http://swa.co.id/2010/02/social-entrepreneurship-asa-baru-masyarakat-petani/
Thursday, February 4th, 2010
oleh : Joko Sugiarsono
Model social entrepreneurship bisa menjadi solusi bagi kepastian pasar dan harga komoditas pertanian. Bila digarap dengan elok, kesejahteraan masyarakat petani kebanyakan pun bisa ditingkatkan.
Menjadi petani bukan berarti tidak bisa apa-apa. Banyak tokoh sukses negeri ini berasal dari keluarga petani. Bila Anda tak pernah menyelami bagaimana kehidupan petani di negeri ini, mungkin tak mudah mengetahui sulitnya menjadi petani – apalagi petani kecil tanpa lahan.
“Pada dasarnya petani-petani kecil di Indonesia menghadapi banyak kesulitan,” kata DR. Lala M. Kolopaking, Kepala Pusat Studi Pembangunan Pedesaan IPB. “Di antara kesulitan utama mereka adalah mendapatkan biaya untuk menyelenggarakan usahanya.”
Yang disebutkan Lala rasanya tak berlebihan. Buktinya, hingga saat ini, kalangan rentenir – pemilik uang yang meminjamkan uangnya dengan bunga sangat tinggi – masih banyak beredar di tengah masyarakat. Rentenir di pedesaan tak jarang sekaligus berpraktik sebagai pengijon.
“Ya, beberapa tahun lalu kami pernah melakukan riset tentang hal ini di Jawa Timur,” ungkap DR. Ahmad Erani Yustika, Direktur Eksekutif Indef. “Kesimpulannya, rentenir dilihat dari berbagai aspek memang merugikan.” Toh, menurut Ahmad, karena adanya kelemahan dalam berbagai aspek nonekonomi, sosial, politik dan budaya – tidak hanya pada sisi masyarakat tetapi juga pemerintah – membuat tak mudah mengeliminasi rentenir dari kehidupan petani. Ia mencontohkan, karena adanya birokrasi serta illegal margin/interest yang diterapkan sebagian koperasi, tak jarang bunga yang dipatok rentenir lebih rendah dibanding bunga yang diberikan pemerintah via koperasi.
Pemerintah, lanjut Ahmad, sebetulnya tahu persoalan semacam ini. “Tapi, kemampuan pemerintah mengawal implementasi program kerja dari atas hingga bawah sangat terbatas,” katanya. Ia mencontohkan, sebenarnya Kredit Ketahanan Pangan sudah 10 tahun ada, yang diberikan untuk beberapa komoditas. “Tapi, pemerintah belum mampu memastikan apakah yang telah diberikan betul-betul sesuai dengan yang dikehendaki,” katanya mengkritik.
Peran koperasi untuk memberdayakan masyarakat petani, menurut Ahmad, masih ideal asalkan dikelola dengan baik dan tidak menerapkan praktik illegal interest/margin. Begitu pula, lembaga formal perbankan masih bisa diharapkan sebagai instrumen pendanaan bagi masyarakat petani. Namun, ia mencermati kehadiran lembaga keuangan komersial – biasanya dengan layanan microbanking-nya – belum tentu menguntungkan masyarakat petani. Ia mencontohkan ada bank yang menghimpun dana pihak ketiga dari masyarat pedesaan, tetapi yang disalurkan kembali pada mereka sangat kecil jumlahnya. “Mereka malah jadi instrumen yang menyedot keuntungan dan modal petani dari desa ke kota,” katanya dengan nada kritis.
“Idealnya, pemerintah memberi ruang gerak lebih luas bagi kehadiran social entrepreneur ataupun social enterprise (SE),” kata Ahmad menyarankan. Salah satu model yang dicontohkan, para SE ini bisa menjadi kepanjangan tangan lembaga pendanaan dengan asumsi mereka lebih tahu potensi lokal daerah masing-masing. Kebanyakan petani memang tak bisa menyediakan agunan (economic collateral). Namun dengan kehadiran SE, menurut Ahmad, memungkinkan adanya social collateral atau trust collateral. Ia meyakini SE bisa menjadi salah satu pembuka katup yang menyumbat masalah ekonomi pedesaan. “Apalagi, SE biasanya sangat ramah dengan organisasi sosial dan masyarakat bawah,” katanya.
Pengamatan Ahmad tak salah. Meski masih relatif sedikit, sejauh ini kita sudah bisa menemukan beberapa SE yang mampu berperan signifikan dalam ekonomi pedesaan. Bahkan, ada yang tidak saja mampu menjaga stabilitas harga komoditas yang diproduksi para petani, melainkan mampu pula mendongkrak tingkat kesejahteraan mereka.
