Sunday, January 31, 2010
Mengeksplorasi Amerika: Arkansas – Oklahoma – Texas – Kansas - Colorado Part II
Part II: Menjelajahi Oklahoma.
Sebelum memulai perjalanan kami, pagi itu kami melakukan pemeriksaan terakhir semua barang-barang yang akan dibawa. Kami maunya well-prepared, jadi ngak ada yang tertinggal nantinya. Semua barang kami masukkan ke bagasi mobil dan sebagian lagi seperti cemilan dan air kami letakkan di kursi belakang, agar lebih mudah diambil kalau kepingin makan.
Untuk perjalanan yang panjang ini, bantuan GPS mutlat diperlukan untuk mendeteksi jalan-jalan terpendek yang akan dilewati. Pagi itu, Suci perperan sebagai pengemudi utama. Sedangkan Bang Azka duduk di belakang dan saya duduk di kursi depan disamping kemudi. Saat itu, saya baru punya permit, jadi tidak bisa mengemudi tanpa didampingi oleh orang yang telah berumur lebih dari 21 tahun dan lebih dari satu tahun mempunyai SIM Amerika. Jadinya saya berperan sebagai navigator (pembantu penunjuk jalan – termasuk mengoperasikan GPS).
Tujuan awal kami adalah Dallas, karena kami ingin mengunjungi seorang warga Aceh yang tinggal di sana. Saya coba hubungi pagi itu, telponnya ngak ada yang akan. Jadinya, kami putuskan arah GPS nya ke Dallas, kalau nanti di Jalan ada berita baru, kami akan mengarahkan ke Alamatnya.
Perjalanan kami mengikuti arah Fort-Smith – Tulsa – Oklahoma City, kota pertama masih berada di Negara bagian Arkansas, sedangkan yang kedua dan ketiga berada di Negara bagian Oklhahoma. Perjalanan pagi itu memang terasa menyenangkan, terlebih tidak banyak kenderaan yang lalu lalang, mungkin hari itu adalah hari Sabtu hari dimana banyak orang libur dari bekerja. Selama dalam perjalanan, kami hanya melihat pepehonan yang sudah ditinggal oleh daun-daunnya. Pohon tersebut semunya berdiri seperti pohon kering yang sudah mati. Seperti tidak ada kehidupan yang menggairahkan, karena semua daun-daun yang berada dipohon-pohon itu telah gugur ke bumi.
Sebagai gantinya, kami nyalakan music sepanjang perjalanan dengan mengandalkan sumber dari Iphone dan radio. Tiba-tiba Suci nyelutuk “eh…. Ada CD musik tu dipinjamin Yuri (kawan suci, kawan kami juga, peranakan Indonesia - Jepang), music Indonesia lagi” Kata Yuri "pasti bosan dalam perjalanan 10 hari ngak ada musik" demikian sambung Suci. Saya mulai memasang lagu Indonesia, rupanya cukup terhibur dan juga sambil menikmati cemilan, buah, dan kopi dari Panera Bread Cafe (sebuah nama cafe tempat Suci membeli kopi).
Memasuki wilayah Oklahoma, kami udah merasakan suasana yang agak lain. Jalannya udah mulai sempit, sebagian sedang dalam proses perbaikan. Kami bercerita tentang keadaan Negara bagian ini, mungkin Negara bagian yang satu ini masih miskin, atau termiskin di Amerika. Itu cuma dari pandangan kami aja.
Makin jauh perjalanan itu, makin terlihat jelas perbedaan dengan daerah lain. Biasanya didaerah lain, State Highway/Road (Jalan Provinsi) jalannya lurus dan mempunyai 4 jalur jalan, atau paling kurang 2 jalur untuk satu arah. Jadinya kalau dua arah bisa 4-8 jalur – tidak termasuk jalur darurat. Mengemudipun terasa tidak was-was didaerah ini. Namun, di sebagian wilayah Oklahoma, persis seperti jalan Banda Aceh – Medan yang mempunyai rumah di tepi jalan dan mobil bisa bebas keluar masuk jalan raya tanpa ada petunjuk arah.
Didaerah ini, persimpangan jalan kecil biasanya tidak ada lampu lalu lintas. Terkadang, kami sempat terkaget-kaget melihat phenomena ini dan rasa takut akan tertabrak juga menghampiri. Kadang, kami jadi ketawa melihat keadaan ini yang mirip dengan jalan-jalan di Aceh. “Jangan-jangan ada sapi yang menyeberang seperti keadaan jalanan di Pidie,” begitu cetusku. Semuanya ketawa. Namun, selama dalam perjalanan, memang tidak pernah kami jumpai ada sapi yang melintas di jalan raya. Orang Amerika sudah lebih disiplin dalam hal pemeliharaan sapi, mungkin karena mereka punya ladang yang luas-luas dan juga mempunyai kesadaran yang tinggi dalam beternak sapi yang benar dengan tidak membuat musibah bagi orang lain.
