesuai untuk kakao. Demikian juga dengan suhu udara, kakao memerlukan suhu minimum 18-21 derjat Celcius dan Maximum 30-32 derjat celcius dengan tingkat kelembabab sebanyak 100 persen pada siang hari dan 70-80 persent di malam hari(ICCO, n.d). Dengan syarat tersebut, hampir semua wilayah di Indonesia sesuai untuk dibudidayakan kakao kecuali didataran tinggi. Namun, kondisi tanah juga harus diperhatikan ketika ingin membudidayakan kakao.
Menurut catatan statistik FAO (n.d) saat ini ada sekitar 59 negara yang memproduksi kakao baik yang berskala besar dan kecil. Indonesia tercatat sebagai salah satu negara yang memproduksi kakao kedua terbesar di dunia setelah Pantai Gading. Selanjutnya diikuti oleh Ghana, Nigeria, Brazil, Cameroon, dan Ecuador di posisi ke tujuh.
*Bersambung: Produksi dan konsumsi kakao dunia, perjalanan ke World Cocoa Conference di Utrecht Belanda Pada May 2010, Harga kakao dunia, Penyakit kakao, Pupuk dan naungan, kakao organik.
** Photo dari www.commodityalmanac.com
Tuesday, July 5, 2011
Sejarah dan Perkembangan Kakao dunia
Bagi sebagian orang, baik anak-anak maupun orang dewasa, coklat merupakan salah satu makanan yang paling disukai. Coklat yang berbahan dasar kakao atau cocoa dapat di proses ke dalam berbagai bentuk makanan dan minuman seperti coklat batang, minuman rasa coklat, biscuit dan kue yang berisi coklat, dan masih banyak lagi makanan olahan yang mengandung coklat. Disamping itu, coklat juga dijadikan sebagai hadiah di hari special seperti ulang tahun, valentine, tahun baru, natal, dan hari-hari special lainnya.
Taukan kita, bahwa kakao sebenarnya berasal dari lembah Amazon. Tanaman ini berasal dari jenis Theobroma yang tumbuh liar di hutan hujan di Amerika tengah dan Selatan. Suku Indian Maya menggunakan kakao di cumpur dengan jagung tumbuk dan air untuk dijadikan sebagai minuman (Urquhart, 1955). Kakao juga dianggap sebagai "makanan para tuhan" oleh suku Olmec dan Maya (UNCTAD, n.da). Yang sangat menarik adalah kakao juga sempat digunakan sebagai mata uang pada masa peradaban Amerika Selatan dimana 10 biji kakao dapat digunakan untuk membeli seekor kuda (World Cocoa Foundation, n.d).
Setelah Christopher Columbus mengunjung Amerika Selatan, ia membawa sample biji kakao ke Eropa sebagai rasa ingin tau. 20 tahun kemudian, Hernando Cortes menemukan nilai komersial dari biji kakao tersebut. Selanjutnya, untuk menemukan rasa yang lebih nikmat, Orang-orang Spanyol memanaskan dan mencumpur nya dengan gula dan susu. Spanyol juga tercatat sebagai negara pertama yang memperkenalkan kakao ke Eropa. Pada awal abad ke 17, minuman dari kakao sangat terkenal di Italy dan Prancis, dan kemudian di Belanda, Jerman, dan Ingris. Namun pada saat itu, minuman dari kakao dibatasi dan hanya dapat dinikmati oleh golongan berpunya Hardy, 1960).
Sejak itu, permintaan biji kakao meningkat tajam dan pembudidayaan kakao pun juga semakin diperluas ke beberapa wilyah baru seperti Karibia, Amerika tengah dan selatan, Asia, dan Afrika. Pada abad ke 16, Venezuela tercatat sebagai negara pertama yang membududayakan kakao. Selain itu, Jamaika juga menanam kakao Pada tahun 1670. Namun, tidak diketahui kapan persis nya kakao di tanam di Trinidad. Bibit type Criollo diyakini dari Venezuela diperkenalkan di Trinidad pada tahun 1678 (Wood, 2001). Setalah itu, Kakao kemudian dibawa Philippines pada tahun 1600 dan dari sana ia disebar ke Sulawesi dan Jawa dan kemudian ke Sri Lanka and India (Ratnam Seperti dikutip Wood, 2001).