Contohnya, Puskud Ja-Teng Perwakilan Brebes, yang sejak 1996 menjembatani kemitraan PT Indofood Sukses Makmur dengan petani bawang merah di Brebes. Menurut Masrukhi Bachro, Ketua Puskud Ja-Teng Brebes, hubungan kemitraan ini dijalin karena Puskud melihat adanya fluktuasi harga. Dengan kemitraan, ada kontrak yang menjamin kepastian harga, sehingga petani tak akan rugi walaupun di pasar harga komoditas bawang merah sedang jatuh.
Di awal kerja sama, petani mitra dapat pasokan benih dari Indofood. Selanjutnya, setelah dianggap mampu mandiri, kemitraannya lebih bersifat transaksional. “Petani dapat kepastian pasar dan harga, koperasi dapat profit, dan perusahaan (Indofood) mendapat kepastian pasokan barang dengan kualitas standar,” ujar Masrukhi.
Masrukhi menyebutkan, Indofood tak melarang pihak Puskud bekerja sama dengan mitra lain, asalkan permintaan Indofood sesuai dengan kontrak, bisa terpenuhi. Sekarang, kebutuhan Indofood yang harus dipenuhi Puskud Ja-Teng Brebes 50-60 ton/bulan. Dari 24 KUD yang ada di Brebes, ada 8 KUD yang bekerja sama dalam kemitraan ini.
Model kemitraan mutualistis seperti itu juga dilakukan oleh Yayasan Unilever Indonesia (YUI), UGM, dan petani kedelai hitam di 7 kabupaten. Inisiatifnya dari YUI. Menurut Maya Tamimi, Manajer Program UKM YUI, setelah mengakuisisi kecap Bango, Unilever merasa perlu sumber baru untuk penyediaan kedelai hitam. “Maka, ditawarkanlah program kemitraan ini kepada para petani kedelai,” kata Maya.
Tahun 2001, kemitraan ini dimulai dalam skala relatif kecil, hanya lahan seluas 5 hektare dan 12 petani kedelai hitam. Ternyata perkembangannya signifikan. Kini, hampir 7 ribu petani mitra, dengan total luas lahan mencapai sekitar 1.000 ha, berlokasi di 7 kabupaten (Bantul, Kulon Progo, Pacitan, Ngawi, Nganjuk, Madiun dan Trenggalek). Benih yang dipakai sekarang adalah kedelai hitam Mallika, hasil penelitian UGM yang baru diluncurkan tiga tahun lalu.
Dalam kemitraan ini, para petani kedelai membentuk kelompok tani, yang kemudian memasok hasil kedelai hitamnya ke koperasi, selanjutnya dikirimkan ke Unilever. Di sini juga ada kontrak, dengan harga berapa kedelai hitam petani mitra akan dibeli. “Jadi, ada kepastian harga dan kepastian pasar,” kata Maya.
Bolehkah mereka menjual ke tempat lain? “Selama memenuhi permintaan di kontrak tak masalah. Namun sejauh ini kebutuhan Unilever lebih besar daripada yang mereka hasilkan,” ujar Maya. Ia menyebutkan kontribusi para petani mitra baru 25%, selebihnya dari pemasok lain.
Kemitraan ini, menurut Maya, tidak cuma transaksional. YUI yang bertindak selaku SE di sini, bersama UGM melakukan pembinaan terhadap petani. Tadinya, kapasitas produksi petani cuma 0,7 ton/ha kini menjadi 2,7 ton/ha. YUI juga melakukan pembinaan pascapanen pada ibu-ibu petani dan pelatihan manajemen keuangan untuk pengurus koperasi. YUI memberikan pinjaman lunak kepada petani guna membeli pupuk dan pestisida. “Setelah panen baru dikembalikan pada kami,” ungkapnya. Adapun benih hingga kini masih disokong karena masih sulit ditemukan di pasar.
Pengembangan masyarakat petani dengan model SE bukan cuma bisa ditemukan di komoditas setahun, melainkan juga di kalangan petani komoditas tahunan. Contohnya dilakukan Mahrizal, pendiri dan ketua Yayasan Tunas Bangsa (YTB), yang menggalang aktifnya kembali pertanian kakao di Aceh. Maklum, akibat konflik bersenjata di Tanah Rencong ini, banyak petani kakao yang tidak lagi bertani. Mahrizal sendiri mengaku bisa kuliah S-2 di luar negeri berkat orang tuanya yang bertani kakao.