Ada satu hal lain yang juga menarik. Tidak seperti didaerah-daerah lain, Di jalan yang kami lalui ini, rest area (tempat rehat) juga jarang ditemui di jalan raya. Kalau mau ke kamar kecil terpaksa harus menunggu lebih dari satu jam perjalanan sampai ke rest area berikutnya. Pernah, diantara kami (laki-laki) ada yang kebelet - sangat terdesak, mencari rest area dan station pengisian bahan bakar seperti mencari jarum dalam jerami, susah sekali. Beberapa kali kami keluar di exit untuk mencari SPBU, namun tetap juga tidak di jumpai. Dengan sangat terpaksa, cara yang sangat "tradisional" juga harus di gunakan. Lihat kiri kanan, parkir mobil di pinggir jalan. situasi aman, cari tempat berlindung dibalik pepohonan, dan langsung tancap gas. Setelah itu, rasanya lega sekali. Perjalanan pun siap dimulai lagi. Namun, tidak lebih dari 30 menit perjalanan, sudah banyak terlihat SPBU dengan kamar kecilnya yang bersih, gratis lagi. Kami berhenti utk isi bahan bakar dan setelah itu melanjutkan kembali tujuan kami. Begitulah nasib hari itu.
Terlepas dari kekurangan di infrastruktur dan aturan lalu lintas, Negara bagian ini mempunyai lahan peternakan yang luas. Banyak sapi terlihat sedang merumput di lahan peternakan. Banyak juga yang mempunyai alur khusus agar sapi-sapi bisa masuk kandang dengan mudah. Ada juga beberapa orang yang menunggang kuda mengawasi ternak mereka. Bisa di bilang, persis seperti yang ada difilm koboi. Seandainya cara beternak sapi seperti ini di terapkan di Indonesia, atau Aceh khususnya, tentu kecukupan daging akan selalu terpenuhi di Aceh. Disamping itu, tidak ada lagi orang yang menabrak sapi, karena semua sapi yang ada ditempatkan pada tempat yang sesuai (peternakan sapi).
Hari sudah menunjukkan pukul 2 siang, namun karena tidak ada rest area untuk makan siang, perjalanan kami terus di lanjutkan. Perut sudah mulai berbunyi, penahan lapar sementara adalah buah, kripik, dan air. Kami berencana masak nasi di rest area dan menikmati lauk pauk yang kami bawa. Rasanya memang tidak sabar menunggu waktu makan siang.
Part III: Texas – Everything is bigger in Texas.
Friday, January 29, 2010
Mengeksplorasi Amerika: Arkansas – Oklahoma – Texas – Kansas - Colorado Part I
Tulisan ini menceritakan pengalaman tiga sekawan; Mahrizal, Azka Rafiqi dan Suci Lestari yang ikut dalam road trip selama 10 hari ke Texas, Oklahoma, Kansas dan Colorado mulai tanggal 21 November – 30 November 2009.
Berawal dari sekedar obrolan ringan sehabis makan malam dengan suguhan sop tulang di apartment kami (Mahrizal dan Azka) tentang perjalanan ke beberapa negara bagian di Amerika. Oya…..sedikit tentang apartment, jangan membayangkan apartement yang kami tempati seperti apartment-apartment mewah yang ada di Jakarta dengan desainnya yang lux, lantainya berpuluh-puluh tingkat dan di jaga oleh puluhan security. Apartement ini hanyalah sebuah tempat tinggal yang dilengkapi dengan 2 kamar tidur, 1 ruang tamu, 1 kamar mandi dan juga dapur. Apartment ini sangat sederhana karena tidak dilengkapi dengan tempat tidur, meja makan, dan kursi tamu alias kosong melompong. Jadi semua peralatan tersebut harus dibawa dari luar. Maklum, sebagai mahasiswa kami memilih apartment yang unfurnished atau tidak dilengkapi dengan peralatan rumah tangga yang sudah tentu harga sewanya jauh lebih murah dari yang furnished. Untungnya lagi, kami banyak mendapatkan barang-barang rumah tangga dari hasil hibahan mahasiswa yang sudah menyelesaikan program study mereka. Jadi, bisa sedikit berhemat dan bisa digunakan untuk ber-ekspedisi darat.