Pembudidayaan kakao di negara bagian Bahia Brazil yang diambil dari tipe Amelonado liar di Guiana, diperkenalkan pertama pada tahun 1746 oleh seorang pengusaha perkebunan Perancis yang membawa benih dari negara bagian State Para. Dari sana Benih dibawa ke Sao Tome pada tahun 1822 dan kemudian dibawa Fernando Po pada tahun 1855 dan selanjutnya dilanjutkan ke Ghana and Nigeria (Wood, 2001).
*Bersambung: Daerah pembudidayaan kakao, produksi dan konsumsi kakao dunia, dan perjalanan ke World Cocoa Conference di Utrecht Belanda Pada May 2010.
Monday, May 23, 2011
"One death is a tragedy; a million is a statistic." in driving context.
A well known quote from Joseph Stalin, "One death is a tragedy; a million is a statistic." is appropriate to describe how dreadful each traffic accident is. It could happen to anyone, anywhere and anytime. For some people who lost their family members, traffic accident is considered as an unacceptable fate and tragedy. But for Police department, it is not only a statistical number that should be reported in an annual report, but also an additional case that should be resolved.
Almost every day, mass media serves us with “vulgar” information and images on traffic accident. A few example reported on Serambi Indonesia such as “traffic accident, 3 death and 9 injured” (May 22, 2011), “Pijay’s woman death hit by car” (May 14, 2011). There is much more similar information which is reported on mass media. We might have hundreds of questions on this issue. They may include several basic questions as follow: Why do traffic accidents easily happen in our province compare to other province or state? What are the factors that cause them? Does civilization have a profound effect to abide the traffic signs?
This short article may not be able to answer all the above mention questions; at least, it tries to address several causes and policy interventions. According to Aceh Police Chief Iskandar Hasan, the number of traffic violations in 2009 was 41.129 cases. Whereas, the traffic accident cases recorded as much as 622 cases, where 511 people died, 411 had minor injured, and 577 were seriously injured. Similarly, in 2010, Police department recorded traffic violations were 41.278 cases, traffic accidents were 806 cases; 639 people died, 524 had minor injured, and 649 were seriously injured (Waspada Online, 23 April 2011). Stalin was right; the number of traffic accidents is just a statistical data which compare the number of previous and current year accident even though he did not say exact word on this issue. Regardless to say, although some prevention methods have been implemented, the number of accident keeps growing.
We may revisit some factors that cause the traffic violations and accidents. First, increasing number of new motorcycles and cars in Aceh is not balanced with the widening or building new road. As reported in Serambi Indonesia (07/01/2010), the additional new motorcycles and cars were as many as 123.496 units. Motorcycles alone recorded the sale 120.341 units. But, the new road has not been built accordingly.
Second, new technology devices also contribute positively to increase the traffic accidents. We might have seen some people were texting and reading text messaging while driving. This behavior increases distraction and concentration. A new study found that the collision risk was 23 times greater when the drivers texted than not texting (Richtelm M, NYtimes July 27, 2009).
Third is speeding and traffic signs. Even though the road in Aceh is not quite wide and divides into two traffics, speeding is a common view. We witness how night bus service is driven at the speed more than 100 – 120 KM/Hour. A small distraction can lead to a fatal accident. Moreover, street racing among the youth also happen everywhere. It does not only disturb the motorists but also the community along the road side. Regarding the traffic signs, many people also violate the traffic through running the red lights. The author has also never seen the stop sign installed at the junctions.
Fourth, pothole is also another important factor that causes accident. The road quality in Aceh is appropriately to be questioned. Many potholes can be found on the state and provincial roads even after few months of construction. In some places, the villagers plant a banana tree on the road to express their anger to the road quality. Also, it takes longer time to fix the potholes.
