Saturday, July 23, 2011

Perjalanan ke World Cocoa Conference di Utrecht Belanda

Perjalanan ini berawal dari sebuah persentasi di kelas Agricultural and Rural Development University of Arkansas tentang perkembangan kakao masyarakat di Aceh. Persentasi itu sendiri menghabiskan waktu sekitar 40 menit di tambah dengan sesi jawab. Professor yang mengajar dikelas tersebut memang memberikan jasa konsultan untuk World Cocoa Foundation (WCF) untuk proyek kakao di Africa, khususnya Ghana dan Pantai Gading.

Setelah selesai persentasi, dia menanyakan kesediaan saya mewakili dia ke Konferensi kakao dunia di Belanda. Perjalanan pun dimulai dengan menumpang pesawat Delta Air ke Boston dan kemudian dilanjutkan ke Barajas Madrid dan Amsterdam menggunakan pesawat Iberia Airlines.

Hari pertama konferensi tersebut penuh dengan kejutan. Delegasi pemerintah Aceh yang diwakili oleh Ketua Bappeda PMU MDF untuk aceh, dan delegasi dari Swiss Contact hadir di konferensi tersebut. Disamping itu, konferensi yang dihadiri oleh 260 para pihak (Produser kakao, NGOs, Coklat Industri, Perwakilan pemerintah, dan lembaga keuangan) dari seluruh dunia membahas tentang issue-issue yang berkembang saat itu, seperti produksi kakao dunia, pemasaran, rantai komoditas kakao, konsumer trend, dan sustainability (keberlanjutan).

Panitia membagi program ke beberapa diskusi panel yang umumnya disampaikan oleh para pihak yang ahli dibidang kakao. Tentunya, disetiap sesi pemateri memberikan pandangan dan penemuan baru untuk pengembangan dan perbaikan kakao kedepan.

Diakhir konferensi hari kedua, Panitia membuat test rasa coklat. Walaupun sebagian besar peserta adalah “pemain” dibidang coklat, namun untuk membedakan rasa coklat berdasarkan Negara asal memang tidak mudah. Hanya sekitar 2-3 orang yang mampu membedakan rasa coklat. Article pertemuan tersebut dapat di unduh dari website World Cocoa Foundation (WCF) http://www.worldcocoafoundation.org/who-we-are/partnership-meeting-and-events.html


Bersambung: *Penyakit kakao

Monday, July 11, 2011

Wajarkah harga kakao diterima petani?


"Padum yum coklat nyoe (Berapa harga biji kakao ini)" Demikian tanya seorang petani kakao kepada penjual di Pasar kakao Paru. Lalu penjual pun memegang biji kakao untuk mengetahui kadar kering dan kadar kandungan air. "Nyan Rp.14,000 karena menteng basah, yang nyoe Rp. 18,000 karena ka tho (Yang ini Rp, 14,000 karena masih basah, yang ini Rp. 18,000 karena sudah kering". Inilah sedikit gambaran transaksi biji kakao di pasar. Si penjual tentu ingin menjual dengan harga yang mahal, sebaliknya pedagang ingin membeli dengan harga yang murah agar keuntungannya lebih besar.

Ada beberapa alasan yang diberikan pedagang agar bisa mendapat harga yang relatif murah ketika membeli biji kakao dari petani. Pertama, harga kakao sedang turun dari Medan (Patokan harga pedagang di Aceh sebelumnya). Kedua, kadar air masih tinggi dan pedagang perlu menjemurnya lagi. Dan Ketiga, kualitas kakao yang rendah karena serangan hama dan penyakit. Di beberapa daerah, khususnya di Aceh, pedagang kakao tidak hanya menunggu di tempat pengumpul, tapi juga keliling kampung untuk membeli kakao. Di Aceh terkenal dengan istilah "Mugee Coklat" untuk para pembeli kakao keliling. Pembeli ini menggunakan kenderaan roda dua dan dilengkapi dengan tempat penampung yang terbuat dari rotan yang diletakkan disebelah kiri dan kanan motor. Kelebihan "Mugee" adalah dapat menembus perkampungan-perkampungan yang masih terisolir dengan jalanan yang penuh lumpur.