Obrolan tersebut mengenai apa yang akan di lakukan selama thanksgiving day (Hari terima kasihnya orang Amerika). Thanksgiving day saat itu jatuh pada Kamis, dan hari Jum’at menjadi hari kejepit nasional bagi orang-orang Paman Sam. Bahkan, ada sebagian dosen yang meliburkan jadwal mengajarnya, mungkin para dosen juga rencana road trip. Jadi, kami punya waktu sekitar 10 hari untuk perjalanan nanti. Kami merencanakan untuk mengunjungi beberapa negara bagian yang belum pernah di kunjungi. Saat itu rencana masih belum matang dan masih harus bertemu beberapa kali lagi guna membahas lebih spesifik.
Pada pertemuan selanjutnya, kami membahasnya lebih serius dan detail termasuk menghitung berapa jarak dan waktu yang akan di tempuh dalam perjalanan tersebut. Untuk memudahkan perhitungan, kami menanyakan kepada Mbah google maps tentang jarak dan waktunya. Jadi, kami bisa mendapatkan gambaran yang lebih rinci. Kami juga memutuskan untuk menyewa kenderaan dan membagi beberapa tugas ke tiap-tiap individu. Saya kebagian untuk mencarikan tempat-tempat menarik di Texas, Oklahoma, Kansas dan Colorado. Azka mendapatkan tugas untuk meng-list-kan kebutuhan dalam perjalan dan mempersiapkan segala yang perlu. Suci juga mendapatkan tugas untuk menghubungi penyewa kenderaan dan menginventarisir kebutuhan makan minum.
Bagi saya tugasnya tidak terlalu berat karena semua bisa di tanyakan ke Mbah google. Saya baru kerjakan tugas ini dua hari sebelum keberangkatan. Azka juga mempersiapkan tugasnya, dia juga menanyakan ke Mbah google tentang travel list, jadi semua keperluan dalam perjalanan sudah terlistkan. Demikian juga Suci, dia membandingkan harga sewa mobil dari satu penyewa ke penyewa yang lain. Hasilnya, Budget yang terpilih sebagai mobil yang kami sewa karena beberapa kelebihan antara lain unlimited mileage (tanpa hitungan KM) dan tidak perlu mengambil asuransi jika disewa menggunakan kartu kredit Bank of America. Jika harus membeli asuransi pada saat penyewaan mobil, harga sewa plus asuransi hampir dua kali lipat. Jadi, untuk penggunaan sepuluh hari, kami hanya membayar $380 saja.
Sama halnya dengan Azka, dia membagikan hasil pencariannya berupa travel list kepada kami. Bisa dibilang, rencana road trip tersebut hampir sempurna. Kami juga memutuskan untuk membawa bekal berupa masakan karena agak susah menemukan warung makan halal selama dalam perjalanan. Tiga hari sebelum kami berangkat, kami mengumpulkan uang untuk sewa mobil dan belanja makananan selama dalam perjalanan kepada Suci.
Dua hari sebelum berangkat, kami berbelanja semua keperluan seperti air, kerupuk, cemilan, buah-buahan, piring, gelas, tisu, daging halal yang disertifikasi Mas Teddy, ikan tongkol, teri, kacang, dan rempah-rempah. Sehari sebelum berangkat, kami berkumpul di apartment 302 untuk masak-memasak. Daging tersebut semuanya di masak rendang, ikan tongkol digoreng kering dan dimasak dengan asam sunti, teri dan kacang disambal. Belum sempat semuanya masak, kami sudah mencoba untuk makan siang sekitar jam tiga sore. Saya tambah nasi 2 kali, Azka dan Suci juga demikian. Rasanya betul-betul nikmat.
Sore harinya sekitar jam 7 kami ke tempat penyewaan mobil. Kami ditawari beberapa jenis mobil yang lain walaupun kami sudah melakukan reservasi sebelumnya. Akhirnya kami memutuskan untuk mengambil mobil yang standar. Setelah Suci menandatangani kontrak sewa dan menggesek kartu kreditnya, kami pun pergi membawa mobil. Dalam perjalanan ke tempat Mbak Tuti untuk pinjam GPS, kami baru tau bahwa mobil tersebut tidak ada cruise control nya (alat untuk mengontrol gas) dan langsung si Suci menelpon pihak penyewa meminta untuk digantikan. Mbak Tuti tidak hanya memberikan GPS, tapi juga tempe bacem, keripik dan beberapa cemilan ringan. Baik juga Mbak Tuti ini, tapi keripiknya agak sedikit. Keripik nya persis seperti keripik Bireun, makanya di bilang sedikit. Sorry Mbak Tuti ya.