Fifth, animal crossing. Along the state and provincial roads either in urban or rural area, animal crossing is a familiar view. In fact, they are not the wild animals, but the cattle that are grassing along the road sides. Many people never expect when the animals cross the road, therefore they are unable to avoid the accident. In several district such as Pidie and Pidie Jaya, people named the district as “the longest barn” because the cattle grasses on the side road all day long. Perhaps, Gade Salam head of Pidie Jaya district was desperate with the cattle, until finally he shot to death 2 cows.
Six, an inappropriate behavior of young man and young couple also contributes to the accident. Sulaiman Tripa (Serambi Indonesia, March 3, 2010) wrote that coupling style of young couple while driving, especially on motorcycle, tends to touch “The secret” of each other. He also added that juvenile delinquency is more prevalent and whoever has the “power” will dominate the road.
Finally, according to seriousaccidents.com, there are some other factors that cause the accident such as reckless driving, rain, drunk driving, teenagers driving, night driving, design defects, unsafe lane change, wrong-way driving, improper turn, tailgating, under drug influencing, ice, snow, road rage, drowsy driving, tire blowout, fog, and deadly curve. The author will not go into detail to discuss those factors. Some factors are not applicable in our province.
Ying and Kim (2003) proposed several policy interventions such as enforcement of penalties for seven risky driving behaviors, including drunk driving and speeding, installation of traffic-monitoring cameras, financial rewards for citizens who reported traffic violations, introduction of a road safety evaluation system, correction of accident black spots in existing roads, and road safety education programs.
We believe that law enforcement is not only necessary toward a civilize traffic, but also essential to minimize the number of traffic accident. But, we also want the rules should also be applied to whoever wants to obtain the driving license, such as by going through the written and road tests. The real action to promote safety driving by police department, through socialization at high school level, giving away the helmet, and others, should be given high appreciation. To be more professional, the police should also be equipped with the radar which is able to detect the speed limit violators and capacity building. After all, all traffic violation cases should not be solved personally on the spot without going through the court process. We also encourage the government to balance the infrastructure development with additional new cars and seriously implement the qanun on uncared cattle. Finally, with the consideration of traffic accidents, the author strongly supports the plan to build the high way from Banda Aceh – Medan.
Almost every day, mass media serves us with “vulgar” information and images on traffic accident. A few example reported on Serambi Indonesia such as “traffic accident, 3 death and 9 injured” (May 22, 2011), “Pijay’s woman death hit by car” (May 14, 2011). There is much more similar information which is reported on mass media. We might have hundreds of questions on this issue. They may include several basic questions as follow: Why do traffic accidents easily happen in our province compare to other province or state? What are the factors that cause them? Does civilization have a profound effect to abide the traffic signs?
This short article may not be able to answer all the above mention questions; at least, it tries to address several causes and policy interventions. According to Aceh Police Chief Iskandar Hasan, the number of traffic violations in 2009 was 41.129 cases. Whereas, the traffic accident cases recorded as much as 622 cases, where 511 people died, 411 had minor injured, and 577 were seriously injured. Similarly, in 2010, Police department recorded traffic violations were 41.278 cases, traffic accidents were 806 cases; 639 people died, 524 had minor injured, and 649 were seriously injured (Waspada Online, 23 April 2011). Stalin was right; the number of traffic accidents is just a statistical data which compare the number of previous and current year accident even though he did not say exact word on this issue. Regardless to say, although some prevention methods have been implemented, the number of accident keeps growing.
We may revisit some factors that cause the traffic violations and accidents. First, increasing number of new motorcycles and cars in Aceh is not balanced with the widening or building new road. As reported in Serambi Indonesia (07/01/2010), the additional new motorcycles and cars were as many as 123.496 units. Motorcycles alone recorded the sale 120.341 units. But, the new road has not been built accordingly.
Second, new technology devices also contribute positively to increase the traffic accidents. We might have seen some people were texting and reading text messaging while driving. This behavior increases distraction and concentration. A new study found that the collision risk was 23 times greater when the drivers texted than not texting (Richtelm M, NYtimes July 27, 2009).
Third is speeding and traffic signs. Even though the road in Aceh is not quite wide and divides into two traffics, speeding is a common view. We witness how night bus service is driven at the speed more than 100 – 120 KM/Hour. A small distraction can lead to a fatal accident. Moreover, street racing among the youth also happen everywhere. It does not only disturb the motorists but also the community along the road side. Regarding the traffic signs, many people also violate the traffic through running the red lights. The author has also never seen the stop sign installed at the junctions.