Cocoa supply chain (rantai penjualan kakao)di Indonesia sangat panjang. Disetiap mata rantai tersebut, pedagang mengambil untung yang cukup lumayan. Menurut laporan USAID (2006) tentang mata rantai, ada 7 mata rantai yang harus dilalui untuk sampai ke pabrik pembuatan coklat dan konsumen coklat. Pertama adalah yang petani memproduksi biji kakao, kemudian pedagang lokal yang membeli biji kakao dengan kapasitas kecil seperti "mugee", kemudian dilanjutkan ke pedagang pengumpul lokal, exportir lokal, pedagang kakao multinational atau perusahaan-perusahaan besar pembeli biji kakao, perusahaan pemprosesan multinational, produsen kakao multinational, dan akhirnya pembeli coklat. Bisa di bayangkan, kalau setiap tahapan mengambil untung Rp. 1,000 per kg, yang diterima petani tentu sangat kecil. Belum lagi di tambah pajak eksport yang umumnya di bebankan ke petani.

Mari kita lihat bagaimana harga kakao dunia ditentukan. Menurut UNCTAD(n.d), sebuah lembaga dari PBB untuk perdagangan dan pembangunan, harga kakao ditentukan oleh tingkat permintaan dan penawaran. Biasanya, harga kakao turun ketika musim panen dan kemudian stagnan. UNCTAD (n.d) menambahkan, penurunan harga yang berterusan membuat petani beralih mengganti ke tanaman yang lain dan pada akhirnya kembali meningkatkan harga kakao. Disisi yang lain, konflik yang berkepanjangan dan pelarangan ekspor kakao dinegara produser kakao seperti Pantai Gading telah berakibat pada meningkatkannya harga kakao dunia sebesar 6.2 persen ke harga USD 3,393 per ton(The Guardian, 2011).

Merujuk pada data IMFstatistic (n.d) sejak tahun 1985 - 2010 untuk Pasar komoditas New York, harga kakao dunia terus meningkat dengan kenaikan rata-rata sekitar 3 persen. Kenaikan paling tinggi yang pernah terjadi pada periode tersebut adalah sebesar 63.46% dan juga pernah turun sebesar 32.28 persen. Namun, untuk lima tahun terakhir dari tahun 2005-2010, kenaikan harga kakao rata-rata 16%, tertinggi 31%, dan terendah 3%.

Dilihat dari data IMFstatistc, harga kakao dunia terus melambung tinggi. Saat ini, harga jual ditingkat petani untuk 3 hari jemur atau kadar air dibawah 8% adalah Rp.18,000 - Rp.20.000. Kalau dihitung dengan harga kakao dunia, petani menikmati kurang dari 60% dari harga kakao dunia. Sedangkan pedagang, yang tergabung dalam mata rantai penjualan kakao, menikmati sekitar 40%. Wajarkah harga yang diterima petani? Wallahualam Bissawab.

*Bersambung: Perjalanan ke World Cocoa Conference di Utrecht, Belanda.
** Gambar dari the President Post

Friday, July 8, 2011

Seberapa sering petani kakao mencicipi coklat? * Siapa sebenarnya yang menikmati coklat?


Seorang petani kakao bertanya kepada saya sekitar 10 tahun yang lalu “kiban rasa coklat nyan teuma?” (Bagaimana rasa coklat itu?)”. Susah untuk mendiskripsikan bagaimana rasa coklat tanpa memberi dia kesempatan untuk mencicipi. Sungguh suatu pertanyaan yang ironi. Tapi, itulah sebuah kenyataan hidup, sebagian besar petani kakao memang tidak pernah merasa bagaimana lezat nya rasa coklat. Pertanyaan tersebut masih tersimpan “indah” dalam memori saya sampai hari dan mungkin sampai esok hari.