Mahrizal tahu ada dana grant dari lembaga internasional yang bisa dimanfaatkan. Dia pun menyusun proposal pertanian kakao organik. Di tahap awal, ia membina 300 kepala keluarga petani kakao yang didukung pendanaan dari Kedubes Jepang. Kemudian tahap kedua membina 75 kepala keluarga dengan dukungan dana dari Hivos Netherland.
Bantuan yang diberikan buat petani dalam bentuk pembinaan dan bibit serta perangkat yang dibutuhkan. Meski tak ada kewajiban pengembalian, Mahrizal mengaku pengawasan ketat dilakukan petugas dan penyuluh lapangan yang tergabung dalam YTB. Setelah panen, petani kakao boleh menjualnya kepada siapa saja yang berminat. “Di Aceh, pembeli kakao sangat mudah dijumpai,” katanya.
Soal patokan harga komoditas kakao, menurut Mahrizal, biasanya petani sudah memantau sendiri siaran Info Komoditas di TVRI setiap pagi. “Tapi, saya sendiri menginginkan para petani binaan ini bisa mempunyai sertifikat fair trade, sehingga mereka bisa menikmati harga premium dari hasil pertanian organik mereka,” kata Mahrizal. “Mudah-mudahan ada pihak yang mau membantu untuk tahap ini,” sambungnya berharap.
Pengembangan masyarakat petani model SE bisa pula dikembangkan di lingkungan komoditas perikanan, seperti dicontohkan Nasrudin, pelopor budidaya lele Sangkuriang dari Desa Gadog, Megamendung, Bogor. Dia yang langsung membina masyarakat kebanyakan untuk menjadi peternak lele Sangkuriang. Sang SE ini pula yang siap memasok benih lele unggulan dan menyediakan obat ramuan organik kepada para peternak lele. Melalui Koperasi Cahaya Kita yang baru didirikan, pihaknya siap menampung dan memasarkan hasil panen para peternak lele binaannya.
Menurut Lala M. Kolopaking, Ketua PSPP-IPB, kebanyakan petani (petani kecil) memang membutuhkan mitra yang bisa mendengarkan kesulitan mereka dan membantu mencarikan jalan keluarnya. “Mitra petani ini bisa menjadi jembatan antara petani kecil dengan pihak pemerintah, perusahaan ataupun kalangan pengusaha besar lainnya,” katanya. Ia menilai, idealnya, mitra petani bisa berasal dari kalangan petani itu sendiri. “Contohnya, kalau petani sayur, idealnya mitranya juga petani yang punya bisnis sayur dan jaringan yang kuat.” Nah, SE bisa mengisi peran sebagai mitra petani tersebut. “Pemerintah sewajarnya mendorong pertumbuhan SE karena perannya yang sangat vital bagi pembangunan pedesaan,” ujar Lala mengimbau.
DR. Bayu Krisnamurthi, Wakil Menteri Pertanian RI, mengaku sepakat akan pentingnya kehadiran SE. Menurutnya, meski tidak gratisan (seperti halnya pekerja sosial), benefit terbesar dari kehadiran SE diperoleh komunitas yang dilayaninya. “Social entrepreneurship di sektor pertanian masih dibutuhkan, terutama karena melihat kondisi objektif pertanian kita,” katanya seraya menyebutkan masih adanya ketidaksetaraan dalam dunia pertanian. Menurutnya, kepedulian pemerintah sendiri terhadap petani kecil makin tinggi, contohnya pada 2009 menggelontorkan subsidi pertanian dengan nilai total mendekati Rp 40 triliun.
Dalam hal SE, menurut Bayu, sekitar tiga tahun lalu pemerintah pernah merekrut 10 ribu tenaga muda sebagai pendamping petani. Tadinya diharapkan dari tenaga yang direkrut itu ada yang bisa menjadi SE, yang pada awalnya masih disokong oleh Deptan hingga bisa mandiri. Diakuinya, program ini tak mudah dijalankan, sebab tak sedikit yang melihatnya sebagai “jembatan karier” belaka atau merasa tak punya bakat. Toh, ia menegaskan, Deptan hendak meneruskan program tenaga pendamping petani ini. “Tapi modelnya akan disempurnakan dari sebelumnya,” katanya. Ia juga mengakui sejauh ini belum banyak melakukan program komunikasi – semacam gathering – dengan kalangan SE yang sudah berkiprah di sektor pertanian. “Tapi, hal itu akan kami tingkatkan di masa mendatang,” ucapnya berjanji.
Reportase: Ahmad Yasir Saputra, Moh. Husni Mubarak, Kristiana Anissa, Siti Ruslina
No comments:
Post a Comment