Fourth, pothole is also another important factor that causes accident. The road quality in Aceh is appropriately to be questioned. Many potholes can be found on the state and provincial roads even after few months of construction. In some places, the villagers plant a banana tree on the road to express their anger to the road quality. Also, it takes longer time to fix the potholes.
Fifth, animal crossing. Along the state and provincial roads either in urban or rural area, animal crossing is a familiar view. In fact, they are not the wild animals, but the cattle that are grassing along the road sides. Many people never expect when the animals cross the road, therefore they are unable to avoid the accident. In several district such as Pidie and Pidie Jaya, people named the district as “the longest barn” because the cattle grasses on the side road all day long. Perhaps, Gade Salam head of Pidie Jaya district was desperate with the cattle, until finally he shot to death 2 cows.
Six, an inappropriate behavior of young man and young couple also contributes to the accident. Sulaiman Tripa (Serambi Indonesia, March 3, 2010) wrote that coupling style of young couple while driving, especially on motorcycle, tends to touch “The secret” of each other. He also added that juvenile delinquency is more prevalent and whoever has the “power” will dominate the road.
Finally, according to seriousaccidents.com, there are some other factors that cause the accident such as reckless driving, rain, drunk driving, teenagers driving, night driving, design defects, unsafe lane change, wrong-way driving, improper turn, tailgating, under drug influencing, ice, snow, road rage, drowsy driving, tire blowout, fog, and deadly curve. The author will not go into detail to discuss those factors. Some factors are not applicable in our province.
Ying and Kim (2003) proposed several policy interventions such as enforcement of penalties for seven risky driving behaviors, including drunk driving and speeding, installation of traffic-monitoring cameras, financial rewards for citizens who reported traffic violations, introduction of a road safety evaluation system, correction of accident black spots in existing roads, and road safety education programs.
We believe that law enforcement is not only necessary toward a civilize traffic, but also essential to minimize the number of traffic accident. But, we also want the rules should also be applied to whoever wants to obtain the driving license, such as by going through the written and road tests. The real action to promote safety driving by police department, through socialization at high school level, giving away the helmet, and others, should be given high appreciation. To be more professional, the police should also be equipped with the radar which is able to detect the speed limit violators and capacity building. After all, all traffic violation cases should not be solved personally on the spot without going through the court process. We also encourage the government to balance the infrastructure development with additional new cars and seriously implement the qanun on uncared cattle. Finally, with the consideration of traffic accidents, the author strongly supports the plan to build the high way from Banda Aceh – Medan.
Tuesday, January 11, 2011
REDD+ dan Peluang Indonesia
Issue REDD+ (Reduction Emission from Deforestation and Forest Degradation +) atau pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan ramai dibicarakan selama COP16 di Cancun, Mexico. Issue global ini di bahas mulai dari pertemuan tingkat tinggi, forest day, world climate summit, side events, dan juga sampai konferensi para pemuda.
Menurut UN-REDD program, deforestasi dan degradasi hutan terjadi akibat perluasan areal pertanian, pembalakan liar, konversi hutan menjadi padang rumput untuk pengembalaan ternak, pembangunan infrastruktur, perambahan dan perusakan hutan, kebakaran, dan lain sebagainya. Diperkirakan, kegiatan di atas menyumbang hampir 20% dari total emisi gas rumah kaca global. Oleh karena itu, banyak pihak memandang keberlangsungan hutan adalah sebagai salah satu faktor kunci untuk mengurangi emisi gas rumah kaca.
Para ilmuan telah menawarkan beberapa alternative penyelesaian masalah deforestasi dan degradasi hutan, walaupun konsep penyelesaian yang ada tidak komprehensif dan memerlukan penelitian lebih lanjut. Paling tidak, tawaran tersebut dapat dijadikan langkah awal untuk meminimalkan deforestasi dan degradasi hutan. Tawaran tersebut antara lain penguatan masyarakat yang tinggal di sekitar hutan, managemen hutan adat, pencabutan izin HPH, peningkatan sumber penghasilan masyarakat, dan lain sebagainya.
