Monday, July 11, 2011

Wajarkah harga kakao diterima petani?


"Padum yum coklat nyoe (Berapa harga biji kakao ini)" Demikian tanya seorang petani kakao kepada penjual di Pasar kakao Paru. Lalu penjual pun memegang biji kakao untuk mengetahui kadar kering dan kadar kandungan air. "Nyan Rp.14,000 karena menteng basah, yang nyoe Rp. 18,000 karena ka tho (Yang ini Rp, 14,000 karena masih basah, yang ini Rp. 18,000 karena sudah kering". Inilah sedikit gambaran transaksi biji kakao di pasar. Si penjual tentu ingin menjual dengan harga yang mahal, sebaliknya pedagang ingin membeli dengan harga yang murah agar keuntungannya lebih besar.

Ada beberapa alasan yang diberikan pedagang agar bisa mendapat harga yang relatif murah ketika membeli biji kakao dari petani. Pertama, harga kakao sedang turun dari Medan (Patokan harga pedagang di Aceh sebelumnya). Kedua, kadar air masih tinggi dan pedagang perlu menjemurnya lagi. Dan Ketiga, kualitas kakao yang rendah karena serangan hama dan penyakit. Di beberapa daerah, khususnya di Aceh, pedagang kakao tidak hanya menunggu di tempat pengumpul, tapi juga keliling kampung untuk membeli kakao. Di Aceh terkenal dengan istilah "Mugee Coklat" untuk para pembeli kakao keliling. Pembeli ini menggunakan kenderaan roda dua dan dilengkapi dengan tempat penampung yang terbuat dari rotan yang diletakkan disebelah kiri dan kanan motor. Kelebihan "Mugee" adalah dapat menembus perkampungan-perkampungan yang masih terisolir dengan jalanan yang penuh lumpur.

Cocoa supply chain (rantai penjualan kakao)di Indonesia sangat panjang. Disetiap mata rantai tersebut, pedagang mengambil untung yang cukup lumayan. Menurut laporan USAID (2006) tentang mata rantai, ada 7 mata rantai yang harus dilalui untuk sampai ke pabrik pembuatan coklat dan konsumen coklat. Pertama adalah yang petani memproduksi biji kakao, kemudian pedagang lokal yang membeli biji kakao dengan kapasitas kecil seperti "mugee", kemudian dilanjutkan ke pedagang pengumpul lokal, exportir lokal, pedagang kakao multinational atau perusahaan-perusahaan besar pembeli biji kakao, perusahaan pemprosesan multinational, produsen kakao multinational, dan akhirnya pembeli coklat. Bisa di bayangkan, kalau setiap tahapan mengambil untung Rp. 1,000 per kg, yang diterima petani tentu sangat kecil. Belum lagi di tambah pajak eksport yang umumnya di bebankan ke petani.

Mari kita lihat bagaimana harga kakao dunia ditentukan. Menurut UNCTAD(n.d), sebuah lembaga dari PBB untuk perdagangan dan pembangunan, harga kakao ditentukan oleh tingkat permintaan dan penawaran. Biasanya, harga kakao turun ketika musim panen dan kemudian stagnan. UNCTAD (n.d) menambahkan, penurunan harga yang berterusan membuat petani beralih mengganti ke tanaman yang lain dan pada akhirnya kembali meningkatkan harga kakao. Disisi yang lain, konflik yang berkepanjangan dan pelarangan ekspor kakao dinegara produser kakao seperti Pantai Gading telah berakibat pada meningkatkannya harga kakao dunia sebesar 6.2 persen ke harga USD 3,393 per ton(The Guardian, 2011).

Merujuk pada data IMFstatistic (n.d) sejak tahun 1985 - 2010 untuk Pasar komoditas New York, harga kakao dunia terus meningkat dengan kenaikan rata-rata sekitar 3 persen. Kenaikan paling tinggi yang pernah terjadi pada periode tersebut adalah sebesar 63.46% dan juga pernah turun sebesar 32.28 persen. Namun, untuk lima tahun terakhir dari tahun 2005-2010, kenaikan harga kakao rata-rata 16%, tertinggi 31%, dan terendah 3%.

Dilihat dari data IMFstatistc, harga kakao dunia terus melambung tinggi. Saat ini, harga jual ditingkat petani untuk 3 hari jemur atau kadar air dibawah 8% adalah Rp.18,000 - Rp.20.000. Kalau dihitung dengan harga kakao dunia, petani menikmati kurang dari 60% dari harga kakao dunia. Sedangkan pedagang, yang tergabung dalam mata rantai penjualan kakao, menikmati sekitar 40%. Wajarkah harga yang diterima petani? Wallahualam Bissawab.

*Bersambung: Perjalanan ke World Cocoa Conference di Utrecht, Belanda.
** Gambar dari the President Post

No comments:

Post a Comment