Setelah itu, kami kembali lagi ke pihak penyewa dan memilih mobil yang lain. Sebelum kontrak di tandatangani untuk kedua kalinya, rupanya ada kesalahan pada perhitungan sewa yang menjadi lebih mahal. Akhirnya, kami minta diganti yang standard dengan fasilitas cruise control. Kami dilayani oleh seorang wanita yang kira-kira 50 tahunan. Dia bersedia mengganti kontrak untuk ketiga kalinya. Pada saat pengambilan mobil, ada yang salah membaca mileage-nya. Katanya mobilnya sudah 250 ribu miles. Dan ibu itupun tidak bersedia mengganti kontrak ke empat kalinya mungkin terlalu capek karena telah bekerja selama 14 jam. Jadinya, kamipun mengambil mobil tersebut. Setelah mengemudi beberapa menit, saya bilang “mileages nya baru 25 ribu bukan 250 ribu, pantaslah ibu tadi marah, korupsi mileagesnya sangat banyak sampa 225 ribu.” Akhirnya kami ketawa semua. Berharap tidak ketemu lagi ibu itu ketika kami mengembalikan mobil nantinya.
Dalam perjalanan, tiba-tiba ibu tersebut menelpon si Suci, menanyakan kunci mobil sebelumnya udah dikembalikan apa belum. Tiba-tiba terdengar suara kunci bergeliming dari kantong B'Azka. Langsung aja semuanya panic, B'Azka bilang "kok bisa kunci ini masuk kantong ku?" dia ngak habis pikir, sampai kepala geleng-geleng. Kami putuskan untuk kembali ke tempat penyewaan mobil tersebut dan berharap tidak di omelin oleh ibu itu. B'Azka turun untuk mengembalikan kunci. Tiba-tiba sebentar aja udah keluar sambil elus-elus dada, "aman" katanya. Pelajaran penting bagi kami adalah ketika hendak menyewa mobil sebaiknya dilihat betul-betul segala sesuatu, sehingga tidak membuat orang lain dan diri sendiri menjadi susah.
Malam sebelum keberangkatan, masing-masing mempersiapkan keperluan pribadinya. Saya membawa beberapa helai baju, pakaian dingin, peralatan mandi, obat-obatan kalau ada yang sakit. Tidak lupa kami bawakan sleeping bag, senter, dan laptop. Semua perlengkapan telah siap, perjalanan siap dimulai.
Saturday, January 9, 2010
Ayo menulis……….!!!
Sebenarnya, saya punya keinginan untuk menulis secara rutin, paling tidak sekedar coret-coretan iseng di sebuah catatan harian. Catatan tersebut tidak pernah terealisasi sampai suatu petang saya menemukan ilham yang entah datang dari mana untuk menulis sesuatu yang mungkin tidak terlalu berbeda dengan tulisan orang lain. Ada satu kebiasaan yang sebenarnya tidak kusukai, kebiasaan seringnya menunda untuk menyelesaikan sesuatu, ya…. termasuk menulis. Saya juga sering berfikir, toh esok masih bisa dikerjakan dan hari masih panjang. Bisa di bilang, hal yang paling berat bagi saya adalah memulai sesuatu, kata orang di Arkansas “making the first move is the most difficult one.” Mungkin saja ungkapan itu ada benarnya. Kusadari memang, kebiasaan ini tidak membawa perubahan apa-apa. Keinginan untuk mengerjakan sesuatu tidak pernah kesampaian. Itulah sebuah realita dari sikap dan kebiasaan menunda.
Suatu hari temanku pernah berkata “Mulailah menulis, disini kita punya waktu luang dan tidak perlu berfikir tentang kerjaan, toh dapat beasiswa lagi.” Dia melanjutkan “Orang di Indonesia kan sibuk berkerja, banyak yang ngak punya waktu untuk menulis. Bekerjapun harus lebih lama, agar duitnya cukup untuk menutupi kebutuhan. Paling tidak bisa berkontribusi sedikit, dan itu udah lebih dari cukup” Waktu itu saya berfikir, komentar kawan itu berlebihan. kan banyak sekali orang yang sudah menulis. Buktinya, Koran dan majalah makin banyak aja. Pikiran negative saya muncul disini, menulis kan bisa nambah-nambahin kerjaan aja, jadinya waktu untuk ber chatting di dunia maya akan berkurang. Apalagi ngomong tentang Indonesia, rasanya itu terlalu besar untuk digapai.
Aneh memang…… mungkin karena saya lagi malas, apa aja yang diomongin bakal ngak kena………. Setelah beberapa lama, aku menyadari, mungkin pikiranku saat itu salah, disini saya kan seorang siswa, ya…. Yang kerjaannya belajar….belajar…. belajar dan jalan-jalan juga….. (maunya jadi seorang pelajar yang ideal yang bisa terus belajar). Mungkin responku waktu sama aja dengan ungkapan “Kenapa kamu harus kuliah, kan sudah banyak orang yang kuliah.” Mungkin itulah pikiran ternaïfku waktu itu. Paling tidak, omongan kawan tadi berbekas di hati untuk menulis sesuatu. Paling tidak belajar menulis untuk diri sendiri sebagai catatan untuk dilihat di hari tua atau bisa berbagi pengalaman kepada orang lain.