Disatu sisi, dukungan untuk mengurangi deforestasi dan degradasi hutan sangat besar di COP16. Banyak negara maju berkomitment mendanai proyek-project REDD+ di negara-negara berkembang seperti yang tertuang dalam Cancun agreement. Perjanjian ini menyepakati penyediaan dana sebesar 100 miliar dollar Amerika untuk jangka panjang hingga 2020 dan 30 milliar dollar sebagai dana awal hingga 2012 untuk aksi perubahan iklim di negara berkembang. Disisi yang lain juga perlu adanya perjanjian yang mengikat antara negara yang terlibat di COP16 untuk pemeliharaan dan penjagaan hutan jangka panjang.
Menurut Prof (hon) Ir. Rachmat Witoelar, Ketua Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) mengatakan, Indonesia layak mendapatkan dana tersebut mengingat luasnya hutan hujan yang dimiliki Indonesia. Peluang ini harus betul-betul dapat dimanfaatkan oleh Indonesia untuk mengurangi dampak deforestasi dan degradasi hutan seperti membuat project-project penguatan kapasitas masyarakat yang tinggal disekitar hutan dan juga peningkatan sumber penghidupan mereka, reboisasi, dan sebagainya. Namun demikian, dana perubahan iklim juga harus dipastikan tepat sasaran dan mencapai target seperti yang direncanakan. Jangan sampai dana tersebut menguap ke pihak-pihak yang tidak berhak.
Menurut UN-REDD program, deforestasi dan degradasi hutan terjadi akibat perluasan areal pertanian, pembalakan liar, konversi hutan menjadi padang rumput untuk pengembalaan ternak, pembangunan infrastruktur, perambahan dan perusakan hutan, kebakaran, dan lain sebagainya. Diperkirakan, kegiatan di atas menyumbang hampir 20% dari total emisi gas rumah kaca global. Oleh karena itu, banyak pihak memandang keberlangsungan hutan adalah sebagai salah satu faktor kunci untuk mengurangi emisi gas rumah kaca.
Para ilmuan telah menawarkan beberapa alternative penyelesaian masalah deforestasi dan degradasi hutan, walaupun konsep penyelesaian yang ada tidak komprehensif dan memerlukan penelitian lebih lanjut. Paling tidak, tawaran tersebut dapat dijadikan langkah awal untuk meminimalkan deforestasi dan degradasi hutan. Tawaran tersebut antara lain penguatan masyarakat yang tinggal di sekitar hutan, managemen hutan adat, pencabutan izin HPH, peningkatan sumber penghasilan masyarakat, dan lain sebagainya.
Disatu sisi, dukungan untuk mengurangi deforestasi dan degradasi hutan sangat besar di COP16. Banyak negara maju berkomitment mendanai proyek-project REDD+ di negara-negara berkembang seperti yang tertuang dalam Cancun agreement. Perjanjian ini menyepakati penyediaan dana sebesar 100 miliar dollar Amerika untuk jangka panjang hingga 2020 dan 30 milliar dollar sebagai dana awal hingga 2012 untuk aksi perubahan iklim di negara berkembang. Disisi yang lain juga perlu adanya perjanjian yang mengikat antara negara yang terlibat di COP16 untuk pemeliharaan dan penjagaan hutan jangka panjang.
Menurut Prof (hon) Ir. Rachmat Witoelar, Ketua Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) mengatakan, Indonesia layak mendapatkan dana tersebut mengingat luasnya hutan hujan yang dimiliki Indonesia. Peluang ini harus betul-betul dapat dimanfaatkan oleh Indonesia untuk mengurangi dampak deforestasi dan degradasi hutan seperti membuat project-project penguatan kapasitas masyarakat yang tinggal disekitar hutan dan juga peningkatan sumber penghidupan mereka, reboisasi, dan sebagainya. Namun demikian, dana perubahan iklim juga harus dipastikan tepat sasaran dan mencapai target seperti yang direncanakan. Jangan sampai dana tersebut menguap ke pihak-pihak yang tidak berhak.
Subscribe to:
Posts (Atom)