Diakui atau tidak bagi sebagian masyarakat di negara-negara berkembang khususnya bagi petani kakao, coklat bisa dikategorikan sebagai bahan mewah. Saking mewahnya petani kakao hanya menanam, memetik, menjemur, dan menjual biji kering. Harga produk coklat dengan ukuran yang kecil seperti ice cream berkisar antara Rp. 5,000 – Rp. 20,000. Dengan harga sebesar itu, petani tentu akan lebih untuk membeli beras, telur, dan ikan asin yang bisa dimasak untuk dua hari dan dinikmati oleh seluruh anggota keluarga.

Dibalik semua itu, kakao yang diproduksi di negara-negara tropis seperti Indonesia, Pantai Gading dan Ghana umumnya di kirim ke Eropa dan Amerika. Saat ini, konsumsi kakao dunia telah meningkat secara signifikan. Menurut Association of the Chocolate, Biscuit and Confectionery Industries of the E.U. (CAOBISCO) and the International Confectionery Association (ICA) (n.d), Kakao umumnya dikonsumsi dalam bentuk kembang gula coklat, biskuit, es krim, atau dalam bentuk produk makanan yang mengandung coklat bubuk seperti minuman, kue, makanan ringan, dan lain-lain. Sepuluh Negara terbesar pengkonsumsi coklat dalam bentuk olahan adalah Amerika serikat, Jerman, Inggris, Brazil, Perancis, Jepang, Italy, Polandia, Spanyol, dan Australia.

Disamping itu, CAOBISCO dan ICA (n.d) mencatat beberapa negara pengkonsumsi coklat per kapita terbesar berdasarkan jumlah bji kakao per kg per tahun adalah sebagai berikut; Masyarakat Belgia merupakan pengkonsumsi coklat terbesar didunia dengan jumlah rata-rata 5.5 kg per kapita dan kemudian di ikuti oleh penduduk Swiss dengan tingkat konsumsi rata-rata 4.4 kg. Masyarakat dari negara seperti Irlandia, Perancis, Australia, Jerman, Norwegia, Inggris dan Denmark mengkonsumsi coklat rata-rata antara 3.39 kg to 3.88 kg per kapita. Sedangkan Amerika serikat tercatat mengkonsumsi coklat lebih moderat dibandingkan orang-orang Eropa dengan jumlah rata-rata 2.5 kg per kepala.

Dilihat dari data yang ada, perbedaan dalam mengkonsumsi coklat sungguh seperti jarak antara langit dan bumi. Jangan kan mengkonsumsi setengah kilogram coklat, petani kakao kita mencicipinya pun hampir tidak pernah. Disatu sisi, kebijakan pemerintah menetapkan pajak export kakao telah menurunkan harga jual di tingkat petani. Disisi yang lain pemerintah ingin memotivasi pengusaha untuk memproduksi coklat siap konsumsi di dalam negeri. Akankan kebijakan ini lebih menjauhkan petani kakao untuk mencicipi coklat? Apakah jarak antara pengkonsumsi coklat di Eropa akan akan lebih lebar dengan di dalam negari? Atau apakah kebijakan tersebut membuat petani kakao jauh lebih susah hidupnya? Wallahualam Bissawab.

*Bersambung: Harga kakao dunia, perjalanan ke World Cocoa Conference di Utrecht Belanda Pada May 2010, Penyakit kakao, Pupuk dan naungan, kakao organik.

** Gambar dari www.umassmed.edu

Thursday, July 7, 2011

Produksi Kakao Dunia


Kakao umumnya diproduksi dan di jual oleh para petani dalam bentuk biji kering. Setelah buah dipetik dan dikeluarkan biji dari buah kakao, kemudian biji tersebut di fermentasi dan di jemur selama tiga hari atau sampai kering dengan kadar air kurang dari 7%. Saat ini, produksi kakao telah meningkat tajam sejak awal abad ke 20. Menurut catatan Urquhart (1955), produksi kakao dunia hanya sekitar 100,000 tons pada tahun 1900 dan kemudian meningkat dua kali lipat ke 200,000 sepuluh tahun kemudian. Pada periode 1918 sampai 1923, setiap tahunnya kakao di produksi rata-rata sekitar 395,000 ton dan kemudian meningkat 692,000 antara tahun 1934-1939. Produksi kakao dunia terus naik ke 600,000 tons pada 1945, dan kemudian menembus angka 1.9 juta ton atau naik sekitar 310 persen (Wood, 2001).