Selain itu, seorang kawan yang lain pernah meminta saya untuk menuliskan di blog nya tentang catatan pengalaman lintas budaya saya. Dia pun memberikan sejumlah list pertanyaan agar tulisannya lebih terarah dan terstruktur. Mungkin dia berfikir saya ini penulis yang sudah handal, hehehehe. Tapi sesungguhnya, permintaan dia membuat saya pening, gugup, dan bingung untuk menulis tentang pengalaman yang menarik. Pikirku, menulis catatan harian untuk satu atau dua baris saja masih susah, apalagi menulis secara terstruktur. Saya memang pernah belajar untuk menulis secara akademic di dua institusi bahasa di negeri jiran dan Paman Sam, tapi saya masih merasa masih kurang saja. Mungkin masih merasa kurang confident untuk menulis. Mungkin karena biasa berbagi pengalaman secara oral, Jadinya agak susah memulai dalam bentuk tulisan. Oya……. Menyangkut permintaan kawan tadi, masih sederet pertanyaan yang lain pun muncul di kepala saya, “Sudah sangat baguskah pengalaman saya untuk di bagi?” Tapi, tidak salahkan kalau sekedar mencoba.
Ketika ada sebuah keinginan untuk menulis, kebiasaan lama pun kembali datang, menunda,….. menunda,…… dan menunda. Rasanya jari-jemari terlalu berat untuk menekan tombol aksara yang ada pada computer. Kadang saya berfikir, aahhha sesudah pindah rumah aja bagus untuk menulis, mungkin setelah rumahnya bersih dan tertata rapi baru bisa dapat ide. Aahhh setelah habis menonton film documenter, mungkin bisa dapat inspirasi baru. Aaahhhh setelah belanja mingguan untuk keperluan dapur, mungkin setelah kebutuhan perut terpenuhi akan ada pikiran baru, eehhh tau-taunya malah tertidur. Aahhhh setelah jalan-jalan di sekitar kota, mungkin bisa membuka pandangan baru. Aahhhh, itulah kata yang saya gunakan untuk pembenaran membuat pekerjaan tertunda. Memang, kalau untuk menunda, sejuta alasan akan muncul.
Ketika kita tinggal sendiri di perantauan, memang tidak ada yang memaksa kita untuk melakukan sesuatu. Orang lain tidak mampu untuk mengubah kebiasaan kita. Kawan tidak mampu menolong ketika kita mendapat peringatan dari kampus. Orang tua hanya bisa menelpon untuk menanyakan kabar. Orang yang paling dekat sekalipun, katakan pacar atau suami atau istri, mereka hanya sanggup memberi dukungan moral. Semua orang terdekat tidak bisa membuat kita untuk berubah. Saya menyadari, hanya diri sendiri yang dapat memotivasi diri sendiri.
Saya teringat seorang kawan yang pernah sama-sama belajar program bahasa, sebut saja namanya Mawar. Dia pernah mengatakan bahwa dia punya kebiasaan yang sulit untuk di ubah dan pernah beberapa kali meminta saya untuk bisa mengubahnya. Saya langsung berbisik didalam hari “ngak mungkin saya bisa mengubah dia, diri sendiri aja masih kurang disana-sini.” Tapi sekedar kawan tidak salah rasanya jika memberi saran dan berharap akan ada perubahan yang berarti dari sosok seorang Mawar. Perubahan itu hampir tidak ada pada diri Mawar.
Banyak usaha telah di coba terutama oleh institusi bahasa, mulai dari memberikan latihan tambahan sampai diskusi intensive dengan para ahli. Mungkin, perlu waktu yang sangat lama untuk berubah bagi si Mawar. Kabar terakhir saya dengar dari kawan, dia sudah banyak berubah. Katanya semuanya jauh lebih baik. Mungkin, institusi tersebut berhasil memotivasi si Mawar atau si Mawar sendiri yang termotivasi untuk berubah ke arah yang lebih baik. Segala sesuatu akan dapat dikerjakan dengan menerapkan self-motivated dan usaha untuk lebih baik.
Kembali lagi ke persoalan menulis, malam itu saya membuka komputer dan menulis sesuatu yang tidak pernah terbayang sebelumnya yang saya ini akan menulis sesuatu atas keinginan sendiri tanpa memperhatikan struktur yang koheren dari sebuah tulisan. Mungkin itu namanya sekedar coret-coretan di Microsoft Word. Mungkin untuk tahap awal bisa diterima sebagai langkah awal (first move). Sewaktu menulis pun, rasa malas selalu datang, sampai-sampai tulisan pendek seperti ini memerlukan waktu lebih dari dua minggu sampai terpublish di blog ini. Paling tidak, saya mampu untuk menyelesaikan cerita pendek ini yang masih banyak kekurangannya. Keep motivated……!!!!