Pada periode 1970/71, 78 persen kakao dunia di produksi hanya oleh lima negara antara lain Ghana, Nigeria, Brazil, Pantai Gading dan Cameroon. Lima belas tahun kemudian, atau pada periode 1985/86, Negara utama produksi kakao sedikit berubah, saat itu Pantai Gading memimpin diurutan pertama, kemudia diikuti Brazil, Ghana, Nigeria, and Cameroon dengan produksi dari lima Negara tersebut sekitar 72 persen dari total produksi dunia (Wood, 2001).

Saat ini, Indonesia telah muncul sebagai Negara produksi kakao terbesar kedua terbesar didunia setelah Pantai Gading. Selama tahun 2000, Pantai Gading memproduksi sekitar 1.4 juta tons dan sedikit berfluktuasi sampai akhirnya turun ke 1.2 juta ton pada tahun 2009. Sebaliknya, Indonesia terus dapat meningkatkan produksi kakao dari 421,142 tons pada tahun 2000 ke 800,000 tons di tahun 2009. Dua negara tersebut masing-masing menguasai 30 dan 20 persen dari produksi kakao dunia FAO (n.d).

Data ini menunjukkan keseriusan petani dan pemerintah Indonesia dalam mengusahakan kakao. Berbagai program pemerintah telah mampu mendorong peningkatan hasil yang cukup menggembirakan. Namun demikian, pemerintah perlu terus mempromosikan bidang ini agar menjadi salah satu sektor unggulan komoditi dari Indonesia. Salah satunya adalah dengan memberikan subsidi berupa pupuk dan bantuan keungan mikro. Disamping itu, perlunya adanya transfer pengetahuan dan teknologi terbaru melalui penyuluh pertanian. Untuk itu, pemilihan penyuluh pertanian harus didasari pada kompetensi dalam penguasaan bidang kakao seperti pengetahuan tentang proses penanaman, perawatan, pengendalian hama dan penyakit, dan kemauan untuk terjun langsung ke perkebunan kakao rakyat, bukan kemauan untuk duduk dikantor dan menerima numerasi pada akhir bulan tanpa beban dan lelah.

*Bersambung: konsumsi kakao dunia, perjalanan ke World Cocoa Conference di Utrecht Belanda Pada May 2010, Harga kakao dunia, Penyakit kakao, Pupuk dan naungan, kakao organik.

Wednesday, July 6, 2011

Daerah pembudidayaan kakao


Kakao mempunyai persyaratan yang unik untuk dibudidaya. Ia hanya dapat di tumbuh di wilayah tropis dan sub-tropis atau tepatnya 20 derjat ke utara dan 20 derjat ke selatan dari garis khatulistiwa. Namun,International Cocoa Organization (ICCO) (n.d)mencatat kalau dapat dibudidayakan pada 10 derjat Utara dan 10 derjat selatan dari ekuator.

Kakao juga memerlukan curah hujan yang tinggi antara 1,500 mm and 2,000 mm per tahun. Musim kemarau dimana curah hujan kurang dari 100 mm per bulan tidak sesuai untuk kakao. Demikian juga dengan suhu udara, kakao memerlukan suhu minimum 18-21 derjat Celcius dan Maximum 30-32 derjat celcius dengan tingkat kelembabab sebanyak 100 persen pada siang hari dan 70-80 persent di malam hari(ICCO, n.d). Dengan syarat tersebut, hampir semua wilayah di Indonesia sesuai untuk dibudidayakan kakao kecuali didataran tinggi. Namun, kondisi tanah juga harus diperhatikan ketika ingin membudidayakan kakao.

Menurut catatan statistik FAO (n.d) saat ini ada sekitar 59 negara yang memproduksi kakao baik yang berskala besar dan kecil. Indonesia tercatat sebagai salah satu negara yang memproduksi kakao kedua terbesar di dunia setelah Pantai Gading. Selanjutnya diikuti oleh Ghana, Nigeria, Brazil, Cameroon, dan Ecuador di posisi ke tujuh.