Suatu hari temanku pernah berkata “Mulailah menulis, disini kita punya waktu luang dan tidak perlu berfikir tentang kerjaan, toh dapat beasiswa lagi.” Dia melanjutkan “Orang di Indonesia kan sibuk berkerja, banyak yang ngak punya waktu untuk menulis. Bekerjapun harus lebih lama, agar duitnya cukup untuk menutupi kebutuhan. Paling tidak bisa berkontribusi sedikit, dan itu udah lebih dari cukup” Waktu itu saya berfikir, komentar kawan itu berlebihan. kan banyak sekali orang yang sudah menulis. Buktinya, Koran dan majalah makin banyak aja. Pikiran negative saya muncul disini, menulis kan bisa nambah-nambahin kerjaan aja, jadinya waktu untuk ber chatting di dunia maya akan berkurang. Apalagi ngomong tentang Indonesia, rasanya itu terlalu besar untuk digapai.
Aneh memang…… mungkin karena saya lagi malas, apa aja yang diomongin bakal ngak kena………. Setelah beberapa lama, aku menyadari, mungkin pikiranku saat itu salah, disini saya kan seorang siswa, ya…. Yang kerjaannya belajar….belajar…. belajar dan jalan-jalan juga….. (maunya jadi seorang pelajar yang ideal yang bisa terus belajar). Mungkin responku waktu sama aja dengan ungkapan “Kenapa kamu harus kuliah, kan sudah banyak orang yang kuliah.” Mungkin itulah pikiran ternaïfku waktu itu. Paling tidak, omongan kawan tadi berbekas di hati untuk menulis sesuatu. Paling tidak belajar menulis untuk diri sendiri sebagai catatan untuk dilihat di hari tua atau bisa berbagi pengalaman kepada orang lain.
Selain itu, seorang kawan yang lain pernah meminta saya untuk menuliskan di blog nya tentang catatan pengalaman lintas budaya saya. Dia pun memberikan sejumlah list pertanyaan agar tulisannya lebih terarah dan terstruktur. Mungkin dia berfikir saya ini penulis yang sudah handal, hehehehe. Tapi sesungguhnya, permintaan dia membuat saya pening, gugup, dan bingung untuk menulis tentang pengalaman yang menarik. Pikirku, menulis catatan harian untuk satu atau dua baris saja masih susah, apalagi menulis secara terstruktur. Saya memang pernah belajar untuk menulis secara akademic di dua institusi bahasa di negeri jiran dan Paman Sam, tapi saya masih merasa masih kurang saja. Mungkin masih merasa kurang confident untuk menulis. Mungkin karena biasa berbagi pengalaman secara oral, Jadinya agak susah memulai dalam bentuk tulisan. Oya……. Menyangkut permintaan kawan tadi, masih sederet pertanyaan yang lain pun muncul di kepala saya, “Sudah sangat baguskah pengalaman saya untuk di bagi?” Tapi, tidak salahkan kalau sekedar mencoba.
Ketika ada sebuah keinginan untuk menulis, kebiasaan lama pun kembali datang, menunda,….. menunda,…… dan menunda. Rasanya jari-jemari terlalu berat untuk menekan tombol aksara yang ada pada computer. Kadang saya berfikir, aahhha sesudah pindah rumah aja bagus untuk menulis, mungkin setelah rumahnya bersih dan tertata rapi baru bisa dapat ide. Aahhh setelah habis menonton film documenter, mungkin bisa dapat inspirasi baru. Aaahhhh setelah belanja mingguan untuk keperluan dapur, mungkin setelah kebutuhan perut terpenuhi akan ada pikiran baru, eehhh tau-taunya malah tertidur. Aahhhh setelah jalan-jalan di sekitar kota, mungkin bisa membuka pandangan baru. Aahhhh, itulah kata yang saya gunakan untuk pembenaran membuat pekerjaan tertunda. Memang, kalau untuk menunda, sejuta alasan akan muncul.
Ketika kita tinggal sendiri di perantauan, memang tidak ada yang memaksa kita untuk melakukan sesuatu. Orang lain tidak mampu untuk mengubah kebiasaan kita. Kawan tidak mampu menolong ketika kita mendapat peringatan dari kampus. Orang tua hanya bisa menelpon untuk menanyakan kabar. Orang yang paling dekat sekalipun, katakan pacar atau suami atau istri, mereka hanya sanggup memberi dukungan moral. Semua orang terdekat tidak bisa membuat kita untuk berubah. Saya menyadari, hanya diri sendiri yang dapat memotivasi diri sendiri.