*Bersambung: Produksi dan konsumsi kakao dunia, perjalanan ke World Cocoa Conference di Utrecht Belanda Pada May 2010, Harga kakao dunia, Penyakit kakao, Pupuk dan naungan, kakao organik.
** Photo dari www.commodityalmanac.com

Tuesday, July 5, 2011

Sejarah dan Perkembangan Kakao dunia


Bagi sebagian orang, baik anak-anak maupun orang dewasa, coklat merupakan salah satu makanan yang paling disukai. Coklat yang berbahan dasar kakao atau cocoa dapat di proses ke dalam berbagai bentuk makanan dan minuman seperti coklat batang, minuman rasa coklat, biscuit dan kue yang berisi coklat, dan masih banyak lagi makanan olahan yang mengandung coklat. Disamping itu, coklat juga dijadikan sebagai hadiah di hari special seperti ulang tahun, valentine, tahun baru, natal, dan hari-hari special lainnya.

Taukan kita, bahwa kakao sebenarnya berasal dari lembah Amazon. Tanaman ini berasal dari jenis Theobroma yang tumbuh liar di hutan hujan di Amerika tengah dan Selatan. Suku Indian Maya menggunakan kakao di cumpur dengan jagung tumbuk dan air untuk dijadikan sebagai minuman (Urquhart, 1955). Kakao juga dianggap sebagai "makanan para tuhan" oleh suku Olmec dan Maya (UNCTAD, n.da). Yang sangat menarik adalah kakao juga sempat digunakan sebagai mata uang pada masa peradaban Amerika Selatan dimana 10 biji kakao dapat digunakan untuk membeli seekor kuda (World Cocoa Foundation, n.d).


Setelah Christopher Columbus mengunjung Amerika Selatan, ia membawa sample biji kakao ke Eropa sebagai rasa ingin tau. 20 tahun kemudian, Hernando Cortes menemukan nilai komersial dari biji kakao tersebut. Selanjutnya, untuk menemukan rasa yang lebih nikmat, Orang-orang Spanyol memanaskan dan mencumpur nya dengan gula dan susu. Spanyol juga tercatat sebagai negara pertama yang memperkenalkan kakao ke Eropa. Pada awal abad ke 17, minuman dari kakao sangat terkenal di Italy dan Prancis, dan kemudian di Belanda, Jerman, dan Ingris. Namun pada saat itu, minuman dari kakao dibatasi dan hanya dapat dinikmati oleh golongan berpunya Hardy, 1960).

Sejak itu, permintaan biji kakao meningkat tajam dan pembudidayaan kakao pun juga semakin diperluas ke beberapa wilyah baru seperti Karibia, Amerika tengah dan selatan, Asia, dan Afrika. Pada abad ke 16, Venezuela tercatat sebagai negara pertama yang membududayakan kakao. Selain itu, Jamaika juga menanam kakao Pada tahun 1670. Namun, tidak diketahui kapan persis nya kakao di tanam di Trinidad. Bibit type Criollo diyakini dari Venezuela diperkenalkan di Trinidad pada tahun 1678 (Wood, 2001). Setalah itu, Kakao kemudian dibawa Philippines pada tahun 1600 dan dari sana ia disebar ke Sulawesi dan Jawa dan kemudian ke Sri Lanka and India (Ratnam Seperti dikutip Wood, 2001).

Pembudidayaan kakao di negara bagian Bahia Brazil yang diambil dari tipe Amelonado liar di Guiana, diperkenalkan pertama pada tahun 1746 oleh seorang pengusaha perkebunan Perancis yang membawa benih dari negara bagian State Para. Dari sana Benih dibawa ke Sao Tome pada tahun 1822 dan kemudian dibawa Fernando Po pada tahun 1855 dan selanjutnya dilanjutkan ke Ghana and Nigeria (Wood, 2001).

*Bersambung: Daerah pembudidayaan kakao, produksi dan konsumsi kakao dunia, dan perjalanan ke World Cocoa Conference di Utrecht Belanda Pada May 2010.