Saya teringat seorang kawan yang pernah sama-sama belajar program bahasa, sebut saja namanya Mawar. Dia pernah mengatakan bahwa dia punya kebiasaan yang sulit untuk di ubah dan pernah beberapa kali meminta saya untuk bisa mengubahnya. Saya langsung berbisik didalam hari “ngak mungkin saya bisa mengubah dia, diri sendiri aja masih kurang disana-sini.” Tapi sekedar kawan tidak salah rasanya jika memberi saran dan berharap akan ada perubahan yang berarti dari sosok seorang Mawar. Perubahan itu hampir tidak ada pada diri Mawar.
Banyak usaha telah di coba terutama oleh institusi bahasa, mulai dari memberikan latihan tambahan sampai diskusi intensive dengan para ahli. Mungkin, perlu waktu yang sangat lama untuk berubah bagi si Mawar. Kabar terakhir saya dengar dari kawan, dia sudah banyak berubah. Katanya semuanya jauh lebih baik. Mungkin, institusi tersebut berhasil memotivasi si Mawar atau si Mawar sendiri yang termotivasi untuk berubah ke arah yang lebih baik. Segala sesuatu akan dapat dikerjakan dengan menerapkan self-motivated dan usaha untuk lebih baik.
Kembali lagi ke persoalan menulis, malam itu saya membuka komputer dan menulis sesuatu yang tidak pernah terbayang sebelumnya yang saya ini akan menulis sesuatu atas keinginan sendiri tanpa memperhatikan struktur yang koheren dari sebuah tulisan. Mungkin itu namanya sekedar coret-coretan di Microsoft Word. Mungkin untuk tahap awal bisa diterima sebagai langkah awal (first move). Sewaktu menulis pun, rasa malas selalu datang, sampai-sampai tulisan pendek seperti ini memerlukan waktu lebih dari dua minggu sampai terpublish di blog ini. Paling tidak, saya mampu untuk menyelesaikan cerita pendek ini yang masih banyak kekurangannya. Keep motivated……!!!!
My Graduation Speech - Spring International Language Center University of Arkansas-
October 15, 2009
I would like to express my sincere thanks to Dr. Lanier, Adriana, and my teachers: Steve, Liz, Mrs Shepherd, David, Michelle, Vlad, Mr. Don and all the teachers for your valuable contributions to my studies. I will always remember you along the path to achieving my dreams and goals.
On the first day I arrived at Spring International, I took the Michigan test. Like most of you, I had a great expectation to achieve a high score. However, when I received the result, I was disappointed; my score was lower than expected and was not high enough for me to enter level 5. I learned that day, although painfully, that level 4 was the right one for me. And I accepted the decision.
Since that day, I have learned several lessons while studying at Spring International, which remind me of what President Theodore Roosevelt said, “Do what you can, with what you have, where you are.” Even when my English is not strong enough, even when the situation is challenging or unexpected. I do what I can.
Back in April 2009, in level 400 speaking class with Mr. Don, we had an important group discussion ….. about ..… penguins. You know, the funny birds. It shocked me when I recognized how different the characters of my classmates were; some of them were very forward, talkative. I remembered Roosevelt’s quote, and I gave my best effort to adjust to the situation and gave them my respect and patience. More importantly, I had to adapt to where I am to survive, and to take risks, to get involved in the conversation by speaking up in the group. When I was in Indonesia, I was chatty person, but I am a lot shyer in the multicultural environment. But I do what I can.
I have to admit that when I came to the US, I brought with me a serious misconception. I thought that the Americans loved war, were unfriendly, and acted selfishly. I was wrong, as all of those assumptions were just stereotypes. I tried to get to know more Americans and I found that they are actually really friendly. Everywhere, we hear people saying, “Have a good day,” “Hi how are you?” “wassup!.” One day, when my friends and I moved out from our apartment, some Americans offered their help. It was an amazing moment. I was able to change my perception about Americans when I saw the facts. I have been able to adapt to this new environment, and I want to keep this new perception. “Do what you can, with what you have, where you are.” And, sometimes what I have is the reality in front of me. What I have now is a clear mind, a true understanding of Americans, and a mind that is free of misconceptions. That may be the most important lesson.
Many of you may see yourself in my story, Some of you may fell in the same way as I do. But to those who are new to this situation, try to adjust and be flexible with the new environment, and you will recognize that you too will learn many lessons in life. Even when…..“where you are”….. may be strange or new. Even whe…… “what you have”….. may seem insufficient. No matter what, “do what you can.”
Friday, January 1, 2010
Menangani lahan terlantar dengan kakao
Source: BBC
http://www.bbc.co.uk/indonesia/laporan_khusus/2009/12/091226_witnessaceh.shtml
Lahan terlantar akibat pembalakan masih banyak ditemukan di Pidie, Aceh. Mahrizal Baru, melalui Yayasan Tunas Bangsa, membina para petani memanfaatkan lahan terlantar dengan menanam kakao atau biji coklat. Berikut ceritanya:
Dengan pendapatan dari kakao ini saya dapat menyekolahkan anak saya yang sekarang kuliah di universitas - Yunus Idris, petani di Pidie
Dalam beberapa tahun terakhir ini, kami mengajak beberapa ratus petani untuk mengubah lahan terlantar menjadi lahan potensial, dengan menanam kakao.
Dengan cara ini kami sedikitnya dapat membantu mencegah terjadinya pembalakan liar di hutan-hutan Aceh karena dapat membantu para petani mendapatkan penghasilan tetap.
M Yunus Idris, antara lain telah memiliki satu hektar lahan kakao. Setengah dari lahan itu sudah menghasilkan dan dalam satu minggu ia mendapatkan 35 kilogram kakao dengan harga jual sekitar Rp 20.000 per kilogram.
Pada mulanya, yayasan ini didirikan memang untuk membina petani mengolah kembali lahan mereka.
Banjir dan longsor
Mahrizal Paru dengan seorang petani kakao di Pidie
Semakin banyak petani yang tertarik menanam kakao di lahan terlantar
Saat terjadi konflik panjang antara GAM dan pemerintah Indonesia, banyak petani yang memang telah menaman kakao menelantarkan lahannya.
Akibatnya banyak pula yang beralih mencari pendapatan secara cepat sebagai pembalak karena para petani tidak mampu mengolah lahan kosong tanpa modal.
Kabupaten Pidie dan Pidie Jaya mempunyai pengalaman buruk tentang banjir dan tanah longsor.
Banyak hutan yang telah ditebang oleh pembalak liar di perbukitan dan pengunungan Pidie. Luas daerah yang ditebang mencapai ribuan hektar.
Saat ini kami belum bisa berbuat banyak mengatasi banjir dan longsor, karena cakupan wilayah kerja kami dalam membantu petani menggunakan kembali lahan-lahan terlantar baru meliputi beberapa desa saja di Pidie ini.
Ribuan lahan terlantar
Kakao ini kami pilih karena merupakan salah satu komoditi yang menghasilkan. Awalnya para petani mengatakan semua mau ikut program rehabilitasi kakao.
Namun, ada juga yang hanya menginginkan bantuan saja tanpa harus merehabilitasi kebun.
Kami menggunakan pendekatan siapa yang mau bekerja di lahan dipersilakan ikut. Masyarakat yang ikut harus menunjukkan peran mereka sebelum beberapa hal yang kami berikan seperti bibit, dan pagar.
Laila Qadri dari Yayasan Tunas Bangsa
Laila Qadri dari Yayasan Tunas Bangsa memberi pengarahan kepada petani
Masyarakat harus menunjukkan lubang tanam, dan tanaman pelindung sebelum bibit diserahkan.
Asumsi kami saat itu adalah biarpun petani tidak melanjutkan pekerjaan, setidaknya mereka telah mengalokasikan waktu mereka untuk bekerja. Jika tidak dilanjutkan, petani sendiri yang rugi.
Namun, kenyataannya, masyarakat yang sebelumnya tidak ikut dalam program tersebut malah ikut membersihkan kebun dan membuat lubang tanam untuk kakao dan tanaman pelindung dan juga membuat pagar.
Kami bisa katakan, program penglibatan masyarakat hampir 100% berjalan.
Potensi longsor
Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Bukhari SP Bukhari mengatakan potensi lahan yang saat ini tersedia sekitar 25.000 hektar dan yang dimanfaatkan baru sekitar 9.200 hektar untuk coklat.
Sekitar 16 ribu hektar lagi merupakan lahan terlantar, pihak Dinas Kehutanan dan Perkebunan telah melakukan sekitar penanaman 3.000 hektar lahan untuk coklat. Kakao kami pilih karena merupakan salah satu komoditi unggulan dan dapat menghasilkan uang.
Sejauh ini pencapaian kami adalah banyak bibit kakao dan pohon pelindung sudah ditanam untuk mengurangi lahan tidur yang beresiko longsor, dan menciptakan dan mengembalikan lapangan kerja bagi petani.
Kami punya mimpi untuk menanam kakao dan tanaman pelindung di setiap lahan bekas pembalakan liar.
Banjir dan tanah longsor masih akan terjadi jika lahan bekas tebangan tidak ditanami dengan kakao dan pohon pelindung yang mampu menyerap air di musim hujan.
Subscribe to:
Posts (Atom)